Sebuah Catatan Refleksi: Kagum vs Fanatik
HIDAYATUNA.COM – Berikut ini adalah catatan Yendri Junaidi dari acara Konsolidasi Ulama dan Ormas Islam se-Kabupaten Tanah Datar. Catatan kecil yang juga reflektif menjelaskan secara singkat mengenai perbedaan rasa kagum dengan fanatik.
Dalam forum, seorang peserta bertanya,
“Buya, ada orang berkata, “Katanya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, tapi kenapa di Minang tidak boleh kawin sesuku, padahal Islam sendiri tidak ada melarangnya.”
Buya GG menjawab,
“Adat tidak menggunakan istilah ‘tidak boleh’, ‘haram’, dan sejenisnya. Adat menggunakan istilah ‘bapantang’. Sesuatu nan ‘dipantang’ belum tentu haram. Bahasa ‘dilarang’, ‘haram’, dan sebagainya adalah bahasa syara’, bukan bahasa adat.
Sesuatu yang dipantang dalam adat tentu ada sebabnya, baik dari segi kepatutan, menjaga jangan sampai terjadi pernikah saudara sepersusuan, maupun untuk menguatkan keturunan seperti pesan Umar bin Khattab : ihgtribu la tudhawu…
Walau demikian, kita tidak akan menutup mata terhadap adat-adat yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Namun demikian, ulama mesti mengkaji adat, karena tak semua yang tersurat begitu juga yang tersirat.”
Kemudian ada peserta lainnya yang bertanya,
“Buya, di daerah kami ada sebuah buletin yang tersebar, yang diantara isinya membaca shadaqallahul’azhim setelah mengaji itu bid’ah. Ini membuat masyarakat heboh, dan hampir terjadi konflik. Untung ada tokoh-tokoh yang bisa menenangkan. Apakah tidak sebaiknya kajian atau ceramah-ceramah tentang bid’ah itu dilarang saja?”
Buya GG pun menjawab,
“Tidak ada yang salah dengan kajian tentang bid’ah. Bahkan, kajian itu perlu untuk disampaikan, karena kita mesti mengakui bahwa di tengah-tengah masyarakat kita memang banyak hal-hal yang bid’ah.
Yang perlu diperbaiki adalah cara penyampaian yang santun, uraian yang didasarkan pada dalil serta audiens yang tepat sasaran. Masalah membaca shadaqallah setelah membaca al-Quran dianggap bid’ah memang pendapat sebagian ulama.
Jadi tidak perlu ditentang, apalagi dimusuhi. Kita yang tidak sepakat dengan itu cukup sampaikan dalil ketidaksetujuan kita, tanpa harus melarang ia menyampaikan apa yang dipandangnya benar selama caranya santun.”
Pada kesempatan lain dalam forum yang sama, salah satu peserta mengajukan pertanyaan,
“Buya, kenapa bangunan ukhuwah diantara umat ini rapuh? Kenapa selalu terjadi saling serang, saling menyalahkan dan saling curiga?”
Buya GG menjawab,
“Karena pondasi dari ukhuwah itu sendiri sudah rapuh. Ukhuwah kita cenderung tidak dibangun di atas pondasi ad-Din (bersaudara karena kita sama-sama muslim), tapi lebih kepada ukhuwah karena satu pemikiran, satu organisasi, satu kelompok, satu partai dan sebagainya.”
Tidak perlu untuk sepakat dalam segala hal untuk mengambil faidah dari siapapun. Boleh jadi kita berbeda dengan seseorang, tapi kita mesti rendah hati mengakui bahwa dalam banyak hal ia lebih unggul.
Yang menarik dari sosok Buya Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI Sumatera Barat, bukan hanya penguasaan keilmuan yang sangat baik, retorika yang menarik, tapi juga ruh ‘perjuangan’ yang terasa kental dari setiap penyampaiannya.
Kadang kita menilai apa yang terlihat dan terbaca saja, tapi sesungguhnya di balik itu banyak cerita yang melatarbelakangi semua sikap dan respon yang tampak. Kita kagum pada sosok yang berilmu.
Tapi kekaguman kita pada sosok yang memiliki prinsip jauh lebih dalam, terlepas dari penilaian kita terhadap prinsip yang dipegang itu.
Kekaguman tidak berarti fanatik, lalu mengiyakan saja semua yang disampaikannya.
Kekaguman artinya mengakui kelebihan yang dimiliki seseorang. Apalagi kalau kelebihan itu adalah perpaduan antara ilmu dan amal, pengalaman dan perjuangan yang panjang di dunia dakwah.[]
(Catatan kecil acara Konsolidasi Ulama dan Ormas Islam se-Kabupaten Tanah Datar, Kamis 27 Muharram 1444 H / 25 Agustus 2022 M)