Rektor UMJ: Islam Tidak Mengajarkan Radikalisme, Terorisme, dan Komunisme
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri menegaskan bahwa dalam agama tentu ada mazhab, tapi Islam yang telah pelajari tidak pernah mengajarkan radikalisme, bahkan menentang.
“Islam itu agama damai, Islam itu agama penuh rahmat bagi seluruh semesta. Jadi pengeboman dan segala aksi terorisme itu bukan Islam, tetapi ajaran yang keliru penganut Islam. Mereka selama ini ‘membajak’ Islam untuk pembenaran aksinya,” paparnya, seperti yang dikutip HIDAYATUNA.COM dari keterangan tertulisnya, Rabu (23/10/2019), di Jakarta.
Dalam hal ini, menurutnya, ada dua isu lama yang berkembang terkait radikalisme: Pertama, radikal yang berkaitan dengan ideologi di zaman Orde Baru (Orba) yang disebut dengan ideologi ekstrem kiri dan kanan.
“Saat itu, terorisme memang belum berkembang seperti sekarang. Ekstrem atau radikal kanan meliputi aliran dalam agama, khususnya Islam, sedangkan ekstrem kiri komunis,” ungkapnya.
Selain itu, pada masa Orba, perbincangan mengenai komunis tidak pernah ada respons sehingga itu seolah-olah telah berakhir. Maka, saat ini isu radikal yang menonjol itu adalah ekstrem kanan, yang ironisnya ditujukan kepada umat Islam.
“Isu radikalisme itu dijadikan dasar bahwa ada mazhab Islam internasional yang digunakan ISIS dan Jamaah Islamiyah (JI). Hal itulah yang akhirnya menimbulkan gangguan keamanan terhadap masyarakat internasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurut wakil ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammdiyah 2010-2015 ini, seluruh masyarakat dan negara terus memerangi radikalisme sebagai sebuah musuh ideologi. Tidak hanya umat Islam, seluruh penganut agama yang ada di Indonesia juga melakukan hal serupa. Sampai pada peristiwa penusukan Menko Polhukam Jenderal (purn) Wiranto beberapa waktu lalu.
“Itu bukan ajaran Islam, tetapi ajaran pemeluk yang tidak paham Islam, dan tersesat,” katanya.
Sedangkan untuk radikal atau ekstrem kiri, memang sempat muncul lagi melalui isu ada gerakan baru komunis. Namun, karena isunya tidak seksi dan tidak mendapat pemberitaan, isu itu kalah dari ekstrem kanan.
“Kedua, ekstrem kiri juga tidak harus menghadapi aturan negara seperti UU Ketahanan dimana menjadikan komunis sebagai musuh bersama sehingga secara legal mereka tidak mungkin berkembang. Dari situlah isu berikutnya yaitu terorisme,” tukasnya.
Terorisme itu, ia menilai, adalah sebuah gerakan yang mungkin tidak atas nama ideologi, tetapi teror yang dilakukan seseorang atau kelompok yang tujuannya bukan semata-mata ingin mengganti ideologi, tetapi juga untuk menakut-nakuti dan merusak kewibawaan.