Sahkah Berwudhu Dengan Air Satu Gayung?

 Sahkah Berwudhu Dengan Air Satu Gayung?

HIDAYATUNA.COM – Ada polemik di masyarakat tentang orang yang berwudhu dari air satu gayung saja. Lumrahnya, masyarakat Indonesia yang biasa berwudhu dengan air yang berlimpah apakah bisa dikatakan sah wudhunya seseorang yang hanya menggunakan air satu gayung?. Ada dua hal pokok yang perlu dibahas dalam masalah ini, yakni masalah jumlah airnya dan masalah tata cara berwudhunya. Mengenai jumlah air wudhu dan mandi besar, Imam Nawawi menukil kesepakatan ulama sebagai berikut:

أجمع المسلمون على أن الماء الذي يجزئ في الوضوء والغسل غير مقدر بل يكفي فيه القليل والكثير إذا وجد شرط الغسل وهو جريان الماء على الأعضاء
Artina: “Para Ulama Muslimun sepakat bahwa air yang dianggap mencukupi dalam wudhu dan mandi tidaklah ditentukan, tetapi dianggap cukup air sedikit atau banyak ketika sudah memenuhi syarat mandi dan wudhu, yaitu mengalirkan air ke anggota tubuh.” (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz IV, halaman 2).

Jadi, jumlah batas keabsahan air sebenarnya tidak ditentukan. Selama mencukupi untuk menunaikan rukun wudhu maka tak masalah. Tetapi para ulama seluruhnya juga sepakat bahwa jumlah air wudhu tidak boleh berlebihan.

Selanjutnya mengenai tata cara dalam berwudhu, apabila seseorang berwudhu dengan cara menuangkan air sedikit demi sedikit dari wadahnya (gayung) ke anggota wudhu tanpa memasukkan tangan ke dalam wadah air, maka cara ini adalah cara yang disepakati kebolehannya. Bahkan inilah cara berwudhu yang standar bila memakai air yang sedikit (jumlahnya kurang dari 2 qullah). Adapun bila memakai air banyak atau air yang jumlahnya melebihi ukuran dua qullah (sekitar 270 liter menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaily), maka tak masalah baik berwudhu dengan cara airnya dituangkan atau berwudhu di dalam wadah airnya.

Adapun bila seseorang berwudhu dengan cara memasukkan tangannya ke dalam gayung, maka cara ini butuh perincian lebih lanjut tentang keabsahannya sebab air yang jumlahnya kurang dari dua qullah akan menjadi musta’mal (air sisa) ketika sudah dipakai untuk menyucikan satu anggota wudhu sehingga dalam pandangan banyak ulama, terutama Syafi’iyah, ia tak bisa dipakai lagi untuk menyucikan anggota wudhu lainnya. Imam Nawawi berkata:

وَلَوْ غَمَسَ الْمُتَوَضِّئُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ غَسْلِ الْوَجْهِ، لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ غَمَسَهَا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْوَجْهِ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ، صَارَ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ نَوَى الِاغْتِرَافَ، لَمْ يَصِرْ،
Artinya: “Apabila seseorang mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sebelum ia selesai dari membasuh muka maka airnya tidak menjadi musta’mal.. Apabila ia mencelupkan tangannya setelah selesai membasuh muka dengan niatan untuk menghilangkan hadas tangan maka airnya menjadi musta’mal. Apabila ia berniat ightirâf maka tidak menjadi musta’mal.” (an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I)

Sumber:
• Kitab al-Fiqh al-Islâmiy Wa’adillatuh Karya Dr. Wahbah az-Zuhaily
• Kitab Hasyiyat al-Bujairamî ‘ala al-Khathîb Karya al-Bujairami
• Kitab Raudlat al-Thâlibîn Karya an-Nawawi

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *