Respon Al-Qur’an Terhadap Praktik Pembagian Warisan di Zaman Jahiliah

 Respon Al-Qur’an Terhadap Praktik Pembagian Warisan di Zaman Jahiliah

Fiqih Mawaris dan Persoalan Pisah Harta (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliah telah mengenal konsep waris dengan berpedoman pada undang-undang kewarisan nenek moyang mereka.

Dalam perundang-undangan mereka, penyebab waris terjadi karena tiga hal. Yaitu kewarisan dengan dasar ikatan sumpah setia, hubungan kekeluargaan (nasab), dan hubungan karena pengangkatan anak (tabanni).

Ikatan Sumpah Setia    

Ikatan sumpah setia yang dibuat oleh orang-orang di zaman Jahiliah diantaranya agar mereka bisa saling mewarisi, meski tidak ada hubungan nasab.

Semua dilakukan murni karena keduanya punya hubungan baik dan saling ingin melindungi/dilindungi.

Akad perjanjian tersebut biasanya berbunyi,

“Darahku adalah darahmu, dan pertumpahan darahku adalah pertumpahan darahmu. Aku mewarisi hartamu dan kamu pun akan mewarisi hartaku.”

Hubungan Kekeluargaan/Nasab

Dalam perundang-undangan waris mereka, keluarga yang punya hak menerima harta warisan (tirkah) adalah anak laki-laki yang sudah dewasa dan yang paling besar.

Sehingga ketika yang meninggal tidak memiliki anak yang sudah besar, maka warisan berpindah kepada kakak si mayit (paman).

Anak-anak kecil di-backlist dari daftar penerima warisan (dzawi al-furudh) karena dianggap belum mampu berperang, menunggang kuda dan memboyong harta rampasan perang (ghanimah).

Kaum perempuan juga dihapus haknya karena fisiknya yang lemah sehingga tidak mampu memanggul senjata untuk berperang. Bahkan mereka (zaujat al-abb) yang berstatus janda diwariskan dari ayah ke anaknya.

Status Anak Angkat

Tradisi adopsi anak di zaman Jahiliah umumnya dilakukan karena tiga hal; terlalu senang dengan anak, karena tidak memiliki keturunan dan untuk menjaga harta kekayaannya kelak mutabanni (pengadopsi) sudah meninggal dunia.

Hanya saja mereka menganggap bahwa hubungan antara keduanya menyebabkan berubahnya status anak angkat menjadi anak kandung yang nasabnya kepada ayah angkat (bukan ayah bilogis). Sehingga terjadi hukum kekeluargaan.

Konsekuensinya, mereka bisa saling mewarisi, kebolehan untuk melakukan khalwah (menyendiri) dengan pengadopsi dan istri serta anak-anaknya, dan ayah angkat haram menikahi mantan istrinya.

Lalu bagaimana dengan penisbatan Zaid kepada Nabi Muhammad sewaktu beliau mengangkatnya sebagai anak angkat?

Perlu diketahui bahwa adopsi yang dilakukan Nabi Muhammad kepada Zaid terjadi sebelum beliau mendapat risalah kenabian.

Sehingga besar kemungkinan beliau belum mengetahui hukum yang sebenarnya tentang adopsi.

Sehingga ketika turun surah al-Ahzab ayat 5, beliau tidak lagi menggunakan nama Zaid bin Muhamamd, tetapi beliau merubahnya menjadi hubbu Rasulillah (kekasih Rasulullah).

Respon Alqur’an Terhadap Pembagian Warisan Jahiliah

Dari ketiga penyebab waris di atas, satu diantaranya (hubungan kekeluargaan) di-taghyir/dimodifikasi dan dua lainnya di-tahrim/diberhentikan keberlakuannya.

Modifikasi yang dilakukan Alqur’an terhadap praktik pembagian warisan berdasarkan hubungan kekeluargaan adalah pemberian hak waris kepada anak-anak kecil dan kaum perempuan, yang sebelumnya tidak punya hak sama sekali.

Hanya saja hak waris untuk perempuan adalah setengah dari bagin laki-laki. Hal ini dilakukan dalam rangka menegakkan prinsip musawah (kesetaraan) antara laki-laki dan perempuan.

Meski begitu, di beberapa ayat yang lain, dalam konteks yang berbeda bagian perempuan (bintun/anak perempuan) adalah setengah dari harta peninggalan orang tuanya.

Kebijakan ini didasarkan pada surah al-Nisa’ ayat 7:

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

Artinya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”

Kata al-rijal dan al-nisa’ di dalam ayat ini mencakup anak-anak, baik yang umurnya masih kecil atau pun yang sudah dewasa.

Kemudian, untuk kasus yang kedua (waris yang didasarkan pada ikatan sumpah) juga dihapus keberlakuannya.

Namun di masa awal-awal transisi dari Jahiliah ke Islam, hak waris yang didasarkan pada ikatan sumpah masih dilegalkan keberlakuannya untuk sementara waktu.

Bahkan Nabi Muhammad pernah berinisiasi memberikan hak kewarisan antara sahabat Muhajirin dan Anshar dalam rangka memperkuatan hubungan ukhwah islamiyyah.

Legalitas ini dijelaskan dalam surah al-Nisa’ ayat 33.

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۗ وَالَّذِيْنَ عَقَدَتْ اَيْمَانُكُمْ فَاٰتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا

Artinya:

“Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya.

Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”

Tahapan selanjutnya, penyebab waris yang didasarkan pada ikatan sumpah setia dihapus dengan ayat 75 dalam surah Al-Anfal:

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya:

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sementara itu, respon Alqur’an terhadap undang-undang kewarisan yang didasarkan pada pengangkatan anak dihapus keberlakuannya.

Artinya, anak angkat tidak berhak dan tidak boleh menerima apapun dari harta warisan ayah angkatnya. Karena statusnya tetaplah orang lain (bukan berubah menjadi anak kandung).

Alqur’an juga memerintahkan anak adopsi harus dinisbatkan kepada ayah bilogisnya (QS. Al-Ahzab:5) dan memperbolehkan ayah angkat menikahi mantan istri anak angkat (QS. Al-Ahzab:40) []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *