Salman Al Farisi; Kebesaran Jiwa Meski Patah Hati
HIDAYATUNA.COM – Salman al Farisi adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agama tersebut dan terjadi pergolakan batin yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.
Dia dilahirkan di Desa Ji, Ram Hurmuz, Parsi, negeri yang kaya raya dan penuh dengan keindahan alamnya, sesuai yang dijanjikan Rasululllah. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa Ji dan seorang ahli pertanian yang mengerti tentang soal tanah. Ayahnya juga seorang tersohor di sana dan memiliki rumah terbesar.
Ayahnya sangat menyayangi Salman, melebihi dari apapun. Karena cintanya kepada Salman semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Berbagai cara ayahnya selalu menjaga anaknya di rumah, seperti dikurung dipenjara.
Ayah Salman merupakan seorang pertani yang handal memiliki sebuah kebun yang luas, yang bisa menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Beliau memiliki lahan tanah subur yang luas.
Pengembaraan Mencari Kebenaran
Suatu ketika ayahnya lelah bertani, karena sibuk dengan pekerjaannya dan meminta Salman untuk mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. Itulah tugas awal Salman dari ayahnya, sehingga menjadi awal pencarian kebenaran tentang agamanya.
Tugasnya tersebut itu untuk pergi ke perkebunannya dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Pada saat menuju ke kebun, Salman tidak sengaja melewati Gereja Nasrani dalam perjalanannya. Sehingga Salman mendengarkan suara orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya.
Salman yang tidak tahu dengan dunia luar, tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup. Sebab ayahnya yang membatasi untuk bersosialisasi dan terkurung di rumah. Ketika dia melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, dia masuk ke dalam untuk melihat apa yang di lakukan. Salaman tertarik dan memutuskan untuk mempelajarinya. Bahkan karena keputusannya dia sampai kabur dari rumahnya.
Pengembaraan salman membawanya sampai ke Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja dan mengabdikan dirinya disana. Beberapa waktu kemuadian, Salman melihat kenyataan bahwa Sang Pendeta adalah seorang yang korup atau kikir. Sang Pendeta memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.
Suatu ketika sang pendeta meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkan pendeta, Salman mengatakan yang sebenarnya bahwa pendeta itu korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas, perak pada tujuh guci yang dikumpulkan dari sedekah para jemaah.
Salman pun pergi untuk mencari kebenara agama kepada orang shaleh lainnya dan pergi ke Wilayah Mosul, Nisibis. Pendeta yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.
Salman melanjutkan perjalanannya pergi ke Arab mengikuti para pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang menyetujui untuk membawa Salman. Namun ketika sampai tujuan di Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang Yahudi.
Akhirnya Salman sampai ke Yatsrib (Madinah) bertemu dengan rombongan yang baru hijrah dari Makkah. Pada akhirnya Salman dibebaskan dengan sejumlah uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau.
Betapa gembira hatinya, kenyataan yang diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.
Kisah Cinta
Salman al-Farisi merupakan sosok laki-laki pemberani dan cerdas yang mengusulkan penggalian parit dalam perang Khandaq bersama Rasulullah. Mempunyai ide cemerlang membuat nama salman disorot seluruh umat muslim dunia.
Namun siapa sangka, di balik ketenaranya, pria asal Persia ini juga pernah merasakan patah hati karena seorang perempuan yang amat dicintainya. Pada saat itu, Salman diam-diam menaruh hati pada seorang muslimah di kalangan Anshar.
Demi menyempurnakan sunnah Nabi Saw, Salman memantapkan niat hatinya untuk melamar muslimah tersebut. Tetapi, karena salman bukan penduduk asli Madinah dan belum mengetahui bagaimana adat budaya yang diterapkan untuk melamar seorang perempuan Madinah.
Pada akhirnya Salman meminta bantuan ke sahabatnya, Abu Darda untuk menemaninya mengkhitbah (melamar) pujaan hatinya. Betapa senangnya sahabatnya itu mendengar niat baik salman. Abu Darda langsung menyanggupi permintaan sahabatnya, tanpa berpikir panjang.
Pada saat itu, mereka pergi ke rumah muslimah dengan hati bahagia. sesampai disana, orangtuanya menerima dan menjamu keduanya dengan baik. Sahabatnya itu memperkenalkan dirinya dan Salmannya, serta menyampaikan maksud baik sahabatnya yang ingin meminang putri mereka.
Betapa senangnya mendengar tujuan mulia sang lelaki di hadapan ayahnya tersebut. Namun, ia tak serta merta menerimanya lamaran tersebut. Tetapi, Ia kembalikan keputusan itu kepada anaknya, karena bagaimanapun sang anak memiliki hak untuk memilih siapa yang kelak akan menjadi imam hidupnya.
Pada akhirnya sang putri menyatakan pendapat kepada kedua orangtuanya. Sedangkan Salman dan Abu Darda sedang menunggu jawabanya dengan hati berdebar-debar. Salman berdoa agar maksud hatinya disambut baik dengan perempuan idamannya (berkata dalam hatinya).
Sang ibu akhirnya menyatakan pendapatnya setelah dibisikan oleh anaknya, “Mohon maaf kami harus berterus terang, dengan penuh hormat putri kami tidak bisa menerima pinangan ananda Salman al-Farisi”.
Jawaban dari sang ibu bagaikan petir di siang bolong. Harapan Salman hancur, untuk hidup bersama dengan pujaan hatinya. Belum juga tersadar dari kenyataan perkataan ibunya, Salman mendengar ucapan yang lebih perih lagi.
Sang ibu melanjutkan pembicaraanya tersebut “karena kalian berdua datang dan mengharap ridho Allah. Jika berkenan saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama seperti salman, maka putri kami akan bersedia menerima lamaranya”.
Salman pun kaget mendengar permintaan dari ibunya, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itulah yang dirasakan Salman. Ia juga harus menerima kenyataan pahit bahwa perempuan yang diidam-idamkannya justru lebih memilih Abu Darda, sahabatnya sendiri dan menerima penolakan cintanya tersebut.
Namun, tidak sangka-sangka dalam keadaan patah hati Salman, justru tidak membenci sahabatnya. Ia malah ikut berbahagia mendengar kabarnya tersebut. Dengan hati yang ikhlas dan tegar, Salman melepaskan harapannya berkata, “Semua mahar, nafkah yang sudah aku persiapkan ini aku serahkan kepada sahabatku Abu Darda dan Aku akan menjadi saksi pernikahan mereka”.
Betapa besar kemuliaan hati Salman al Farisi dan menyadarinya bahwa cinta kepada manusia tidak boleh melemahkan pudarnya iman. Kekuatan Salman bukan hanya dlihat dari fisiknya, tetapi juga dari kebesaran hati dan imannya.
Salman al Farisi juga memahami arti persahabatan sejati. Tidak berpikir sedikitpun rasa benci kepada sahabatnya terbesit di hatinya. Abu Darda pun kaget, justru salman turut berbahagia ketika sahabatnya bahagia dan Salman tetap menjaga kokoh persahabatannya hingga akhir hayatnya.