Rebba di Era Pandemi Covid-19

 Rebba di Era Pandemi Covid-19

The Power Of Receh, Sebuah Refleksi (Ilustrasi/Hidaytauna)

HIDAYATUNA.COM – Pemulihan sektor ekonomi di era pandemi Covid-19 menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Agar tetap menjaga laju kehidupan, diperlukan penguatan ekonomi secara mapan, dan konsep rebba (sedekah) bisa menjadi salah satu contoh yang perlu ditiru.

Barangkali rebba bahkan menjadi pelajaran bagi kita semua. Rebba dalam tradisi orang Pulau Giliyang, Kabupaten Sumenep merupakan tradisi dimana masyarakat memberi sebagian hartanya kepada orang lain.

Rebba cenderung dilakukan ketika seseorang ingin menyedekahi anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Dalam konsep rebba tidak memandang waktu dan tempat, dalam hal ini bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun.

Titik tekannya adalah memberi uang atau barang terhadap orang lain, dengan mendoakan keluarga yang sudah ada di alam baka. Hal semacam ini bila kita hadirkan dalam kehidupan di era pandemi bisa mengurangi beban masyarakat yang ekonominya jatuh.

Apalagi akhir-akhir ini untuk mencari pekerjaan amat susah, ribet dan serba menjadi beban pada psikis masyarakat. Lalu bagaimana kita menampilkan konsep rebba di era pandemi hari ini?

Menjaga Solidaritas untuk Melestarikan Rebba

Saya tertarik untuk menghadirkan teori Emile Durkheim tentang solidaritas, yaitu; solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik muncul di pedesaan karena solidaritas tersebut dibangun dan dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang masih sederhana.

Tapi mempunyai kesadaran kolektif yang mapan sehingga ada pengikat untuk terlibat dalam kegiatan Bersama. Memiliki rasa yang sama dan tentu aspeknya masih terbatas di skala kecil dan masih belum ada pembagian kerja yang jelas antar masing-masing kelompok.

Berbeda dengan solidaritas organik yang justru berkembang dalam kelompok masyarakat yang sudah kompleks. Contohnya, masyarakat perkotaan yang mana anggota kelompok bisa disatukan dengan rasa saling membutuhkan untuk tujuan yang sama

Ada kerja sama tim, saling membutuhkan, tetapi bukan atas dasar kebersamaan ataupun hubungan moral dan nilai. Bagi George Ritzer (2012: 145) bahwa solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan di antara individu-individu.

Fakta mengatakan bahwa mereka mempunyai tugas yang berbeda-beda dan juga tanggung jawab berbeda. Maka diperlukan tenaga dari orang lain untuk mempertahankan keberlangsungan hidup.

Untuk mencapai solidaritas dalam masyarakat diperlukan kesadaran kolektif. Bahwa antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, terikat, dan mempunyai tujuan yang sama dalam menjaga keseimbangan hidup.

Nah, dengan hal ini konsep rebba yang sudah ada dalam tradisi masyarakat Giliyang juga masuk dalam solidaritas kolektifnya Durkheim. Itu perlu untuk dijadikan sebagai transformasi nilai dalam sosial masyarakat.

Mencegah Kemerosotan Ekonomi

Rebba bila dihubungkan dengan kondisi pandemi, bisa berupaya peguyuban saling membantu satu sama lain. Hal semacam ini sudah dilakukan jauh sebelum pandemi, dengan cara me-rebba-hi anggota keluarga, berupa uang tunai, makanan, atau dalam bentuk pakaian.

Kebiasaan macam ini menarik untuk diperhatikan mengingat hampir semua masyarakat merasakan dampak pandemi. Lihat misalnya bantuan BLT, sembako, penggalangan dana untuk masyarakat terdampak covid sudah dilakukan hari ini.

Ketika rebba menjadi satu gerakan massif dalam hubungan individu dengan individu, kelompok dengan kelompok atau individu dengan kelompok sosial. Maka akan mengurangi beban kemerosotan ekonomi.

Setidaknya menumbuhkan kesadaran bersama bahwa setiap diri manusia mempunyai ikatan emosional dengan manusia yang lain. Gerakan semacam ini juga menutup egoisme yang mengekang manusia untuk bersikap peduli terhadap sesama.

Meskipun rebba tidak sepenuhnya menjadi tolok ukur kesuksesan dalam menangani perekonomian bangsa. Setidaknya dari rebba inilah kita bisa mentraformasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berasama dan mengurangi beban sosial.

Dengan demikian, rebba di sini menemukan pijakan dalam laku sosial masyarakat untuk memberi sigal postitif di tengah pandemi hari ini.

Muhammad Syaiful Bahri

Belajar menulis esai dan resensi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *