Rekonstruksi Nasionalisme Ulama, Perang Diponegoro dan Islam Kebangsaan (Bagian 1)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perang Jawa merupakan sebuah titik balik sejarah bangsa, sehingga mengungkap kekuatan tersebut akan membuka tabir terbangunnya Islam Kebangsaan yang menjadi pondasi utama NKRI. Laku spiritual Pangeran Diponegoro telah berhasil memadukan dunia santri dan kesatria.
Selama ini, Perang Diponegoro dipahami Belanda sebagai persoalan politik dan kekuasaan.
Diponegoro dianggap sebagai penghalang modernisasi tanah Jawa karena ia protes atas dicabutnya patok di tanahnya untuk dibangun rel kereta api.
Patok bagi Diponegoro adalah masalah harga diri bangsa, menjaga marwah leluhur, karena makam leluhur merupakan salah satu kunci untuk menjaga tradisi dan warisan luhur jati diri bangsa.
Pangeran Diponegoro telah meletakkan dasar-dasar berbangsa dan beragama dalam bingkai kehidupan beragama.
Salah satu warisan Diponegoro adalah sebuah jaringan pesantren dan ulama yang meneruskan cita-cita Pangeran Diponegoro.
Apa yang dilakukan bangsawan, ulama, dan santri dalam melawan penjajah menjadi cikal bakal kesadaran nasional dan berbangsa, bernegara, dan beragama.
Jaringan ulama nusantara berskala internasional yang terbangun dan berpusat di Haramain pada abad ke-19 dan awal abad 20 memiliki koneksi historis dengan perjuangan para ulama sebelumnya.
Pasca Perang Jawa, para ulama pendukung Diponegoro menyebar di seluruh penjuru Jawa dan kemudian menusantara dalam komunitas Jawa di Haramain (Jama’ah al-Jawiyyin).
Melacak Perang Diponegoro
Sebelum melacak lebih detail bagaimana Perang Diponegoro terjadi, pemahaman akar sejarah tentang pembagian Kesultanan Mataram menjadi dua keresidenan sangat perlu dipahami terlebih dahulu.
Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa Kerajaan Mataram mencapai puncak kekuasan kala tampuk kepemimpinan dipimpin oleh Sultan Agung.
Namun, Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan penggantinya yaitu Sultan Amangkurat I yang juga merupakan anak Sultan Agung, ternyata mengalami masa kemunduran akibat sikap tiraninya.
Pada periode-periode selanjutnya juga muncul sikap kesewang-wenang, konflik internal kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan merebak hingga akhirnya mengundang campur tangan atau intervensi dari pihak luar yaitu VOC Belanda.
Inilah yang dinyatakan oleh Djoko Surjo bahwa Indonesia mengalami perubahan besar pada abad ke-18 dan ke-19.
Pada satu sisi, terlihat adanya gejala perluasan politik Belanda secara ekstensif dan intensif atas wilayah Indonesia yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pengganti pemerintah.
Di sisi lain, terjadi kemerosotan kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional.
Gejala yang terjadi di ranah kerajaan juga menyeruak di bidang politik, terlebih ekonomi, sehingga muncul ketegangan, ketidakpuasan, konflik di mana-mana yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan dan kekisruhan.
Hal ini menjadi sasaran empuk bagi Belanda untuk ikut campur hingga merebut tanah kekuasaan.
Hal ini terbukti bahwa sejak peralihan kepemimpinan pasca Sultan Agung, banyak wilayah yang jatuh ke tangan Belanda, terutama pada pertengahan abad ke-17.
Pada akhirnya, wilayah Mataram semakin sempit.
Menguatnya pengaruh VOC dalam reorganisasi wilayah ke dalam wilayah administrasi Belanda, maka muncul Perjanjian Giyanti pada 1755 yang berisi tentang pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua keresidenan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Perjanjian ini menjadi kabar gembira bagi pemerintah kolonial untuk memperluas administrasi wilayahnya.
Di masa Kesultanan Yogyakarta, muncul tokoh perjuangan Indonesia yang dikenal dengan Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785, memiliki nama asli Ontowiryo yang merupakan putera tertua dari Sultan Hamengkubuwono II yang memerintah pada 1811-1814.
Ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati. Ia dibesarkan di Tegalrejo dan diasuh neneknya, Ratu Ageng dan banyak belajar agama di sana.
Dr. Kareel A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 yang dikutip oleh K. Mustarom menyatakan bahwa Tegalrejo merupakan lingkungan yang erat dengan aktivitas pesantren, sehingga Pangeran Diponegoro kerap belajar dan berkumpul bersama dalam diskusi-diskusi keagamaan.
Pangeran Diponegoro belajar Islam kepada Kiai Taptojani yang berasal dari Sumatera Barat namun menguasai bahasa Jawa sehingga ia mengajarkan kitab fikih Sirat Al Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniri yang ia terjemahkan sendiri kepada santri, termasuk Pangeran Diponegoro.
Tegalrejo merupakan wilayah yang dekat dengan masyarakat sehingga Pangeran Diponegoro tampak lebih nyaman tinggal di sana dibandingkan hidup di keraton.
Bahkan setelah ayahnya wafat, ia enggan menerima tampuk kepemimpinan kesultanan. Tidak banyak data informasi yang dapat digali tentang silsilah Pangeran Diponegoro.
Namun, namanya masyhur sebagai pahlawan yang menyerang koloni pada Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Pangeran Diponegoro merupakan seorang tokoh yang melakukan pergolakan terhadap situasi campur tangan Belanda ke dalam internal keraton serta kemurkaan terhadap sikap korup para punggawa keraton.
Pergolakan ni disulut dengan peristiwa bentrokan antara pengikut Diponegoro dengan pasukan keraton di bawah Patih Danurejo IV, sehubungan dengan pembuatan jalan lintas rel kereta api di Tegalrejo pada sekitar bulan Mei 1825. []