Sejarah Pemeliharaan dan Pemurnian Al-Quran di Masa Sekarang
Allah SWT telah menegaskan dalam Al-quran surah Alhijr ayat 9, Allah SWT dengan firman-Nya, “Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan menjaganya.” Penegasan ini menunjukkan bahwa Alquran senantiasa terjaga dari pemalsuan hingga akhir zaman. Alquran merupakan kalamullah sehingga tidak mungkin akan dipalsukan oleh makhluknya.
Secara historis, Al-Quran terjaga dan terpelihara dalam tiga fase sejarah. Yaitu, pertama; adalah Pemeliharaan dan Pemurnian Al-Quran pada masa Rasulullah, yang terdiri dari dua tahap; pemeliharaan dalam dada atau hafalan, kemudian pemeliharaan melalui tulisan.
Selanjutnya, kedua; selepas masa Rasul, dilanjutkan pemeliharaan dan pemurnian al-quran pada masa sahabat. Kemudian, ketiga; pemeliharaan dan pemurnian Al-Quran pada Masa Sekarang.
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu.
Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير النص القرأن yaitu perubahan terhadap isi Al-Qu’ran dengan merubah sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص القرأن yaitu merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan maknanya.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain dengan melakukan تأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya.
Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di samping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya.
Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain), terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya ditemukan di tempat lain (ayat lain).
Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah merupakan penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di situ, melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga keotentikan al-Qur’an dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an, serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.
Dengan mengetahui secara mendalam tentang pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya dengan menghafal dan memahami maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman yang diyakini kebenarannya karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan keotentikannya sehingga tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan keotentikan sebuah kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun ataupun cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an. (*)