Respon Lebanon Terhadap Corona Mendiskriminasi Pengungsi Suriah
HIDAYATUNA.COM – Human Rights Watch (HRW), mengatakan bahwa sebagai bagian dari tanggapan terhadap virus corona, otoritas Lebanon telah memperkenalkan ‘pembatasan pergerakan diskriminatif’ yang secara eksklusif ditargetkan kepada para pengungsi Suriah.
Pada hari Kamis, kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Amerika Serikat (AS) itu mengatakan bahwa, sejak awal bulan Maret, setidaknya sudah ada delapan pemerintahan kota di Lebanon telah menerapkan ‘curfew (jam pembatasan pergerakan)’ yang membatasi pergerakan dari para pengungsi Suriah di waktu-waktu tertentu karena masalah virus corona.
Mereka mengatakan bahwa langkah-langkah itu telah diperkenalkan sebelum pemerintah mengumumkan diadakannya curfew nasional dan termasuk pembatasan secara ketat, yang tidak berlaku bagi seluruh penduduk.
“Tidak ada bukti bahwa curfew tambahan terhadap pengungsi Suriah akan membantu (Lebanon) dalam membatasi penyebaran COVID-19,” kata Nadi Hardman, seorang peneliti hak-hak pengungsi di HRW.
“Virus corona tidak akan membeda-bedakan, dan untuk membatasi dampak dan penyebaran dari COVID-19 di Lebanon, mengharuskan (mereka) untuk menjamin bahwa semua orang dapat mengakses pusat pengetesan dan perawatan (virus corona),” tambahnya.
Perlu diketahui, Lebanon telah menampung antara 1,5 sampai dua juta pengungsi Suriah, yang hampir satu juta di antaranya secara resmi telah terdaftar sebagai pengungsi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh pemerintah Lebanon sedang menekan para pengungsi Suriah untuk kembali ke negara asalnya meskipun belum adanya penyelesaian dari konflik yang sekarang sudah mendekati tahun ke-10 di negara tersebut.
Pandemi virus corona ini hanya tambah memperburuk keadaan bagi para pengungsi Suriah di Lebanon.
Kantor berita AFP, melaporkan bahwa meskipun menurut angka resmi sejauh ini belum ada pengungsi di Lebanon yang tertular oleh virus corona, tetapi tingkat diskriminasi terhadap mereka terus meningkat.
HRW menggambarkan, di desa Brital, di Lebanon timur, pemerintah kota hanya mengizinkan pengungsi Suriah untuk bergerak di luar tempat tinggalnya antara pukul 09.00-13.00, dan kemudian hanya dibolehkan melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap ‘perlu’ saja, seperti pergi ke apotek atau supermarket.
Pihak berwenangnya telah mengancam para pengungsi Suriah dengan tindakan hukum dan penyitaan dokumen hukumnya jika mereka melanggar jam-jam dan aturan tersebut.
“Tindakan yang seperti itu justru akan berisiko menyebarkan virus (lebih luas lagi) jika (pengungsi) warga Suriah terlalu takut untuk mencari bantuan medis setelah jam 1 siang,” kata HRW.
Sama halnya seperti pemerintah kota Kfarhabou, di Lebanon utara, mereka telah memberlakukan curfew harian untuk para pengungsi Suriah dari jam 15.00-07.00.
Bahkan ada pemerintah kota lainnya yang bertindak jauh lebih dari itu, mereka melarang pengungsi Suriah untuk meninggalkan tempat tinggal mereka pada jam berapapun itu, kata HRW.
“Lebanon memiliki tugas untuk menjamin kesehatan dari (pengungsi) warga Suriah sama seperti mereka menjaga warga Lebanon,” kata Hardman.
Pemerintah Lebanon tidak akan berhasil melawan COVID-19 kecuali mereka menjamin bahwa semua orang dapat memiliki akses ke informasi, pengetesan dan perawatan dari virus corona.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Lebanon, Hamad Hassan, mengatakan bahwa tanggung jawab untuk perawatan kesehatan bagi para pengungsi harus ditanggung bersama oleh pemerintah Lebanon dan badan-badan PBB.
Hassan juga mengkritik komunitas internasional yang lambat dalam menanggapi krisis pandemi di negara-negara yang menjadi tuan rumah dari pengungsi-pengungsi, seperti Lebanon. (Middleeasteye.net)