Santri Anyar Ngaji Sorogan Ke Mbah Ali Maksum
Dalam salah satu tulisanya, KH. Yahya Cholil Tsaquf, Katib Aam PBNU, yang akrab di panggil Gus yahya, mengisahkan bahwa almaghfurlah KH. Masduqi Mahfudh, malang, mantan Rais Syuriyah PBNU pernah menceritakan, almaghfurlah KH. Ali Maksum atau Mbah Ali, mantan Rois Asm PBNU dan pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, mempunyai maziyah ( keistimewaan ) spiritual, yaitu bisa mentransfer ilmu tanpa mengajarkan secara verbal. Sekitar tahun 1950-/1960-an, Masduqi muda datang untuk nyantri kepada Mbah Ali, Krapyak, Yogyakarta.
Di awal nyantri dengan Mbah Ali itu, kata Gus yahya, Maduqi muda mengikat janji dengan kiainya sendiri, Mbah Ali. Dalam janji tersebut, Mbah Ali ngendikan ( berkata ), ‘’kalau kamu sanggup untuk tidak pulang dari pondok sampai tiga tahun penuh, aku jamin kamu akan jadi lebih alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang.’’ Inilah akad atau janji yang ditawarkan oleh Mbah Ali kepada Maduqi muda.
Masduqi muda siap menerima dan benar-benar melaksanakan akad tersebut. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang ( boyong ) kepada Mbah Ali.
Sebelum memberi izin pulang, Mbah Ali menarik tangan Masduqi muda dan membawanya ke meja makan.
‘’yuk, makan sama aku !” kata Mbah Ali.
Namun, ketika Masduqi muda hendak mengambil nasi, Mbah Ali segera melarangnya, ‘’ kamu duduk saja !’’ kata Mbah Ali kepada santrinya. Lalu di luar dugaan, Mbah Ali justru yang mengambilkan nasi beserta lauk pauknya. Singkatnya, Mbah Ali justru yang melayani santrinya di meja makan.
‘’Sejak saat itu, tidak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadz yang tidak ku ketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, memberi tahu artinya, ‘’begitulah cerita Kiai masduqi seperti yang di tulis oleh Gus yahya.
Gus yahya sendiri bercerita pengalamanya selama dirinya nyantri di Krapyak dan berguru kepada Mbah Ali Maksum. Menurut penuturan Gus yahya, setiap santri seolah diperlakukan secara khusus, secara berbeda dengan yang lainya.
Ada santri, kata Gus yahya, yang sekamar denganya, di perintahkan tidak hanya menulis saja. Santri tersebut juga disuruh ngeblad tulisan kitab. Dan santri baru, kata Gus yahya, justru diperlakukan ‘’sangat demokratis’’. Hal ini seperti yang di alami oleh seorang santri baru yang baru lulus SD dan juga hendak ngaji dengan Mbah Ali, ‘’Kamu sorogan ya, Nak ?
Kata Mbah ali kepada anak yang baru saja lulus SD itu.
‘’Sorogan itu apa, Mbah ? tanya anak itu.
‘’Setiap habis subuh kamu baca kitab di depanku !’’ jawab Mbah Ali dengan penuh kesabaran.
‘’Kitab itu apa, Mbah ? tanya anak itu lagi. Betapa kupernya memang anak itu, hingga kitab pun tidak tahu.
‘’Kitab itu ya buku, ‘’Jawab Mbah Ali singkat.
‘’yang dibaca buku apa ?’’ tanya anak itu lagi.
‘’Terserah kamu !’’ Mbah Ali menimpali .
Maka di suatu pagi, kata Gus yahya, di tengah anak-anak santri melakukan sorogan atau membaca kitab di hadapan Mbah Ali, terdengar suara keras yang mengagetkan dan tampak aneh dari bocah santri yang baru saja lulus SD itu, ‘’Pulau Buton menghasilkan aspal.’’
Mendengar suara sorogan kitab yang tampak aneh, para santri yang lain pun mencoba melihat ‘’kitab’’ anak lulusan SD yang dibacanya di hadapan Mbah Ali tersebut. Ternyata adalah buku berjudul PELAJARAN GEOGRAFI KELAS 1 SMP
Di situlah letak ‘’sikap demokratis’’ Mbah Ali. Beliau tidak marah, tetapi tetap melayani santri-santri yang hendak ngaji dengan beliau, meskipun kitab yang dibuat sorongan itu tampak tidak lazim. Sebab, yang disebut sorongan itu tampak tidak lazim. Sebab, yang disebut sorongan itu,
Umumnya yang di gunakan adalah kitab-kitab berbahasa Arab dan menjadi standar pesantren, bukan buku sekolah. Tapi mungkin namanya santri anyaran ( baru ) dan kitab saja tidak tahu, maka yang dibawa untuk sorogan pun buku sekolah, dan Mbah Ali pun tetap menerimanya. Sumber : Humor Sufi Para Wali dan Kiai