Saat Rindu Memanggil Rindu ( Part 2 )
HIDAYATUNA.COM – Pagi itu, Rindu memutuskan tetap bekerja. Wajahnya kuyu. Semalaman tak bisa tidur menatap wajah bapaknya yang memucat dan Ia merasa bersalah. Rindu terus berjalan gontai hingga sampai di kubikelnya.
“Mba? Kenapa?” juniornya, Azza.
“Nggak apa-apa. Aku cuma capek aja.” Rindu berusaha tersenyum.
“Oh! Ditunggu sama Mba Aya di ruangannya.” Azza tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih.
“Oh iya. Makasih ya Za.” Azza membalas dengan anggukan, kemudian bersegera menuju ruang editing. Sementara Rindu melangkah gontai menuju ruang Mba Aya. Seniornya sekaligus murabbiyahnya.
Di ruangannya Aya sedang berjibaku dengan banyaknya kertas yang membahas pengkudetaan terhadap Muhammad Mursi. Rindu membuka pintu, melongokan kepalanya.
“Assalamualaikum mba. Ada apa nyari aku?” Salamnya seraya memasuki ruangan.
“Waalaikumsalam. Duduk sini.” Aya menepuk sofa di sebelahnya, melepas kacamatanya.
“Makasih mba.”
“Rin, bapak masuk rumah sakit?”
“Iya mba! Ini semua salah Rindu terlalu memaksakan diri.” Rindu tertunduk.
“Nggak apa-apa. Mba tau kok Rin. Ini cobaan dari Allah. Buat hamba-Nya yang sedang berjuang fii sabilillah. Allah tau kamu kuat. Makanya kamu dikasih cobaan ini.” Aya menyentuh punggung tangan Rindu. Rindu menarik napas panjang.
“Oh iya, selain itu. Aku punya kabar gembira buatmu. Mungkin ini bisa menjadi obat untuk bapak sekaligus tiketmu menuju Gaza.” Aya sumringah menceritakan.
“Kabar bahagia?” Rindu mengernyitkan dahinya. “Apa mba?”
“Ada yang siap meminangmu.” Suara Aya menggantuk di kantor Majalah Islam Masa Kini. Napas Rindu berubah berburu, hatinya bimbang tak mengerti. Banyak desir yang tak bisa ia jelaskan. Matanya sempurna membulat. Terkejut. Aya yang melihatnya tertawa. Mencoba mencairkan ketegangan di wajah Rindu.
“Kamu kok kaget gitu sih? Siapa tau dengan ada yang meminangmu, bapakmu mengizinkan kamu pergi ke Gaza. Lagipula, aku pikir kamu cocok dengan dia. Dia sudah bisa dibilang mapan, termasuk hamba Allah yang taat.”
“Tapi mba, apa secepat ini?” Wajahnya menyiratkan keraguan. “Kalo aku boleh tau, dia siapa mba?”
“Muhammad Arham Ghofur.”
“Ha? Mas Ghofur?” Rindu kembali terkerjut. Aya memilih membalasnya dengan tertawa.
“Iya Rin. Baru aja kemarin malam Ghofur menyampaikan itikad baiknya. Ya aku langsung sumringahlah. Pertama kalinya aku denger Ghofur jatuh cinta sama perempuan.” Aya tertawa lagi.
“Insya Allah mba. Aku pikirin dulu. Biar aku bilang sama bapak.”
“Kayaknya kamu keduluan deh!”
“Maksudnya?” Rindu mengernyitkan dahi. Lagi.
“Siang ini, dia berniat nengok bapakmu. Sekaligus nyampein keinginannya.” Aya tersenyum puas.Sementara Rindu harus terkejut lagi.
“Masya Allah!” Suara Rindu menggantung di dalam ruangan Aya.
“Baiklah kalau begitu. Bapak akan mengizinkan Rindu pergi. Terimakasih banyak ya Fur. Kamu memang persis seperti bapakmu. Saya tidak menyesal menjadikanmu menantu.” Ujar bapak Rindu.
“Alhamdulillah. Semoga semua berjalan lancar.”
“Ya sudahlah, ibu mah terserah bapak saja. Yang penting Rindu kembali lagi dengan selamat.” Ujar ibu sinis.
“Amin bu. Insya Allah.” Kali Ghofur yang menjawab.
—
Hari itu Rindu tak tau harus berekspresi apa. Antara harus bahagia, sedih, atau takut. Ia bahagia dapat mencapai mimpinya. Sedih juga, karena ibu dan bapaknya belum sepenuhnya mengikhlaskan. Juga merasa takut karena dia akan memasuki ajang pertempuran.
Seperti pagi ini, di Bandara Soekarno-Hatta, Rindu hanya dapat menunduk. Beberapa teman kerjanya hadir mengantar. Termasuk Ghofur. Rindu merasa sangat sebal. Karena Ghofur bisa bersikap biasa saja, sementara dirinya tidak. Ibunya memilih membaca majalah yang ada di bandara. Bapaknya lebih memilih berbincang dengan teman lamanya. Hati Rindu tertohok melihat hal itu.
“Mba!” Peluk Azza. “Cepet balik ya! Azza bakal kangen banget sama mba. Pokoknya kalo udah sampe Gaza, ada tentara Israel yang macem-macem, langsung aja mba keluarin jurus karate mba.” Ujarnya seraya terus memeluk Rindu.
“Hahaha, kamu tuh apa sih. Insya Allah nggak ada yang tentara Israel nggak ada yang berani sama aku.” Rindu membalas pelukan Azza dan setelah itu Aya menghampiri Rindu. Menatapnya sejenak. Memeluk Rindu kemudian. Rindu membalasnya.
“Mba, titip bapak sama ibu ya! Titip kubikel juga. Titip syiar Islam yang akan kutorehkan mba!” Ujar Rindu yang sudah berlinang air mata.
“Insya Allah. Insya Allah kamu sendiri yang akan menorehkan syiar Islam di Indonesia. Mba yakin!”
“Amin mba!” ada sebuah desir rasa yang tak bisa diterjemahkan oleh Rindu.
“Jaga diri ya! Jaga ibadahmu, agar Allah senantiasa melindungimu.” Aya melepas pelukannya. Rindu menyeka air mata dan anpa sengaja, ujung matanya menangkap wajah Ghofur yang terlihat terbawa suasana. Rindu cepat-cepat menepis segala pikiran, memfokuskan diri dengan tujuannya. Meluruskan niat.
“Tuh kan! Kalian pelukan disaat gue kejebak mancet.” Wajah Rena terlihat muram, sementara yang lain hanya tertawa melihat Rena dengan gayanya yang super. Faiz, yang notabene adalah kakaknya menghampiri.
“Kan udah abang bilang bangun pagi! Telat kan.” Ujarnya seraya membantu Rena.
“Salah sendiri abang nggak mau nungguin aku!” semua terkejut melihat sikap Rena yang berubah menjadi gadis manis di depan abangnya.
“Nyalahin orang lagi! Udah sana cepet! Kasian Rindu udah nunggu dari tadi.”
“Siap, bang! Titip Choky sama Timu ya! Jangan lupa dimandiin.” Rena mengingatkan abangnya perihal dua kambingnya itu. Kemudian berjalan dengan susah payah menggeret kopernya.
“Kamu bukan mau liburan kan?” Tanya Rindu dengan wajah bingung.
“Nggaklah! Ini semua keperluan kita.” Rena merangkul pundak Rindu.
Panggilan terakhir kepada para penumpang menuju Mesir sudah terdengar. Rindu bersiap. Menata hatinya dengan baik. Ia menghampiri orangtuanya.
“Bu, pak, ikhlaskan Rindu!” seraya mencium tangan bapak dan ibunya bergantiam. Sekuat tenaga Rindu menahan air matanya.
“Pergilah! Jaga dirimu. Dan kembali!” pesan bapaknya terdengar dingin. Ibunya hanya mengangguk. Rindu menabahkan hati.
Rindu segera mengambil kopernya, sekali lagi bersalaman dengan teman-temannya. Terlihat Azza dan Aya mulai menitikan air mata. Rindu tersenyum melihat mereka.
Dan terakhir, di pintu keberangkatan. Ghofur berdiri disana. Menyerahkan surat bertugas pada Rindu. Rindu menerimanya dengan rasa yang tak karuan. Tak berani menatap Ghofur seperti biasanya. Aya tertawa melihat kejadian itu.
“Kembali untuk Islam dan Indonesia.” Pesan Ghofur. “Juga untukku.” Pelan tapi Rindu dapat mendengarnya jelas. Rindu hanya mengangguk. Tersenyum. Kemudian memasuki pintu keberangkatan. Meninggalkan Indonesia, keluarga, dan semua kisahnya.
Hari terakhir di Gaza.
Gersang kehampaan menyelimuti suasana Gaza, Palestina. Mentari mengilaukan cahaya keemasannya seakan terus mengobarkan semangat jihad para mujahid. Awan-awan duka yang menggenggam erat segala kesedihan, seakan sirna oleh terangnya cahaya keimanan. Cahaya yang dinanti oleh setiap warga Palestina dan seluruh muslim di dunia untuk dapat bersimpuh memberikan segala yang dimilikinya kepada Sang Pencipta.
Rindu menatap bangga tanah Para Syuhada. Rena masih sibuk berfoto dengan anak-anak Palestina yang sangat ia sukai. Sementara Rindu memilih untuk berkeliling tempat pengungsian di perbatasan Rafah. Siang nanti ia sudah harus meninggalkan tanah yang banyak mengajarkannya arti kesabaran dan ketabahan.
Tepat saat ia sedang melewati sebuah pos penjagaan Israel, ia melihat Maryam. Seorang gadis Palestina yang menjadi narasumbernya. Ceritanya yang kehilangan seluruh keluarga setelah pulang sekolah sangat menarik perhatian Rindu. Tanpa sengaja ia melihatnya sedang menghindar dari tentara Israel tersebut. Rindu memberanikan diri menghampiri.
“What’s happening Maryam?”
“He wanted to touch me. I know it’s only reason for him to hurt me. I just keep my body from the devil!” ujar Maryam yang marah. Rindu hanya dapat melihat ekspresi mata Maryam yang menyala.
“What is her mistake? Can you let her go? She just want to come back to her home. You can believe me, she will not do anything that you don’t like.” Rindu menjelaskan panjang lebar.
Sipir itu hanya diam, mengamati Rindu sejenak. Melihat kartu identitas Rindu, kemudian mengisyaratkan Maryam dan Rindu untuk pergi.
“Rindu! Ayo pulang!” di ujung sana, Rena berteriak kesenangan. Saatnya telah tiba. Namun tiga langkah setelah itu, suara tembakan terdengar. Dalam hitungan sepersekian detik Rindu tau peluru itu akan melesak ke dalam tubuh Maryam. Maka dengan sekuat tenaga, ia mendorong Maryam menjauh.
Darah segar bersimbah. Rindu roboh setelah mendorong Maryam. Sipir itu tanpa rasa bersalah meninggalkan tempat jaganya. Rena tersentak kaget, berlari sambil menangis menghampiri Rindu. Maryam segera mendekat, dapat dilihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Rindu!!!” Rena menghambur kedalam pelukan Rindu. Tak peduli darah mengotori bajunya. Rindu hanya tersenyum menatap Rena, mengangkat tanganya membentuk tanda ‘like’. Kemudian menutup matanya, mengehembuskan napasnya. Untuk yang terakhir.
Rindu menjemput syahidnya. Meninggalkan sebuah berita yang mengguncangkan dunia. Menyisakan setiap decak kagum. Rindu tau, bapak dan ibunya akan bangga.
“Semoga dia sudah sampai di sisi Rabbnya.” Aya tersenyum menatap pusara Rindu. “Ikhlaskan! Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik.” Aya melirik Ghofur yang terus menatap pusara Rindu. Ia tersenyum.
Ghofur sangat tau, Allah lebih mencintai Rindu. Dan memang inilah waktunya, saat rindu telah memanggil Rindu.
By : Alvi Bahaviani