Sejarah KH Hasyim Asy’ari Mendirikan Nahdlatul Ulama
HIDAYATUNA.COM – Terbentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunnah wal-Jama’ah bukan semata-mata karena KH Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudahsampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlu Sunnah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunnah, terutama pada rentang waktu 1200 H sampai 1350 H.
Saat itu, di Makkah terjadi peristiwa besar yang mengancam eksistensi Ahlu Sunnah wal-Jama’ah, terkait penghapusan khalifah oleh Turki dan berkuasanya rezim kaum Wahabi yang tidak membuka ruang bagi berkembangnya madzhab-madzhab di tanah suci. Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram. Para ulama menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Setelah melakukan istiharah para ulama-ulama Haramain mengirim pesan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk segera menemui dua ulama di Indonesia, dan jika dua orang tersebut menyetujui maka segera diteruskan. Dua ulama tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Toha bin Yahya Pekalongan dan Syaikhona Kholil Bangkalan. KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi dan KHR. Asnawi Kudus dengan diantar Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim.
Begitu KH Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kiai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunnah wal-Jama’ah, saya rela tapi tolong saya jangan ditulis”. Selanjutnya ketika sowan ke tempatnya Kiai Kholil Bangkalan beliau memperoleh wasiat untuk segera melaksanakan niatnya dan diridhoi seperti ridhonya Habib Hasyim. Tapi Kiai Kholil juga berpesan “saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis”. KH Hasyim Asy’ari tertegun karena kedua ulama tersebut tidak mau ditulis semua. Namun, akhirnya Kiai Kholil membolehkan ditulis tetapi meminta sedikit saja.
Meskipun demikian, KH Hasyim Asy’ari dalam perjalanannya sangat berhati-hati dan kadang muncul keraguan. Kemudian pada tahun 1924, Kiai Kholil segera memanggil muridnya As’ad Syamsul Arifin Situbondo, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.
“As’ad” kata Kiai Kholil, “Ya, Kiai” Jawab As’ad santri.
“As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari” pesan Kiai Kholil sambil menyerahkan tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha” pesan Kiai Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu”.
Setibanya di Tebuireng, As’ad menyampaikan “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai”. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As’ad, “Apa tidak ada pesandari Kiai Kholil ?” As’ad lalu membaca hafalanya itu yang artinya “Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk(makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu keketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.
KH. Hasyim menangkap isyarat bahwa gurunya memantapkan hatinya untuk segera merestui jam’iyah yang telah dipersiapkanoleh Kiai Wahab Hasbullah dan ulama-ulama lainnya. Langkahdemi langkah dilakukan dengan sangat hati-hati karena tidak ingin terjebak dalam nafsu kekuasaan belaka, namun belum juga terwujud. Setahun kemudian Kiai Kholil mengutus As’ad sowan lagi ke Tebuireng untuk menyerahkan tasbih dengan diikuti bacaan salah satu Asmaul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohha sebanyak tiga kali. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Sebenarnya KH Hasyim Asy’ari bersama beberapa kiai jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Kiai Kholil akan diresmikannya NU. Namun saat itu kesehatan Kiai Kholil sedang tidak baik dan tidak bisa menemui meski sudah tahu akan kedatangan rombongan KH Hasyim Asy’ari. Kiai Kholil hanya menitip pesan melalui Kiai Muhammad Thoha (menantunya, Pesantren Jangkibuan) jika telah memberi restu atas peresmian NU.
Sumber : Masterpiece Islam Nusantara, sanad dan jejaring ulama-santri (1830-1945) – Zainul Milal Bizawie