Runtuhnya Khalifah Cordoba

 Runtuhnya Khalifah Cordoba

HIDAYATUNA.COM – Al-Madinah az-Zahra’ (dinamakan juga Kota az-Zahra) adalah suatu kota yang dibangun oleh ‘Abd ar-Rahman IIl an-Násir. Kota ini terletak sekitar 5 kilometer dari Cordoba. Di dalam kota ini terdapat kompleks istana Arab muslim Abad Pertengahan.

Alasan utama pembangunan kota ini bersifat politis ideologis. Demi menunjukkan keagungan kekhalifahan, Abd ar-Rahman III merasa perlu membangun sebuah kota baru sebagai simbol kekuasaannya, tiruan dari kekhalifaan di dunia Timur dan yang paling penting untuk menunjukkan kelebihannya atas musuh besarnya, Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara.

Selain sebagai lawan politik, Dinasti Fatimiyah juga lawan dalam bidang keagamaan karena Dinasti Fatimiyah menganut mazhab Syiah, sementara Dinasti Umayyah umumnya berpaham Sunni.

Reruntuhan al-Madinah az-Zahra’ baru diekskavasi sejak tahun 1910an. Namun, baru sekitar 10 persen dari 112 hektare luas kota tersebut yang berhasil diekskavasi dan direstorasi. Sejarah Kota yang pernah makmur selama lebih kurang selama 80 tahun ini dibangun oleh Khalifah Cordoba ‘Abd ar-Rahmân III antara tahun 936-940.

Setelah mengumumkan diri sebagai khalifah dan mendirikan kekhalifahan Umayyah yang merdeka di Barat, ia memutuskan untuk menunjukkan kekuasaannya kepada rakyatnya dan dunia dengan membangun suatu kota istana yang terletak 5 kilometer dari Cordoba.

Kota ini akan diceritakan kembali oleh para pengelana dari Eropa selatan dan dari Timur sebagai rangkaian istana megah yang penuh dengan kekayaan yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Sekitar tahun 1010, al Madînah az Zahrâ’ dijarah pasca perang saudara yang mendorong kekhalifahan Cordoba ke pintu kehancuran. Penjarahan itu efektif menghapus kota tersebut dari peta selama satu milenium.

Menurut legenda yang masyhur di tengah masyarakat, Sang Khalifah menamakan kota tersebut dengan az Zahrâ’ atau az-Zahra sesuai dengan nama selir kesayangannya dan sebuah patung perempuan yang berdiri di gerbang masuk.

Menurut cerita lain, Khalifah ‘Abd ar-Rahmân III membangun kota ini untuk menyenangkan hati selir kesayangannya tersebut. Namun, latar belakang pembangunan kompleks istana ini sebenarnya lebih bernuansa politik ketimbang cinta.

Khalifah Abd ar- Rahmân III memerintahkan pembangunan kota ini sewaktu ia baru saja menyelesaikan konsolidasi kekuatan politiknya di Semenanjung Iberia dan memasuki masa konflik dengan Dinasti Fatimiyah yang menguasai Afrika Utara.

Az-zahra’ dalam ba- hasa Arab berarti ber- sinar, bercahaya, atau sedang mekar Nama tersebut menyiratkan kekuasaan dan status, bukan cinta atau romantika. Az zahra adalah nama panggilan fatimah, putri nabi Muhammad Saw. Dengan nama itu pula, Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara menamakan bangunan-bangunan dan kota-kota.

Az-zahrâ’ juga menjadi gelar seorang sarjana perempuan. Nama ini pula yang dijadikan nama universitas tertua di dunia, Universitas al-Azhar”, yang didirikan pada tahun 968 oleh Dinasti Fatimiyah.

Ambisi Dinasti Umayyah di Cordoba untuk menguasai Afrika Utara barangkali menjadi alasan yang paling tepat bagi penamaan kota yang baru dibangun tersebut, yang bertujuan untuk menyaingi pengaruh Dinasti Fatimiyah melalui Ikonografi islam.

Pada tahun 929, Abd al Rahman III mengumumkan dirinya sebagai khalifah dan keturunan dari Dinasti Umayyah di Damaskus, yang hampir saja berhasil dimusnahkan oleh Dinasti Abbasiyah. Ia menunjukkan legitimasinya sebagai khalifah dengan melakukan serangkaian kebijakan politik, ekonomi dan ideologi.

Kota baru tersebut, sesuai dengan statusnya sebagai khalifah, merupakan salah satu ukuran atas kebesaran kekuasaannya. Ia memutuskan untuk membangun kota tersebut pada tahun 936. Pembangunan kota tersebut memakan waktu hingga 40 tahun. Masjid yang berada di kota tersebut dibangun pada tahun 941.

Kemudian pada tahun 947, ibu kota pemerintahan dipindahkan dari Cordoba ke kota tersebut. Pada tahun 2005, The New York Times menggambarkan kota tersebut sebagai berikut (Kota tersebut) dipenuhi oleh harta kekayaan yang dapat menyilaukan mata para pengelana dan dunia para aristokrat kolam-kolam merkuri yang bersinar memantulkan sinar matahari melalui tembok marmer dan langit-langit dari emas.

Pintu-pintu berukir dengan gading dan kayu eboni membawa kita ke hamparan taman- taman yang penuh dengan hewan-hewan eksotik dan patung-patung yang terbuat dari amber dan mutiara.

Kota putih yang megah ini dibangun dikaki Bukit Sierra Morena, dengan istana khalifah pada tingkat tertingginya. Istana ini dibangun agar dapat dilihat oleh rakyatnya dan para duta besar dari jauh. ‘Abd ar-Rahmân memindahkan pusat pemerintahannya secara keseluruhan ke al-Madînah az-Zahra’ pada tahun 947-948.

Seiring berlalunya waktu, kota tersebut terkubur hingga tahun 1911. Ekskavasi dan restorasi terus dilakukan, tergantung pendanaan dari pemerintah spanyol. Namun, bagian yang belum digali terancam oleh pembangunan perumahan ilegal. Menurut the New York Times

“Pemerintah setempat di Cordoba telah gagal menegakkan hukum yang telah ditetapkan 10 tahun yang lalu, yang bertujuan untuk meningkatkan pemeliharaan situs tersebut dari pemugaran. Perusahaan- perusahaan konstruksi membangun perumahan di situs kota tersebut, 90 persennya masih belum diekskavasi.”

Secara artistik, al-Madînah az-Zahrâ’ memainkan peranan yang besar dalam membentuk keagungan arsitektur Islam Andalusia. Banyak di antara bangunannya, seperti ruang resepsi kerajaan yang berbentuk basilica, kontras dengan ruang-ruang berkubah yang biasa ditemui di wilayah timur dunia Islam, baru pertama kall dibangun di kota ini.

Keistimewaan lainnya adalah pengaturan kamar-kamar di sekitar ruang penghadapan atau taman. Model penataan ini juga ditemukan pada arsitektur Islam lainnya di Barat, seperti Alhambra. Masjid al-Madinah az-Zahra’ diba- ngun menyerupai Masjid Agung Cordoba. Masjid ini disebut sebagai adiknya.

Reruntuhan al-Madînah Zahra’ yang dapat dilihat sekarang hanyalah 10 persen dari kota yang sebenarnya. Kota seluas 112 hektar ini bukanlah istana peristirahatan akhir pekan, melainkan pusat pemerintahan Andalusia, dikuasai oleh kaum muslim di Semenanjung Theria sejak awal abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-11.

Sumber: Ensiklopedia Peradaban Islam Andalusia, Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec dan Tim Tazkia

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *