Sejarah dan Keutamaan Bulan Muharam

 Sejarah dan Keutamaan Bulan Muharam

Independensi Sunnah dalam Penetapan Hukum

HIDAYATUNA.COM, Yogykarta – Kita tahu bahwa terdapat empat bulan yang dimuliakan dalam Islam. Hal ini termaktub dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 36. Dalam riwayat lain, empat bulan yang disebutkan adalah Bulan Zulkaidah, Bulan Zulhijah, Bulan Muharam dan Bulan Rajab.

Sejarah menyebutkan bahwa penetapan tahun baru islam bermula dari surat surat tak bertanggal yang diterima oleh Abu Musa al-‘Asy’ari r.a selaku gubernur Bashrah dari khalifah Umar bin Khattab.

Abu Musa mengeluhkan surat surat tersebut kepada khalifah. Karena kejadian inilah, akhirnya khalifah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi seluruh umat muslim.

Perumusan dan penetapan kalender islam dihadiri beberapa sahabat terkemuka. Di antaranya Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas hingga Thalhah. Mereka adalah sederet para sahabat yang turut merumus dan menentukan tahun islam.

Ada banyak usulan penentuan awal penanggalan. Salah seorang sahabat mengusulkan dan menjadikan bi’tsah nabi Muhammad sebagai penetapan awal penanggalan. Ada juga yang mengusulkan awal penetapan kalender mengacu pada isra’ mikrajnya nabi.

Opsi lain yakni kelahiran atau wafatnya nabi. Namun mengapa dua opsi ini tidak diajukan oleh Ali kepada khalifah. Ibnu Hajar menjelaskan alasannya bahwa tahun kelahiran beliau dan tahun diutusnya belum diketahui secara pasti.

Sementara wafatnya beliau tidak dipilih karena itu adalah mengingat tentang luka, mengingat kesedihan bahwa orang yang paling dicintai mereka benar-benar wafat. Pun juga, hal ini menyerupai dengan orang majusi yang menjadikan tahun kematian sebagai acuan penanggalan.

Dari sekian banyak opsi, sebagai pembicara kepada khalifah, Ali bin Abi Thalib mengajukan dua opsi kepada Khalifah Umar. Opsi pertama mengikuti kalender romawi, yang mana mereka memulai hitungan penangalan dari masa raja Iskandar (Alexander).

Usulan ini tidak diterima karena menyerupai kalender Nasrani. Usulan yang kedua dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad dari kota Mekkah ke Madinah. Dari dua usulan tadi, hati khalifah lebih condong pada usulan yang kedua dengan alasan bahwa peristiwa hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil.

Penentuan Awal Bulan Kalender Hiriyah

Perbincangan berlanjut ke penentuan awal bulan Kalender Hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan ramadhan sebagai bulan pertama. Namun, Utsman bin Affan dan Umar bin Khattab mengusulkan bulan Muharaam.

Sebab umat muslim baru usai melakukan haji. Meski bestatus khalifah, Umar tetap mengusulkan pendapat dan tidak memutuskan putusan secara sepihak, sesukanya.

Alasan diterimanya bulan Muharram oleh para sahabat yang lain dipaparkan oleh ibnu hajar dalam kitabnya Fath al-Bari. Beliau menyebutkan bahwa tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharram.

Di mana baiat terjadi dipertengahan Bulan Zulhijah. Dari baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa baiat itu adalah hilal bulan muharram. Karena inilah alasan mengapa Bulan Muharam dipilih sebagai bulan pertama.

Penamaan Bulan Muharam dan Keutamaannya

Penamaan Bulan Muharam tidak lepas dari aturan dan pantangan sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Alamuddin al-Syakhawi dalam kitabnya. Penduduk Arab waktu itu sangat labil, kadang satu tahun menghalalkan perang, kadang satu tahun berikutnya mengharamkan.

Sehingga diputuskan bahwa pada bulan haram, haram melakukan peperangan secara tekstual dan larangan melakukan kemaksiatan secara metaforis.

Ada banyak kitab klasik yang menyebutkan keutamaan bulam Muharram, di antaranya adalah puasa ‘asyura. Sebagaimana dalam hadis, Nabi pernah menyebutkan bahwa,

”Puasa apa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yakni Bulan Muharam.” Salah satu sahabat, Ibn Abbas r.a., menyebutkan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah berupaya keras untuk puasa pada suatu hari lainnya kecuali pada hari ini, asyura’ dan Ramadhan.”

Bukan hanya itu, ada anjuran bersedekah dan menyantuni anak yatim. Bisa dibilang hal ini dalam rangka penebusan dosa. Setidaknya dalam rangka lidaf’il bala’ (tolak balak).

Bukannya tidak mau menerima bala’ dari sang pencipta tetapi supaya kita terhindar, jika tidak bisa, setidaknya kita tetap kuat iman, bertahan dan sabar layaknya kisah para nabi.

Menjadi orang besar itu tidak mudah, pantangannya berat dan besar. Jika kita tabah seperti nabi terdahulu maka Allah akan memberi jalan dan mempermudah dalam mengurusi segala urusan.

Manusia diuji keimanannya, sejauh mana mereka bertahan terhadap ujian yang Tuhan, sejauh itu pulalah beban yang tuhan berikan. Allah tidak memberikan ujian diluar batas kemampuan manusia.

Hikmah yang bisa kita ambil dari sekian banyak kejadian yang dialami oleh para nabi terdahulu, untuk mendapatkan cinta Penciptanya, mereka diuji seberat mungkin.

Sabar, tabah dan bertahan terhadap segala apa yang Allah berikan maka derajat mereka diangkat. Biarlah mereka dianggap hina oleh kalangan sesama asal nama mereka disanjung di atas langit sana.

Musyfiqur Rozi

Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya dan merupakan alumni PP Annuqayah Lubangsa Utara (Lubtara). Dapat disapa melalui sosial media Musyfiqur Rozi (FB) Musyfiqrz (IG&Twitter)

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *