Santri sebagai Duta Perdamaian Dunia
Bermula dari fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945 atas pertanyaan Bung Karno mengenai hukum mempertahankan kemerdekaan dengan melawan penjajah, Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015 sebagai bentuk apresiasi terhadap santri.
Resolusi Jihad yang dikeluarkan ulama semata-mata untuk membakar semangat rakyat termasuk santri agar bergabung dalam laskar-laskar perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah. Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada hari ini menjadi bagian dari tonggak sejarah perjuangan para santri melawan kolonialisme dan imperialisme. Sejarah pun akhirnya mencatat santri punya peranan penting yang sudah rela berjuang dengan jiwa raganya untuk kemerdekaan Indonesia.
Menteri Agama berkolaborasi dengan Menteri Luar Negeri mengusung tema “Santri untuk Perdamaian Dunia” pada peringatan Hari Santri Nasional 2019. Kali ini temanya berskala internasional. Sebelumnya pada 2018 mengangkat tema “Bersama Santri Damailah Negeri” yang sifatnya domestik.
Tujuan diusungnya tema “Santri untuk Perdamaian Dunia” ini untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara muslim moderat terbesar di dunia yang berkontribusi nyata untuk perdamaian dunia serta menghilangkan stigma tentang pendidikan Islam sebagai sumber ajaran ekstremisme dan radikalisme.
“Santri untuk Perdamaian Dunia” juga diharapkan dapat memaksimalkan kontribusi Indonesia selama menjadi Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB periode 2019-2020. Indonesia ingin memproyeksikan nilai-nilai moderasi Islam dan toleransi serta menonjolkan kiprah santri dengan pesantren dalam merealisasikan perdamaian dunia dengan tidak menginginkan terjadinya kolonialisme, radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme.
Tema yang diusung masih sangat relevan dengan masa sekarang untuk mengukur sejauh mana peran santri yang didukung pendidikan pondok pesantren untuk dunia. Berbagai belahan dunia pernah mengalami konflik yang cukup mencekam dan korban dari semuanya tertuju pada Islam. Konflik tergambar jelas ketika bencana kemanusiaan pernah terjadi pada penduduk sipil Rohingya yang termarjinalisasi di Myanmar. Krisis keamanan terjadi di Afghanistan, Sudan, dan Yaman. Begitu pula perseteruan yang panjang antara Israel kepada Palestina.
Santri yang beriringan dengan pesantren sebagai pengayomnya dalam membantu dakwah moderasi Islam membentengi akidah umat dan mewariskan karakter luhur di Indonesia sudah cukup menjadi modal dalam merealisasikan perdamaian dunia. Sejatinya gaya hidup santri yang humanis, inklusif, mandiri, sederhana, dan toleran yang pernah saya rasakan juga saat belajar di pesantren rasanya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Para cendekiawan saja sering merujuk kepada pesantren tatkala berbicara tentang pentingnya pendidikan karakter. Artinya pesantren sudah masuk kategori institusi yang berhasil menanamkan nilai-nilai karakter secara praktis pada santri sehingga dapat diteladani oleh banyak orang.
Laboratorium Perdamaian
Pesantren berperan aktif dalam mengembangkan budaya ukhuwah islamiyah, toleransi, hidup sederhana, hidup hemat, hormat pada guru, santun, gotong royong, dan budaya hidup bermasyarakat bagi santrinya. Pada kenyataannya pesantren menjadi role model pendidikan Islam yang menjadi laboratorium perdamaian dan subsistem dalam kehidupan di masyarakat sebagai aktualisasi hablu minanas.
Dengan modal yang cukup dari pola hidup seorang santri dengan dukungan pesantren, ini akan memaksimalkan kiprah santri untuk terlibat di parade Internasional dalam merealisasikan perdamaian dunia di tengah dinamika internasional yang penuh konflik.
Selain karakter-karakter luhur yang ditanamkan pesantren kepada santri dengan segala keunggulan budaya dan pola hidupnya, santri juga turut aktif dalam menyelami samudra ilmu pengetahuan secara luas di pesantren sebagai pendukung dari terealisasinya perdamaian dunia.
Pesantren mendidik para santrinya untuk dapat menjadi seorang pembelajar yang berpikir secara luas dan merdeka. Berbagai referensi kitab klasik hingga kontemporer yang lokal maupun internasional sudah menjadi makanan sehari-hari bagi santri. Tergambar dari kesehariannya yang rutin belajar dan terus belajar dengan kitabnya. Gadget berganti menjadi kitab yang senantiasa dibawa santri ke mana pun.
Santri mempelajari banyak varian ilmu pengetahuan mulai dari ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi di pesantren tanpa mengenal dikotomi keilmuan. Memang identiknya santri terbiasa mempelajari ilmu pengetahuan Islam, namun santri pun tak lupa mempelajari ilmu pengetahuan umum lainnya. Santri senantiasa dituntut untuk dapat menyeimbangkan dua spektrum besar keilmuan antara wawasan keislaman dan wawasan umum. Tujuannya supaya kelak santri akan menjadi excellent personality dengan berbekal ilmu pengetahuannya yang melimpah.
Merawat Kemajemukan
Sebelum mengatasi problematika dunia dengan segala kompleksitasnya untuk memaksimalkan peran santri berdasarkan keilmuan dan karakternya dalam merealisasikan perdamaian dunia, maka alangkah baiknya terlebih dahulu santri mengatasi polemik bangsanya sendiri berupa disintegrasi nasional dengan sentimen agama dan ras.
Santri harus mampu merawat integrasi nasional agar tidak terjadi perpecahan yang diakibatkan oleh sentimen agama berbalut semangat rasialisme. Seperti konflik komunal yang pernah terjadi di Papua dan Papua Barat, terutama fenomena kemanusiaan di Wamena, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk segera ditata kembali hubungan agama dan golongan yang berbeda.
Peran santri harus membangun kesadaran bahwa eksistensi Indonesia bersifat majemuk dan akan tetap bertahan dengan merawat kemajemukan. Pesantren merupakan miniatur Indonesia yang di dalamnya diajarkan kepada para santri untuk dapat hidup di tengah kemajemukan ras, budaya, suku, dan bahasa dengan didukung sikap toleransi. Nasionalisme Indonesia harus dibangun atas landasan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang termaktub dalam tubuh Pancasila.
Adapun konteks perdamaian dunia yang harus direalisasikan oleh santri sebagai duta perdamaian dunia, maka santri dapat merealisasikannya dengan modal luasnya ilmu pengetahuan dan luwesnya karakter santri yang didapatkan selama belajar di pesantren. Santri dapat menyebarluaskan nilai-nilai universalisme yang bernapaskan nilai-nilai Islam yang humanis kepada dunia.
Pertama, dengan nilai moderasi Islam (al-islam al-washathiyyah). Santri harus menjadi duta Islam yang berpikir dan bersikap atas dasar moderasi Islam yang menolak segala bentuk ekstremitas dalam kehidupan beragama dan pergaulan sesama manusia. Santri juga harus menjadi teladan terkait dengan sikap moderat yang diajarkan Islam untuk masyarakat luas. Tetap berada di jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan juga tidak ekstrem ke kiri.
Kedua, sikap tasamuh (open minded) yang harus dimiliki santri untuk perdamaian dunia atas segala perbedaan yang terjadi. Khususnya perbedaan kebudayaan yang diakibatkan oleh semakin derasnya arus perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 yang interaksinya kian tanpa sekat. Nasionalisme yang bernapaskan kemanusiaan harus diutamakan dalam hal ini, tidak terperangkap pada sikap chauvinisme.
Sikap santri yang tasamuh didorong dengan sikap ta’aruf (saling mengenal) menumbuhkan salam (kedamaian), menyuburkan rahmah (kasih sayang), menjauhi sikap tanaakur (saling menolak), dan menghindari dari harb (peperangan) dapat menangkal fanatisme yang secara harfiah sikap seseorang yang tertutup dengan keyakinan dan pikirannya kemudian menganggap orang lain yang berbeda dengannya adalah musuh yang harus dilawan.
Ketiga, al-i’tilaf yang berarti harmoni. Santri harus mampu selaras antara keyakinan dengan sikap dan mensinergikan segala perbedaan dengan ikhlas. Dengan harmoni akan tercipta tatanan kehidupan yang indah, teratur, dan penuh kasih sayang. (*)
Kolom dari Finka Adiwisastra dari DETIK