Sejarah Perkembangan Penulisan Kitab-Kitab di Nusantara
Membincang Sanad Dzikir Thariqah (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Tradisi penulisan kitab-kitab di Indonesia telah berjalan secara secara masif di Nusantara setidaknya sejak abad ke 16. Hal ini dijelaskan Ahmad Munawwar dalam penelitiannya berjudul “Pemikiran Akidah Moderat di Nusantara Abad ke-19”.
Ia menjelaskan, pada masa-masa ini ditandai dengan munculnya beberapa karya ulama Nusantara yang lebih cenderung pada pokok ajaran-ajaran tasawuf.
“Seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani merupakan para perintis awal tradisi penulisan di Nusantara,” ungkap Ahmad Munawwar dikutip Selasa (23/2/2021).
Meskipun lanjut dia, jika mengacu pada pendapat-pendapat para ahli sejarah bahwa Islam sesungguhnya telah datang lebih awal dari masa itu.
Munawwar mengungkapkan bahwa awal dimulainya aktifitas penyalinan atau penulisan tidak terlepas dari adanya kontak antara penduduk Nusantara dengan Timur Tengah. Terutama dalam rangka melaksanakan rukum Islam yang ke-5, ibadah haji.
“Disamping itu tidak sedikit pula di antara mereka yang menggunakan kesempatan itu untuk menggali ilmu pengetahuan dari ulama-ulama yang ada di Mekkah,” jelasnya.
Adanya kesadaran dan keinginan untuk mengembangkan ajaran Islam di tanah kelahirannya. Kemudian melahirkan karya-karya yang sangat bermanfaat dalam konteks Islam Nusantara.
“Aktifitas keilmuan menunjukkan perkembangan pada abad ke 17 M di tangan ‘Abd Ra’uf al-Singkili (1615-1693) dan hadirnya Nuruddin al-Raniri,” sambungnya.
Dari tangan ‘Abd Ra’uf lahirlah karya-karya keislaman baik dalam bahasa lokal (Melayu) maupun dalam Bahasa Arab.
Di antara karyanya yang monumental hingga saat ini adalah keberhasilannya dalam menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu. “Tarjuman al-Mustafid” yang merupakan karya awal dalam karya tafsir di Nusantara.
