Riwayat Pendirian Masjid Raya Watampone

 Riwayat Pendirian Masjid Raya Watampone

Larik Historis Islamisasi di Banjar (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Belahan timur negeri ini memiliki ragam khazanah keislaman yang cukup layak untuk dipertimbangkan. Selain belum banyak digali-kaji, khazanah keislaman yang tersimpan lantas abai tidak tergarap masih sangat banyak.

Padahal bila menelisik jalur dagang Islam tempo lalu beserta persebaran ajarannya, tidak mungkin menegasikan begitu saja kontribusi dari sekian wilayah belahan timur di negeri ini.

Barangkali salah satu wilayah timur itu adalah Bone, Sulawesi Selatan. Wilayah ini menjadi lokasi dari kerajaan adidaya dengan sekian peninggalan yang diwariskan untuk generasi yang datang belakangan. Di artikel The Meaning of Inscription and Various Decorative in the Great Mousque Watampone Southern Sulawesi (2013) yang ditulis Muslihin Sultan kita diberi kabar bahwa peninggalan yang terdapat di Bone masih bisa dikenali, dipelajari dan dikaji.

Muslihin Sultan di artikelnya tersebut menilai Masjid al-Jami’ al-Ihsan atau Masjid Raya Watampone merupakan warisan bersejarah.

Sebab jika ditilik dari fisiknya, bangunan masjid ini mirip dengan masjid-masjid kuno yang banyak didapati di Sumatera dan Jawa. Atapnya bersusun tumpang dengan ujungnya berlapis keramik cina.

Kabar yang beredar di masyarakat setempat, keramik cina tersebut berasal dari Dinasti Ming. Kendati kabar ini perlu agak dipertanyakan.

Karena bila ditelisik angkanya cukup terpaut relatif jauh. Periode Dinasti Ming bermasa 1368 M -1644 M sedangkan masjid tersebut berdiri abad ke-20.

Selain bentuk fisik, pendapat yang menguatkan lagi ihwal kebersejarahan masjid ini bisa ditemukan pada inskripsi yang ada di gapura mimbarnya.

Inkripsi itu ditulis dengan huruf Arab berbahasa Bugis. Bunyi inkripsi: Riwettu La Mappanyukki Sultan Ibrahim, Eppo Riwakkanna La Parenrengi Arungpone Matinroe Riajang Benteng, Nagurusui Fancaitana Besse Kajuara Arungpone Matinroe Rimajanna, Napatettongngi Masigie Ri Bone, Ri essona  ahad’e, Uleng Sya’ban Tahun 1304 H / 1940 M. Inkripsi yang barangkali sulit terbaca oleh generasi hari ini, sekalipun yang lahir, tumbuh dan besar dari tanah Bone.

Padahal inkripsi tersebut memuat informasi berharga untuk membaca realitas sosial masjid tersebut pada zamannya.

Informasi pertama tentang tahun pembuatan masjid yang menunjukkan angka 1940 oleh Raja Bone ke-32 (1931-1946) dan ke-34 (1957-1960), La Mappanyukki Sultan Ibrahim. Dari sini bisa kita melihat bahwa La Mappanyukki Sultan Ibrahim memiliki perhatian yang relatif besar terhadap pemajuan Islam di daerahnya.

Kemudian informasi selanjutnya, La Mappanyukki Sultan Ibrahim ini merupakan keturunan dari Raja Bone ke-27 dengan Raja Bone ke-28. Raja Bone ke-27 merupakan ayahnya dengan gelar La Parenrengi Matinroe Riajang Benteng yang berkuasa selama 12 tahun (1845–1857).

Setelah ayahnya wafat, tampuk kekuasaan dimufakati agar dilanjutkan oleh istrinya, Panca’i Tana Besse Kajuara Tenri Awaru Matinroe ri Majennang selama tiga tahun (1857-1860).

Setelah Masjid Raya Watampone rampung dibangun, La Mappanyukki Sultan Ibrahim lantas memilih figur yang mumpuni untuk menjadi imam masjid.

Kita bisa menduga, pemilihan ini juga bertugas untuk memberi nasihat kala Raja Bone perlu pertimbangan, terutama dari sisi agama sebelum mengambil kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.

Nama K.H. Abd. Jabbar tercatat sebagai imam pertama di masjid ini. La Mappanyukki Sultan Ibrahim tertarik memilihnya karena KH. Abd. Jabbar merupakan penghafal Al-Qur’an yang alim dan santun. Setelahnya ada nama KH. Andi Poke Petta Imang yang dipilih berdasarkan seleksi di hadapan para ulama di wilayah Bone.

Pemilih dan pemilahan imam masjid yang memang dilakukan sesuai kualifikasi keilmuan agama yang mumpuni, selain bersuara indah untuk melanggamkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dari sketsa kecil ini kita bisa membayangkan alur sejarah yang ada di wilayah Bone, khususnya pada periode pemerintahan La Mappanyukki Sultan Ibrahim.

Hanya saja alur ini masih satu puzzle yang mesti dirangkai dengan jeli. Tujuannya demi peroleh pemahaman yang menyeluruh terkait ekspresi keberagamaan di masa silam.

Demikian penjelasan mengenai riwayat sejarah Masjid Raya Watampone yang menjadi salah satu kekayaan khazanah keislaman di Indonesia.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *