Sejarah dan Asal Usul Hukuman Potong Tangan bagi Pencuri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu bentuk kriminilitas yang marak terjadi di zaman Jahiliah adalah pencurian. Motifnya bermacam-macam. Ada yang hanya sekedar hobi, profesi dan ada juga yang melakukannya demi menjaga keberlangsungan hidup mereka (to survive).
Kejahatan yang satu ini di zaman Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub hukumannya diperbudak minimal satu tahun.
Ada juga yang mengatakan bahwa hukuman bagi pencuri dalam syari’at Nabi Musa adalah mengganti setiap barang yang curi 5 ekor sapi dan 4 ekor kambing.
Jika si pencuri tidak memiliki cukup uang untuk membeli hewan-hewan tersebut, maka konsekuensinya ia akan dijual, lalu uangnya akan diserahkan kepada korban. (Jawwad Ali, juz 5, hlm. 606)
Meski pencurian di zaman Jahiliyah dianggap perbuatan hina, karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun kasus pencurian di Arab saat itu tak bisa dihindari.
Beberapa nama pencuri dari yang biasa sampai yang kelas kakap yang berhasil didokumentasikan oleh Jawwad Ali dalam kitabnya al-Mufasshal fi Tarikh al-Arab Qabla al-Isalam antara lain Wabishah bin Khalid bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, Auf bin Ubaid bin Umar bin Makhzum, Khayyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf, Ubaidillah bin Usman bin Amr bin Ka’ab (kasus pencurian unta), Mudrik bin Auf bin Ubaid bin Umar bin Makhzum, Malih bin Syuraih bin al-Haris, Maqis bin Qais bin Adi al-Sahmi (kasus pencurian perhiasan di Ka’bah), dan Syazzhazh.
Dari beberapa nama di atas, ada tiga pencuri yang merupakan satu keluarga (ayah dan anak) yaitu Auf bin Ubaid (ayah) dan Mudrik bin Auf (anak).
Para pencuri ini sebelum ada undang-undang tentang potong tangan, tidak dikenai hukum apapun.
Mereka bebas melakukan aksinya tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik dalam bentuk ta’zir maupun hukuman yang lain.
Asal Usul Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri
Namun karena kasus pencurian di Arab lama kelamaan semakin banyak dan meresahkan, maka muncullah inisiatif dari Walid bin al-Mughirah (ada yang mengatakan Abdul Mutthalib) untuk merumuskan undang-undang potong tangan bagi para pencuri, tanpa mempertimbangkan banyak dan sedikitnya barang hasil curian tersebut (dalam Islam disebut dengan nisab).
Hukum potong tangan yang dirumuskan oleh Walid bin al-Mughirah adalah potong silang.
Praktiknya, jika seseorang baru pertama kali melakukan pencurian, maka yang dipotong adalah tangan kanannya, jika ia mencuri lagi, maka yang dipotong adalah kaki sebelah kiri.
Jika ia masih mengulanginya lagi, yang dipotong tangan bagian kiri, dan jika masih saja melakukannya lagi, maka yang kena potong adalah kaki bagian kirinya. Kemudian, jika ia mencuri lagi, konsekuensinya adalah dirajam sampai mati.
Kasus rajam sampai mati yang diberlakukan kepada pencuri di zaman Jahiliah misalnya pernah dialami oleh Mudrik bin Auf.
Islam Melegalkan Hukuman Potong Tangan
Setelah Islam datang, hukuman potong tangan bagi pencuri dibiarkan keberlakuannya. Bahkan Rasulullah sendiri pernah menangani kasus pencurian yang pelakunya bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Pencuri itu bernama al-Khayyar ibn Adi ibn Naufal dan Murrah binti Sufyan.
Namun, hukuman potong tangan bagi pencuri dalam Islam baru diberlakukan jika memenuhi beberapa persyaratan dan kualifikasi sebagaimana yang tertulis dalam literatur-literatur fikih.
Di antaranya pencuri tersebut beragama Islam, baligh, berakal sehat, tidak berstatus keluarga dengan korban, dan barang yang dicuri telah mencapai satu nishab (3 dirham menurut Imam Malik, 10 dirham menurut imam Abu Hanifah, ¼ dirham menurut imam Syafi’i dan 3 ¼ dirham menurut imam Ahmad).
Ayat yang merespon pemberlakuan hukuman potong tangan bagi pencuri adalah QS. Al-Maidah Ayat 38:
Dalam al-Tafsir al-Munir karya Wahba al-Zuhaili dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Thu’man ibn ‘Ubayriq.
Thu’man diduga telah melakukan pencurian terhadap baju perang milik Qatadah Bin al-Nu’man.
Agar aksinya tidak diketahui orang, Thu’man menyembunyikan hasil curiannya di rumah seorang Yahudi bernama Zaid Bin Samin dalam sebuah kantong tepung.
Naasnya, selama di perjalanan menuju rumah Zaid, tepung yang dibawa Thu’man berceceran di jalan.
Qatadah menyadari bahwa baju besi miliknya telah dicuri. Ia kemudian mencarinya di rumah Thu’man. Namun hasilnya nihil. Namun Qatadah tidak menyerah.
Di perjalanan, ia menyadari bahwa ada jejak-jejak tepung yang dapat membantunya mengungkap siapa sebenarnya dalang dari pencurian tersebut.
Al-hasil, Qatadah mengikuti jejak tepung tersebut hingga sampai di rumah seorang Yahudi bernama Zaid Bin Samin.
Dugaan Qatadah benar. Ia menemukan baju perang miliknya berada di rumah Zaid.
Namun Zaid mengelak kalau dia adalah pencurinya. Zaid mengatakan bahwa baju perang tersebut ia peroleh dari Thu’man.
Kemudian Qatadah menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. sehingga turunlah surah al-Maidah ayat 38.
Pandangan Ulama Tentang Hukuman Potong Tangan
Ulama memahami surah al-Maidah ayat 38 di atas dalam dua kelompok. Kelompok pertama menegaskan bahwa hukuman potongan tangan (faqtha’u aidiyahuma) bersifat ta’abbudi (paketan dari syari’). Sehingga hukuman tersebut tidak bisa digantikan dengan hukuman lain.
Sedangkan kelompok kedua memahami potongan ayat tersebut sebagai bentuk hukuman yang ma’qul al-ma’na (bisa dirasionalisasikan).
Konsekuensinya, hukuman potong tangan tidak harus dipahami secara saklek. Tetapi hukuman tersebut bisa digantikan dengan hukuman lain seperti penjara, ta’zir dan lain-lain.
Karena maqasid (ideal moral) pada ayat tersebut adalah efek jera. Yakni agar pelaku pencurian tidak lagi mengulangi kejahatannya. []