SAIFUDDIN ZUHRI : MAKNA PERJUANGAN DAN PENGORBANAN UNTUK BANGSA

 SAIFUDDIN ZUHRI : MAKNA PERJUANGAN DAN PENGORBANAN UNTUK BANGSA

HIDAYATUNA.COM – Beliau adalah tokoh Islam yang aktif dalam aneka peran dan jabatan yang diembannya. Saifuddin Zuhri adalah mantan Menteri Agama RI dalam lima kabinet kerja, yaitu Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I, selama sekitar lima tahun.

Saifuddin Zuhri lahir pada 1 Oktober 1919 di Kawedanan Sokaraja Tengah Banyumas, Jawa Tengah dari pasangan Mohammad Zuhri dan Siti Saidatun. Ia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ibunya berprofesi sebagai pengrajin batik, dan ayahnya adalah seorang petani. Saifuddin dibesarkan di dalam lingkungan pendidikan sekolah dan pesantren di daerah kelahirannya, sebuah pesantren kecil yang tidak tenar namanya. Masa mudanya ditempuh dalam keprihatinan untuk mendidik diri sendiri sehingga tertanam jiwa mandiri atau berdikari dalam dirinya.

Zaman pergolakan bersenjata dan pergerakan politik pada masa ia hidup dan berkembang menempatkan dirinya menjadi pemuda yang berkarakter dan penuh semangat perjuangan. Ketika usianya baru mencapai 19 tahun, ia dipilih untuk menjadi pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Nahdatul Ulama daerah Jawa Tengah Selatan. Selain itu, ia juga menjadi konsul Nahdatul Ulama daerah Kedu yang merangkap sebagai Guru Madrasah. Saifuddin muda juga aktif dalam dunia kewartawanan, ia menjadi koresponden surat kabar Pemandangan dan Darmokondo. Aktifitas tersebut sekaligus memberinya manfaat untuk memenuhi biaya hidupnya selama menjalani pendidikan di Solo.

Sebelum bekerja sebagai koresponden, Saifuddin awalnya berencana untuk menjadi pelayan toko dan pelayan hotel, namun hal itu terdengar oleh ayahnya dan ia dilarang untuk malkukan rencananya tersebut. Ia kemudian berusaha keras untuk mencari pekerjaan yang lebih baik guna membiayai sekolahnya, hingga akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai koresponden karena bakatnya dalam bidang menulis.

Dengan penghasilan tersebut, ia berhasil membiayai sekolahnya di Madrasah Mamba’ul Ulum sampai kelas VIII yang saat itu merupakan kelas tertinggi. Pekerjaannya sebagai wartawan sedikit terganggu karena sekolahnya di Mamba’ul Ulum masuk siang. Oleh karena itu ia memilih untuk pindah ke sekolah lain.

Dari Mamba’ul Ulum, Saifuddin pindah ke Madrasah Salafiyah dan diterima di kelas tertinggi. Namun di sekolah baru ini, ia hanya bertahan satu bulan karena ia kesulitan untuk mengatur waktu. Selanjutnya Saifuddin belajar di lembaga pendidikan Al-Islam, juga di kelas yang paling tinggi dan di sekolah inilah ia bisa beradaptasi.

Pada usia 35 tahun, Saifuddin Zuhri telah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jendral Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Pada saat yang sama, ia juga menjadi pimpinan redaksi Harian Duta Masyarakat. Selain itu, ia juga menjadi anggota Parlemen Sementara. Pada usia 39 tahun, Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI.

Pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, Presiden Soekarno memanggil Saifuddin Zuhri ke Istana Merdeka. Bung Karno meminta Saifuddin untuk menjadi Menteri Agama menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri. Permintaan ini tak langsung disetujui oleh Saifuddin Zuhri, ia justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada beberapa tokoh penting di NU, khususnya K.H Wahab Chasbullah dan K.H Idham Chalid. Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan mendapat dukungan, ia kemudian menjadi Menteri Agama periode kesepuluh. Saifuddin menjadi Menteri Agama pada umur 43 tahun. Ia tercatat sebagai Menteri Agama yang tergolong “awet”, karena menduduki jabatan ini dalam lima kabinet.

Setelah menjadi Menteri Agama, Saifuddin Zuhri membentuk Lembaga Penerjemahan al-Qur’an pada akhir tahun 1962, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan terjemahan al-Qur’an yang baik. Sejak itu dimulailah penerjemahan al-Qur’an yang sekaran menjadi “Al-Qur’an dan Terjemahannya” Kementrian Agama RI. Penerjemahan ini dilakukan selama tiga tahun, yaitu pada 1963-1965.

Pada masa-masa itu, yaitu antara 1963-1965 banyak buku-buku impor dari luar negeri, khususnya buku-buku berbahasa Arab dri Mesir, terutama Kairo dan Libanon. Dalam kondisi yang demikian, Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama merespon perkembangan tersebut dengan merintis berdirinya Yayasan Pembangunan Islam yang disingkat YPI pada tahun 1964. Pendirian YPI bertujuan utnuk mengerahkan kemampuan umat Islam dalam rangka memberi sumbangan untuk kelancaran dakwah dan pendidikan, khususnya di bidang penerbitan al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Pada 1 April 1967, dilakukan peletakan batu pertama untuk pembangunan gedung YPI di Ciawi, Bogor. Sampai sekarang, YPI masih menerbitkan dan mencetak al-Qur’an bersama Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama.

Perjuangan Saifuddin sebagai Menteri Agama tak hanya berhenti di situ, ia juga berupaya mengembangkan IAIN, usahanya pun tak sia-sia, IAIN berkembang di sembilan provinsi dn masing-masing memiliki cabang di kota atau kabupaten lainnya. Menurut pemikirannya, IAIN harus menjadi perguruan tinggi yang memiliki kedudukan strategis dalam rangka mewujudkan tesis agama sebagai unsur mutlak nation building (pembangunan bangsa).

Usahanya dalam mengembangkan IAIN bukan tanpa halangan, banyak reaksi bermunculan dari sebagian kalangan DPR dan dari sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengembanan IAIN. Tudingan bermunculan dengan mengatakan bahwa Menteri Agama menganakemaskan umat Islam dan berbuat diskriminatif terhadap rakyatnya. Saifuddin kemudian memberikan penjelasan “Menjadi kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan rakyat melalui pendidikan dan pengajaran. Dalam sistem pendidikan kolonial tempo dahulu, hanya segolongan masyarakat kecil yang diuntungkan oleh sistem itu, dengan menikmati berbagai fasilitas dan saran yang baik. Sementara masyarakat Islam yang lain itu dibiarkan dalam kebodohan.”

Mimpi besar Saifuddin Zuhri untuk IAIN menemui kendala dalam pendanaan. Masa itu, Kementrian Agama memiliki anggaran terkecil setelah Kementrian Sosial. Oleh karenanya, ia mengharuskan kepada setiap daerah yang akan mendirikan IAIN agar membentuk badan wakaf yang dapat mengupayakan tanahm gedung, dan modal usaha. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama akan memberikan dukungan, fasilitas dan pengakuan (civil effect) bagi lulusannnya. Kebijakan inilah yang kemudian disambut hangat oleh masyarakat. Sembilan IAIN itu berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Banda Aceh, Ujung Pandang, Banjarmasin, Padang, Palembang dan Jambi.

K.H. Saifuddin Zuhri menikah dengan ibu Solichah, dari pernikahannya tersebut ia dikaruniai sepuluh anak, diantaranya adalah Dr. Fahmi Dja’far, Farida, Anisa, Aisyah, Andang FN, Baehaqi, Julia, Annie, Adib dan Lukman Hakim Saifuddin yang merupakan Wakil Ketua DPP PPP dan Wakil Ketua MPR RI yang saat ini menjabat sebagai Menteri Agama pada kabinet kerja Jokowi-JK.

Sumbangsih Saifuddin Zuhri dalam bidang dakwah mengantarkannya untuk menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, ia juga mendapat bintang jasa dan kehormatan dari pemerintah, diantaranya Bintang Gerilya yang diberikan oleh Presiden Sukarno, Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana yang diberikan oleh Presiden B.J Habibie pada 1998. Di samping itu banyak penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, salah satunya Bintang Equitern Ommendatorem Ordinis Sancti Silvestri Papae  dari Sri Paus di Vatican, Roma pada tahun 1965.  

Semasa hidupnya, Saifuddin Zuhri menulis beberapa buku, diantaranya Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam national Building (1965), K.H. Abdul Wahab hasbullah, bapak Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), Kaleidoskop Politik Indonesia ( tiga jilid :1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1982), dan Secercah Dakwah (1983. Saifuddin Zuhri wafat pada 25 Februari 1986 setelah menyelesaikan buku terakhirnya yang berjudul Berangkat dari Pesantren. Buku inilah yang menjadi sejarah perjuangannnya yang panjang dalam berbagai medan khidmad. Buku ini juga menjadi saksi sejarah yang berharga tentang makna perjuangan, pengabdian, dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya sebuah bangsa yang merdeka.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *