Salat Sunah Rabu Wekasan, Pro dan Kontra
HIDAYATUNA.COM – Masyarakat adat Nusantara dari berbagai etnis mengenal adanya hari baik dan hari sial. Banyak tradisi tersebut yang semakin terkikis secara praktik dengan adanya ajaran Islam.
Naluri bangsa Nusantara akan kepercayaan adanya hari baik dan sial tidak bisa dihilangkan begitu saja. Demikian, saat mengkaji berbagai ilmu dalam Alquran Hadis masih sering dihubungkan dengan hal ini.
Sebagai contoh, adanya hari sial Sabtu, adalah pantangan untuk memulai pekerjaan besar. Sebab, hari tersebut adalah hari kutukan bangsa Israel melalui lisan Kanjeng Nabi Daud, yang menyabda para pendosa sehingga berubah menjadi kera.
Masyarakat tidak menakutkan akan kesialan tersebut, namun mengantisipasi hal-hal seperti demikian. Hal ini merupakan bentuk pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidak heran jika kemudian saat mengkaji fenomena Kaum ‘Ad pun tidak terlepas dengan hal ini. Dalam Alquran Surah Al Qomar 18-20 disebutkan:
’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (perintah Allah). Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin kencang kepada mereka pada hari sial yang terus menerus. Yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka hanyalah batang korma yang tumbang.”
Rabu Wekasan Bukan Sunah Rasulullah
Menurut Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil kejadian Kaum ‘Ad tersebut tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Dalam khazanah Budaya Jawa kemudian dikenal sebagai Rabu Wekasan.
Hal ini juga sejalan dengan Kitab Faidh al- Qodir yang menyebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad bersabda, “Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus.”
Dalam sebuah Kitab, juga disebutkan, bahwa berdasarkan pandangan dan isyarat sebagian Ulama. “Pada Rabu Terakhir Bulan Shafar akan diturunkan 320.000 ancaman bahaya kepada umat manusia di bumi.”
Umumnya, kemudian semua referensi ini dihubungkan sehingga, akhirnya muncullah tradisi salat sunah Rabu Wekasan atau Salat Sunnah Lidaf’il Bala’ (Solat Sunah Tolak Bala).
Jadi, dari sini kita mengetahui bahwa Salat Sunah Rabu Wekasan bukanlah amaliyah yang dituntunkan oleh Kanjeng Nabi dan generasi-generasi setelah itu.
Salat Sunah Rabu Wekasan tidak bisa dicarikan dalilnya karena hal di atas. Baik itu melalui tekstual dari generasi Imam Madzhab, Imam Muhadditsin dan Para Imam setelah itu yang sumbernya dari generasi salaf.
Kearifan Lokal Memohon Perlindungan Allah SWT.
Salat Sunah Rabu Wekasan adalah kearifan lokal, memohon kepada Gusti Allah untuk dihindarkan dari berbagai bencana yang hendak menimpa kita semua.
Para Ulama dalam hal ini ada yang secara tegas menyatakan Haram. Ada pula yang mengatakan boleh karena ingin mendapatkan manfaatnya.
Dalam hal ini, kemudian, ada banyak ulama yang menengahi, bahwa saat Rabu Wekasan tiba, maka digelarlah salat sunnah mutlak. Kemudian dilanjut dengan doa bersama semoga terhindar dar segala bencana yang hendak menimpa umat manusia.
Dalam hal ini, wajib kita ketahui, bahwa pengamal dan pengharam Salat Sunah Rabu Wekasan adalah sama-sama Ulama Muktabaroh. Oleh karena itu, hendaklah kita, sebagai kaum muslimin untuk tidak mudah mencela, memaki apalagi sampai membid’ahkan dan mengkafirkan saudara muslim kita.
Paling penting kita semua mengetahui ilmunya. Setelah itu, diserahkan pada keyakinan kita apakah hendak menjalankan atau tidak.