Ruang Belajar dan Berekonomi Urang Siak
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Belajar, laku rumit yang ditunaikan sekian manusia dalam rangka menaikkan derajat. Bagi umat muslim, belajar merupakan kewajiban. Berbagai legitimasi dari ayat-ayat di kitab suci sampai teladan Kanjeng Nabi bisa ditemukan dengan mudah.
Tidak sedikit juga literatur keislaman yang ditulis secara khusus oleh ulama tempo dulu ihwal belajar seperti mengenai makna, adab, orientasi, tirakat yang mesti dirumat, peranti pembelajaran, sampai strata ilmu yang mesti dipelajari.
Di negeri ini sendiri, belajar mengejawantah menjadi ekspresi yang bervariasi. Di tanah Minangkabau, pembelajar dikenal sebagai urang siak. Penyebutan yang dialamatkan pada para pemuda yang meniatkan diri ke tanah rantauan dengan tujuan ke salah satu surau.
Memang tujuannya tidak ke sembarang surau, tetapi surau yang dimiliki syaikh tertentu yang dinilai oleh publik sekitar memiliki pengetahuan luas.
Surau mulanya memiliki fungsi pragmatis sebagai lokasi para pemuda untuk bersua, bermufakat, berapat dan bermalam. Maka dari itu pendirian surau tidak terlalu jauh atau berhimpitan dengan rumah gadang.
Beberapa peneliti awal malah menilai surau sebagai pelengkap rumah gadang. Penilaian ini barangkali didasarkan pada fungsi awal dibangunnya sebuah surau.
Ketika ajaran Islam mulai merangsek masuk di tanah Minangkabau, surau memiliki fungsi tambahan dengan makna yang berbeda.
Tambahan itu dapat kita lacak di buku Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008) yang ditulis Oman Fathurahman. Tambahan fungsi surau sebagai pendidikan dan distribusi tarekat.
Maka wajar jika ada ratusan nama ulama yang bermunculan dari surau, baik yang mashur maupun yang hanya dikenal oleh masyarakat sekitar.
Fakta ini saya rasa dapat dijadikan sebagai revisi dari penilaian sebelumnya yang menganggap surau hanya sebagai pelengkap.
Kendati ajaran Islam di masa tersebut mulai menguat melalui surau-surau-bahkan sampai sekarang-masyarakat Minangkabau tidak lantas menegasikan adat.
Kita kerap mendengar petuah yang dititahkan berpuluh-puluh tahun silam: adat basandi syarak, syarak basandi adat. Arti sederhananya, adat ditunaikan dengan dasar agama, sementara agama juga tidak bisa lepas dengan posisi adat.
Dua variabel yang kerap dipertentang-lawankan oleh kelompok konservatif yang mendukung purifikasi agama.
Adat di sini, bila kita membaca buku yang ditulis Muhammad Radjab berjudul Semasa Kecil di Kampung, 1913-1928 (1950), kita akan menemukan bahwa adat tidak hanya menyangkut pada tataran moral, etika dan semacamnya.
Tetapi adat juga berkaitan dengan sisi materialnya, misalnya ekonomi. Buku tersebut pernah diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka dengan judul yang hampir mirip, Semasa Kecil di Kampung 1: Mengaji di Pesantren (2008). Kita boleh menduga buku diterbitkan berjilid, meski tidak terlalu diminati oleh pangsa pasar perbukuan.
“Pertama-tama, urang siak mendirikan surau di daerah-daerah yang menjadi sumber air. Inilah yang meramaikan surau,” tulis Muhammad Radjab. Air jadi salah satu syarat yang hampir mutlak ada sebelum surau didirikan.
Air menjadi indikasi dari adat dalam bentuk material. Air juga simbol dari ekonomi karena selain untuk bersuci, juga sebagai kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Dan tentu saja, keberadaan air kemudian bisa menyokong kegiatan pertanian lantas menghidupkan gerak pasar.
Afirmasi mengenai ini bisa juga dibaca di bukunya Mahmud Junus, Sejarah Pendidikan Islam (1960). Di situ diterangkan bahwa setiap nagari (desa) diwajibkan memiliki empat hal yakni balai adat, surau, sumber air dan pasar. Keempatnya saling menyokong satu sama lain.
Maka dari itu, urang siak dengan suraunya emoh mengalah saat kolonial datang menancapkan kekuasaan imperialisnya. Sekalipun saat itu yang diperlukan hanya sisi materialnya.
Karena bagi urang siak, material dalam wujud apa saja merupakan bagian dari adat. Adat sendiri bertalian dengan agama. Maka dari itu, melawan kolonial dalam rangka mempertahankan sisi material adat menjadi laku berjuang yang berpahala. Wallahula’lam