RIP Toleransi: Dilema Kebebasan Beragama di Indonesia

 RIP Toleransi: Dilema Kebebasan Beragama di Indonesia

Mengenalkan Toleransi dan Rambu-rambunya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Indonesia kembali berduka atas kematian toleransi. Berangkat dari isu yang sarat akan nuansa keagamaan dengan mengatasnamakan aliansi umat Islam, sejumlah oknum mendesak perusakan terhadap rumah ibadah (masjid).

Masjid tersebut diketahui sebagai tempat peribatan jemaah Ahmadiyah, Masjid Miftahul Huda. Masjid ini berlokasi di desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Fenomena ini seakan menjadi potret hitam intoleransi tak berkesudahan. Bahkan kalau kita mau jujur, Ahmadiyah kerap menjadi korban diskriminasi.

Jejak diskriminasi dan persekusi yang dialami Jemaat Ahmadiyah pun masih tersebar di jejaring media massa. Betapa banyak deretan peristiwa persekusi yang dialami pemeluk Ahmadiyah ini.

Hal ini erat kaitannya dengan problem mayoritas vis a vis minoritas (meski tidak sesederhana ini). Diakui atau tidak, terkadang yang mayoritas (seolah) menjadi pemilik kuasa atas minoritas.

Hal tersebut juga didesak oleh mereka yang mengatasnamakan aliansi umat Islam. Ada potret menarik yang disuguhkan Alm. Rusdi Mathari dalam tajuk bukunya yang menyuguhkan data empiris ihwal mayoritas minoritas. (Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis (Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati))

Problem Mayoritas-Minoritas di Dunia

Cak Rusdi membeberkan beberapa fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita lihat bagaimana proses pembuatan masjid di daerah mayoritas non-muslim, di Inggris misalnya.

Pendirian masjid di dekat areal Olimpiade 2012 telah ditentang besar pemerintah segenap warganya bahkan sejak masih dalam bentuk proposal. Di Swiss, kaum nasionalis pernah berduyun-duyun pembangunan masjid di negaranya.

Di Italia juga tak kalah sengitnya, penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid dengan sosis yang dalam proses pembangunan. Lalu Kanselir Jerman, Angela Merkel juga turut menyerukan agar para parlemen berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman. (Hal: 10-11)

Siapa sangka, Indonesia turut terlibat dalam problem mayoritas-minoritas ini. Di Bekasi, Jawa Barat, sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi menolak pembangunan Gereja.

Penolakan itu diikuti pekikan takbir agar pemerintah mencabut izin pendirian Gereja Santa Clara meski semua proses syarat dan izinnya telah selesai. Alhasil pemerintah daerah mengamini hal tersebut. Padahal gereja ini telah ada sejak 11 Agustus 1998 jauh sebelum protes itu meledak. (Hal: 11)

Terulang kembali, masjid Miftahul Huda yang menjadi korban perusakan, menambah daftar hitam intoleransi Indonesia. Lagi-lagi problemnya mirip, sama-sama desakan dari mereka yang mengatasnamakan aliansi umat Islam.

Hal ini pun mengingatkan saya pada sebuah buku yang ditulis Seno Gumira Ajidarma. Buku bertajuk Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, “jadi sekarang bukan penguasa yang melarang ya, tapi ‘ma-yo-ri-tas’.

Begitulah ucap Marco, cowok si Sophie melalui video call yang mendengar ceweknya terusir, lantaran menyanyi di kamar mandi. Suaranya membuat para suami ibu-ibu yang ada di gang tersebut klepek-klepek hingga dianggap meresahkan, mengganggu stabilitas hubungan keluarga. (selengkapnya, hal 75-87).

Tidak Setuju Bukan Berarti Boleh Melakukan Kekerasan

Tak di mana pun, minoritas memang kerap kali mendapatkan tekanan dan dianggap warga kelas dua, dituntut agar senantiasa hormat pada mayoritas. Apapun kehendak mayoritas, sesegera mungkin haruslah terkabul.

Apa pun alasannya jika melanggengkan kekerasan tidak juga dapat dibenarkan, termasuk menggunakan dalih ajaran agama sekalipun. Kalau meminjam perkataan Alissa Wahid, “Syariat siapa yang mengajarkan boleh merusak bangunan orang lain dan meneror?”

Betapapun perbedaan yang dianut kian menjarak dan melebar, bukan berarti kekerasan yang harus jadi pilihan. Gus Dur juga tidak setuju dengan keyakinan Ahmadiyah, tapi tidak pernah memproklamirkan untuk melanggengkan kekerasan.

Mengapa perbedaan harus diselesaikan dengan tindak-tanduk kekerasan? Padahal kita hidup di tengah keragaman yang bernaung di bawah payung Pancasila yang katanya Bhineka Tunggal Ika? Tanpa menyalahi siapa pun, tetapi kekerasan tetaplah kekerasan, bukan pula kunci penyelesaian.

Jikalau kita mau berbicara secara konstitusional, mereka (jemaah Ahmadiyyah) juga berhak mendapatkan hak hidup damai. Hak perlindungan dan mendapatkan keamanan, kebebasan, serta hak-hak lain yang mesti melekat sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mari tebarkan Islam sebagaimana artinya, damai dan penuh keselamatan. Sumanto al-Qurtuby berkata, ciptakan Islam yang Madani bukan yang Medeni (Jawa: menakutkan). Wallahu A’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *