Secuil Cerita tentang Lika-liku ‘Amplop’ Kiai

 Secuil Cerita tentang Lika-liku ‘Amplop’ Kiai

Secuil Cerita tentang Lika-liku ‘Amplop’ Kiai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Abah saya mengasuh sebuah pesantren melanjutkan kakek di Malang. Para wali santri pun jika sowan kepada Abah ada yang memberi ‘sesuatu’. Bedanya, para kiai pesantren tidak pernah meminta, tidak pernah memberi tarif dan jika terjadi kesalahan juga tidak menuntut apa-apa.
Kalau pun diberi para kiai pesantren tetap tahu haknya digunakan untuk apa, yaitu bangun pondok dan menanggung hidup ratusan santri.
Kata umi saya, setelah Abah salaman dengan wali santri ternyata Abah tersenyum sendiri. Umi tanya kenapa? Abah menjawab, “Orangnya memberi saya tiket bus.”
Mungkin uang sudah disiapkan tapi salah mengambil dari kantong.
Masih cerita dari Umi, ada wali santri yang balik lagi datang ke Abah, “Maaf Kiai, amplopnya keliru. Itu untuk perjalanan pulang. Kalau tidak ditukar saya tidak bisa sampai ke rumah.”
Abah mengembalikan dan sambil tersenyum. Ada lagi seorang Kiai di Surabaya, selesai pengajian ‘disalami’ sama bagian pemandu acara atau MC-nya. Ternyata bukan amplop melainkan secarik kertas susunan acara.
Perjalanan semacam ini dikisahkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ seperti yang dialami Nabi Musa:
ﻭﻗﺎﻝ ﻣﻮﺳﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻳﺎ ﺭﺏ ﺟﻌﻠﺖ ﺭﺯﻗﻲ ﻫﻜﺬا ﻋﻠﻰ ﺃﻳﺪﻱ ﺑﻨﻲ ﺇﺳﺮاﺋﻴﻞ ﻳﻐﺪﻳﻨﻲ ﻫﺬا ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻳﻌﺸﻴﻨﻲ ﻫﺬا ﻟﻴﻠﺔ ﻓﺄﻭﺣﻰ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﻟﻴﻪ ﻫﻜﺬا ﺃﺻﻨﻊ ﺑﺄﻭﻟﻴﺎﺋﻲ ﺃﺟﺮﻱ ﺃﺭﺯاﻗﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻳﺪﻱ اﻟﺒﻄﺎﻟﻴﻦ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﻱ ﻟﻴﺆﺟﺮﻭا ﻓﻴﻬﻢ
Artinya:
“Nabi Musa berkata: “Wahai Tuhanku, Engkau jadikan rezekiku dari tangan-tangan Bani Israil, pagi hari diberi sarapan oleh seseorang dan makan malam dari orang lain”.
Allah memberi wahyu kepadanya: “Beginilah Kuperbuat untuk para kekasihKu. Kuberikan rezeki mereka dari para pembesar dari hambaKu, agar mereka dapat pahala dengan cara seperti itu.” (Ihya’, 4/210)

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *