Refleksi atas Peristiwa Bom Gereja Ketedral Makassar
HIDAYATUNA.COM – Beredar berita di beragam media online bahwa Makassar sedang dikejutkan dengan dentuman bom yang terjadi di depan Gereja Ketedral jl Kajaolalido. Peristiwa ini terjadi saat para jemaat Kristiani sedang khusyuk beribadah merayakan Minggu Palma-nya. Sementara yang lain melakukan aktivitas sunmor (Sunday morning) lainnya seperti jogging, jalan-jalan santai sembari menghirup udara pagi.
Meskipun hingga detik ini masih belum juga diketahui motif serta tujuannya, apakah hal tersebut murni bom bunuh diri ataupun motif lainnya, karena masih dalam tahap investigasi. Namun diduga kuat sebagai tindakan aksi bom bunuh diri. Dari berita yang beredar pun masih belum diketahui berapa korban yang nyawanya melayang atau mengalami kerugian akibat insiden ini.
Saya khawatir kejadian ini, yang juga kebetulan berlokasi di depan Gereja Ketedral tersebut, menjadi dasar tindakan yang bermotif agama. Dari deretan kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya, seringkali berkedok agama.
Entah ini benar atau tidak, jangan dipikirkan dalam-dalam, karena ini hanya kekhawatiran saya yang menilik dari deretan peristiwa ledakan bom-bom sebelumnya. Tapi rasa-rasanya emang ‘bau-bau’ agama.
Jika pun misal ini benar karena motif agama, tentu akan ada yang beranggapan “mending gak usah beragama dong. Daripada hanya saling tikai dan saling nge-bom. Ujung-ujungnya mencederai kemanusiaan”.
Dualitas Potensi Agama
Sejarah pun ikut serta menjadi saksi bahwa perang Salib yang terjadi juga perang atas nama agama. Tidak hanya itu, peledakan bom bunuh diri, pembakaran tempat ibadah yang dilakukan oleh pelaku berdalih, bahwa hal tersebut merupakan bagian dari tugasnya sebagai seorang hamba yang patuh dan berbakti pada Tuhannya.
Bahkan beberapa tokoh mengangggap agama sebagai sumber petaka dan bencana (Religion is the Source of Violance). Menurut mereka karena agama, menyebabkan terjadinya perang, atas nama agama, ritus keagamaan dihancurkan, dan atas nama Tuhan para pelaku berani mati membela dan nyawa sebagai taruhannya. Woww sangat sangat …. bukan?
Saya teringat dengan pernyataan Sumanto al-Qurtuby, seorang Co-Founder & Director Nusantara Institute. “Jika orang berbuat jahat itu bukan karena ia tak beragama, tak beriman, atau tak bertuhan. Akan tetapi karena tak berhati, tak berempati, dan tak berperikemanusiaan.” Dari sini menjadi bukti fenomena sosial keberagamaan atas interpretasi teks keagamaan.
Maka dari itu, tidak bisa kita mengatakan bahwa agama tidak ada sangkut-pautnya dengan kekerasan yang dilakukan. Terlalu egois jika hal itu terjadi, sebab mayoritas pelaku teror adalah mereka yang mengatakan bahwa itu adalah hasil perenungan dan pemahamannya.
Bahkan mereka mengaku mengambil kandungan beberapa ayat yang terdapat dalam kitab sucinya yang menyuruh hal demikian. Ialah jihad di jalan-Nya, mati sebagai pahlawan, dan surga sebagai balasan.
Tidak dapat dihindari memang, hal itu kerap kali terjadi. Tindakan tersebut seolah-olah merupakan mandat langsung dari Tuhan yang harus dilakukan sebagai ritual keagamaan yang mesti dikerjakan, misi suci menumpas kekafiran yang harus ditegakkan.
Surga dan Syahid Versi Teroris
Dengan demikian dapat dikatakan, “surga dalam genggaman” dan “pejuang yang syahid di jalan Tuhan ini” adalah benar menurut versi mereka. Salih ala mereka, yang tidak peduli berapa nyawa yang akan melayang begitu saja.
Surga yang diciptakan sebagai balasan dan dikatakan patriot karena telah rela mati dalam berjuang di jalan Tuhan. Sekali lagi itu semua adalah versi mereka.
Agama dapat dikatakan sebagai institusi yang berpotensi melahirkan dua karakter protagonis di satu sisi dan antagonis di sisi lainnya. Agama berpotensi menjadikan setiap subjek yang dapat mendorongnya untuk menjadi pelaku kekerasan atau pelaku perdamaian.
Hal ini bergantung kepada subjek pemeluk agama masing-masing dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Serta interpretasi teks suci yang bersifat general dan metafora yang terkadang menuai beragam polemik.
Akibatnya, penggalan ayat yang dipahami secara sepintas akan menuai polemik berkepanjangan. Hal itu berpotensi menimbulkan terjadinya tendensi-tendensi eksklusif dalam menerima pemahaman yang bersebrangan dengan pemahaman versi mereka.
Hal itu akan dianggap menyimpang bahkan akan jatuh klaim kafir-mengkafirkan (takfir) menganggap dirinya paling benar dan paling paham atas agamanya.
Jika saja teologi kebenaran tunggal merebak di mana-mana, bisa gawat. Klaim kebenaran nantinya adalah kubu mereka yang rela mati atas nama Tuhannya, maka yang akan terjadi adalah ladang pertumpahan darah, bom bunuh diri tak kunjung padam yang akan terus menyulut korban.
Sebab paham lain yang berseberangan dengan mereka adalah paham yang sesat dan darahnya halal untuk ditumpahkan. “Apa pun agamanya, jika telah menodai kemanusiaan itu bukanlah pahlawan melainkan pelaku kejahatan.” Titik.