Saat Rindu Memanggil Rindu ( Part 1 )
HIDAYATUNA.COM – Ruang redaksi menegang. Setiap orang disana saling tatap, memandang ngeri ke arah ketua redaktur. Sang ketua redaktur hanya tersenyum, kali ini ia kembali membuat tantangan yang mencengangkan. Ia berprinsip bahwa para jurnalisnya harus dididik dengan tantangan, agar mereka terus berkembang. Ia terus tersenyum sampai sebuah tangan terangkat. Bukti menyatakan kesiapannya mengambil tantangan kali ini.
Ghofur, ketua redaksi majalah Islam terkemuka itu bertepuk tangan.
“Bravo! Selamat Rindu. Kamu adalah calon jurnalis yang hebat. Bisa kamu jelaskan mengapa kamu mengambil tantangan ini?” Tanyanya seraya menyilangkan tangannya didepan dada.
“Saya hanya ingin mengemukakan kepada dunia, bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan lil ‘alamin. Menurut saya, dengan saya mengambil tantangan ini, dapat melatih saya dalam menulis dan berpartisipasi dalam menegakkan kembali kejayaan Islam.” Suaranya lembut, tapi tegas. Ghofur mengangguk setuju,
“Rindu, pasanganmu adalah Rena. Dia akan jadi fotografer yang baik untuk, sekaligus teman yang menyenangkan di Gaza. Selamat berjuang! Dan cepat kembali. Setiap kepala manusia yang rindu akan kejayaan Islam menanti berita darimu Rin.” Rindu hanya mengangguk. Mengamini setiap kata yang baik untuknya.
Dan dari anggukan itulah, cerita ini dimulai.
Namanya Almira Rindu. Putri tunggal dari seorang dokter dan guru. Keluarganya adalah keluarga terpandang. Hidup dalam keluarga yang sangat berkecukupan, terpenuhi semua kebutuhannya tak menjadikan gadis yang biasa dipanggil Rindu ini menjadi manja. Semenjak lulus SMA, Rindu memilih untuk berkuliah di luar kota, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tiga bulan yang lalu baru saja ia lulus dari sebuah perguruan tinggi di Bandung. Karena nilainya yang memuaskan, dosennya menawarkan pekerjaan di sebuah majalah yang berlatar belakang Islam. Rindu yang memang begitu aktif berdakwah segera menyambut hal itu dengan gembira.
Namun, keluarganya bukan keluarga yang bersuasana Islami. Ayahnya sangat menolak putrinya itu bekerja disana. Alasannya hanya karena takut ia menjadi anggota sekte aliran sesat. Ibunya apalagi, sangat berlebihan menilai segala kegiatan keislaman yang ia lakukan. Setiap kali melihat Rindu dengan kerudung panjangnya, ibunya selalu menyindir dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Tapi Rindu tetap bertahan. Ia ingin menggapai mimpinya. Meliput Gaza. Menuliskan penderitaan mereka untuk kemudian dibawa ke ranah dunia sebagai bukti kesadisan zionis. Ia merindu pada tanah Para Syuhada.
Sebuah tawaran besar yang ditawarkan ketua redaksinya menguji keberanian dan kemampuannya. Ia ingin sekali menyentuh tanah Syams, menuliskan tentang bau mesiunya, menyentuh awan-awan duka, melihat pertumpahan darah disana, mengambilnya dalam tulisan dan rangkaian kata, kemudian membawa pada dunia untuk membuka hati nurani seluruh alam. Menyatakan bahwa Palestina patut dimerdekakan. Meski ia tau, semua tak akan semudah mengancungkan tangan. Ia akan berusaha. Ini jihadnya, jalannya menempuh ridha Illahi untuk menjemput peradaban Islam kembali. Saatnya Rindu memanggil rindunya.
Ruang keluarga lengang, Rindu menatap ayah dan ibunya yang saling memandang, berpikir tentang keputusan anak semata wayangnya.
“Keras kepala banget sih kamu! Harus ibu bilang berapa kali, kamu tuh terdokrin. Ikut-ikutan organisasi nggak jelas. Sesat!” Ibunya menghakimi.
“Ibu, ini bukan aliran sesat. Rindu melakukan ini atas kebenaran yang udah Allah tuliskan, bu.” Rindu berkukuh.
“Disana tuh tempat peperangan. kamu perempuan! Anak satu-satunya. Kalau kami kena peluru disana, siapa yang akan lanjutin usaha bapak dan ibu mu? Jangan egois Rindu!” Suara keras itu milik bapaknya yang berdarah Manado. Rindu beristighfar, mencoba bersabar. Dia tau, Allah selalu memberi yang terbaik.
“Maka dari itu pak, Rindu mau minta keridhaan bapak dan ibu. Rindu sedang memburu cinta Allah pak, bu. Rindu ingin mengangkat kebenaran.” Rindu menyentuh lembut tangan bapaknya. “Karena tanpa doa dan ridha dari bapak ibu, bisa saja Rindu tak kembali. Tapi jika bapak dan ibu meridhai keputusan Rindu, Insya Allah Rindu akan kembali.”
“Keras kepala! Sudah bapak dan ibu bilang berapa kali. Otak kamu diisi apa sih? Kalau kamu mau berjihad, jihad saja di negaramu sendiri. Negaramu sendiri saja masih banyak yang bermaksiat. Kamu malah membela Negara lain.” Bapaknya memandang Rindu dengan tatapan tajam, kemudia melemparkan Koran ke atas meja, pergi meninggalkan Rindu.
“Sekali-kali berbakti sama orangtua, Rin!” Rindu hanya terdiam mendengar perkataan terakhir dari ibunya yang langsung menusuk pada hatinya.
‘Ya Allah, tunjukan jalan-Mu yang terbaik untukku.’ Gumam Rindu dalam hatinya.
Ruangan Ghofur menyisakan cerita Rindu yang telah usai. Ghofur terlihat bingung, menatap gadis yang ada di hadapannya sekelebat saja, kemudian mengalihkan pandangannya kearah layar laptopnya.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan Rin? Mundur? Nggak semudah itu ngelepas amanah yang udah kamu sanggupin. Kalau dari awal kamu ngerasa nggak sanggup, kamu nggak perlu memaksakan diri.” Ghofur berkata tegas. Kata-katanya menohok sekali.
“Iya saya tau Mas, nggak akan mudah memang melepaskan apa yang udah saya sanggupi. Saya akan bertanggung jawab.” Nada keyakinan yang terlontar dari lisan Rindu membuat Ghofur meliriknya sambil mengerutkan dahi.
“Segitu yakinnya kamu Rin? Inget Rin, keridhaan Allah bergantung pada ridha orangtua. Gimanapun juga mereka itu orangtua yang melahirkan kamu.” Ghofur mencoba menaihati Rindu.
“Insya Allah Mas, saya usahakan.”
“Saya percaya kamu bisa nemuin penyelesaian masalahmu sendiri. Saya tau kamu orang yang bertanggung jawab pada setiap amanah. Ma’an najah.”
“Iya mas. Terima kasih.”
“Saya menunggu kepastian dari kamu dalam waktu lima hari.” Rindu menjawab dengan anggukan yang ambigu. Antara yakin dan tidak yakin dapat memberi jawaban yang memuaskan.
Ghofur menutup laptopnya, kemudian berjalan keluar meninggalkan Rindu di ruang ketua redaksi. Rindu hanya bisa melepas napas panjang, mengingat kata-kata Mas Ghofur tadi membuat hatinya terenyuh. Ia sadar sepenuhnya hal ini tidak akan mudah.
Jama’ah sholat zuhur baru saja usai. Rindu masih berada di tempatnya. Hatinya tak tentu arah. Jalan cerita mana yang akan ia pilih. Impiannya sudah di depan mata, tapi orangtuanya yang awam agama menjadi sebuah pengahalang mimpinya. Menentang keputusan orangtuanya adalah keputusan terburuk, dan melepaskan tantangan ini adalah sebuah penyeselan yang akan berkepanjangan. Rindu memejamkan matanya, berharap segala gundahnya hilang dan berganti jawaban.
“Rinduuu!!” seseorang mengejutkan Rindu.
“Astaghfirullah, Ren! Ini masjid tau bukan lapangan.” Rindu bersungut sambil mengelus dadanya.
“He.. he.. he iya gue lupa! Maap deh!”
“Ada apa kamu panggil aku?”
“Mas Ghofur udah nyiapin visa sama tiket kita ke Mesir. Jadi nanti kita masuk lewat pintu Rafah. Sekitar 3 minggu lagi baru akan dibuka, kita masuk bareng rombongan dari KNRP. Jadi sekitar 2 minggu lagi kita akan berangkat.” Rena berkata dengan nada senangnya.
“Kamu serius? Secepat itu? Padahal aku belum ngasih jawaban pasti..”
“Iya Mas Ghofur juga baru aja bilang ke gue. Kata Mas Ghofur juga itu mendadak. Nih liat gue udah prepare kamera terbaru dong. Canon EOS 1000D!” wajahnya masih terlihat sumringah seraya menunjukan kamera terbarunya.
“Eh, by the way, kenapa lu belum kasih kepastian? Lu takut, Rin? Kan ini mimpi besar lu, Rin. Gue liat di kubikel lu banyak banget tulisan ‘Gaza’s Journalism’.” Rena memindahkan fokusnya dari kamera ke wajah Rindu yang sudah berubah air muka.
“Kamu taulah Ren. Bapak sama ibuku gimana. Mereka belum ngasih izin ke aku.”
“Hah? Kok bisa? Kenapa lu nggak bilang ke gue dari kemaren? Kan bisa gue bantuin.”
“Nggak semudah itu Ren. Orangtuaku bukan orang yang paham agama seperti kita. Orangtuaku selalu berpikiran, kalo aku tuh ikut aliran sesat.” Rasa gundah Rindu kembali.
“Mas Ghofur udah tau?”
“Udah. Tadi pagi udah aku jelasin semua ke Mas Ghofur.”
“Terus kata Mas Ghofur apa?”
“Dia hanya menyadarakan kalau ini tanggung jawab aku. Salah aku juga sih. Kemarin aku terlalu bersemangat, sampe lupa kalo aku beda pikirannya sama bapak ibu.”
“Nggak begitu juga tapi Rin. Kita juga punya tugas dakwah sama orangtua kita.”
“Insya Allah nanti aku coba lagi.” Rindu bangkit dari duduknya. “Makan siang yuk! Aku yang traktir.” Rindu menarik tangan Rena yang terlanjur berteriak senang.
Senja telah terganti malam, sholat maghrib baru saja terlaksanakan. Ikhwan itu terduduk takzim di sebelah sahabatnya, Aziz. Hatinya terus bergemuruh, bertanya tentang kelanjutan perasaannya pada seorang gadis yang terpaut tiga tahun darinya.
Rindu yang begitu lembut di matanya. Rindu yang cerdas dan cekatan. Rindu yang supel dengan setiap karyawan. Rindu yang sangat berambisi menuju Gaza. Rindu yang menjadi alasannya membuat tantangan besar untuk mewujudkan mimpi Rindu. Almira Rindu. Nama yang malam itu dia sebutkan dalam sujudnya.
Aziz, telah meraba perasaan sahabatnya itu. Jelas sekali terlihat di wajah sahabatnya itu gurat-gurat perasaan pada gadis berkerudung lebar itu. Pertama kalinya ia melihat sahabatnya itu terserang virus cinta.
“Ente pasti lagi jatuh cinta?” tuduh Aziz langsung padanya. Wajah ikhwan itu memerah.
“Apa sih, Ziz! Ana biasa aja.”
“Lah ane kenal ente dari kecil. Dari cara ente makan sampe buang air ane tau semua. Keliatan dari muka ente.”
“Ana nggak mau meyakinkan ini dulu. Ana takut salah Ziz. Nanti jatuhnya malah zina.”
“Iya ana pahamlah. Semoga ente selalu dilindungi Allah ya!”
“Amin. Semoga ente juga.”
Purnama bergantung di luar, jika saja dapat dilihat ia sedang bercengkrama dengan para bintang. Jika dapat didengar mereka sedang berdzikir bersama, memuji Pencipta mereka. Jika saja dapat disentuh, bulan dan bintang sedang menyalurkan energi keimanan pada bumi. Begitu indahnya malam itu.
Malam itu juga, seorang anak adam bersujud. Berbisik pada bumi tentang perasaannya yang ambigu, tentang hatinya yang meminta perlindungan dari Yang Maha Membolak-balikan hati. Berharap sang Pemilik langit mendengar celoteh panjangnya dalam sujudnya.
“Rindu cuma mau memburu cinta-Nya allah aja bu, pak. Rindu harus bertanggung jawab atas apa yang udah rindu putuskan. Sekali lagi, izinkan Rindu ke Gaza.” Suara Rindu serak memohon.
Bapaknya menatap Rindu dingin. Ibunya hanya diam, membolak-balikan majalah fashion yang sedang memuat tentang Miss Universe. Rindu menatap sendu kedua orangtuanya.
“Bapak minta kamu keluar dari pekerjaan itu. Kamu lanjutkan bisnis bapak saja. Bapak muak melihat kamu menjadi orang yang fundamental. Mau dikatakan apa keluarga kita?” suara bapak meninggi. “Punya anak, yang nggak bisa berbakti sama orangtua. Nggak mau denger apa yang orangtua bilang. Kamu mau jadi anak durhaka?” Tambah bapaknya. Air mata Rindu sudah mengalir, membuat riak kecil yang membasahi pipinya.
“Emangnya dengan kita menyumbang aja kurang Rin? Kamu butuh berapa untuk bantu mereka? Ibu sama bapak akan kasih! Seratus juta? Seratus miliar?” Ibunya berkata ketus.
“Ini semua bukan tentang uang bu. Bukan tentang menjadi anak durhaka. Ini tentang kewajibkan kita menyebarkan syiar Islam. Saudara kita disana bukan butuh uang bu, pak. Mereka butuh pembebasan. Butuh merdeka.” Rindu mencoba menjelaskan.
“Terserah kamu saja Rin! Bapak lelah. Kamu pergi saja sana! Per..” Belum sempat bapaknya menyelasaikan kalimat, bapaknya terhuyung. Tangannya mencengkram dadanya. Wajahnya mengerang, menandakan kesakitan.
“Bapak!!” Pekik Rindu dan ibunya. Rindu segera meraih ponselnya, menelepon ambulans secepat yang ia bisa.
By : Alvi Bahaviani