Reaktualisasi Islam Rahmatan Lil Alamin di Indonesia

 Reaktualisasi Islam Rahmatan Lil Alamin di Indonesia

Mengenalkan Toleransi dan Rambu-rambunya (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Islam sangat menjunjung tinggi harmoni dan kedamaian yang bisa dilacak dari penyebaran Islam rahmatan lil alamin di Indonesia. Penyebaran yang kental dengan agama Hindu, Budha dan agama-agama lain pada masa itu.

Islam yang ada sekarang pun bisa dibilang sebagai sinkretisme dan sintesa dari pergesekan budaya serta ritual keagamaan pra-Islam. Dengan tetap menjaga keorisinilan ajaran yang ada dalam Islam.

Clifford Geerts menyatakan bahwa Islam rahmatan lil alamin yang ada di Indonesia ini bukan membangun peradaban tapi justru mengambil peradaban (Clifford Geerts, The Religion of Java, 1964). Inilah barangkali yang menjadi resistensi perennial Islam di negeri ini, di mana metode penyebaran Islam bukan mendekonstruksi budaya yang ada, tapi merekonstruksinya.

Budaya dan ritual keagamaan yang relasinya erat dengan animisme dan mistisisme tidak dihancurkan, tetapi diakulturasi dengan modifikasi di dalamnya. Akulturasi budaya ini berbentuk dialogis yang berarti Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bingkai sosio-religius (Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara, 1989).

Tipologi dialogis di atas mampu menegasikan stratifikasi sosial dan membangun atmosfir kedamaian di kalangan masyarakat. Namun wajah Islam rahmatan lil alamin yang demikian seperti terdistorsi dengan munculnya radikalisme dan terorisme. Bahkan pelaku bom bunuh diri yang tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan adalah fakta yang sangat mengkhawatirkan.

***

Radikalisme di Indonesia tidak muncul dengan sendirinya, tapi ada penyebabnya. Sebagaimana dilansir Afdhal bahwa kemunculan gerakan radikalisme di Indonesia disinergi oleh persoalan domestik serta konstelasi politik internasional. Hal ini yang dinilai menyudutkan kehidupan sosial politik umat muslim (Afdhal, Islam dan Radikalisme di Indonesia, 2005).

Gejolak radikalisme dan terorisme seperti bom bali, kerusuhan  Ambon dan Poso serta terbunuhnya banyak kyai dan ulama’ dalam kasus dukun santet Banyuangi. Bahkan bom bunuh diri yang dilakukan perempuan akhir-akhir ini, menjadi wajah suram kedamaian di negeri kita ini.

Hal yang sama akan terus bermunculan jika masyarakat masih merasakan ketidakadilan dan ketidaksejahteraan dalam hidup yang dijalani. Perasaan tertidas, marjinal dan aspirasi yang tidak mampu ditampung pemerintah akan membawa mereka pada aliran garis keras. Kemudian yang terus melancarkan protes dan bertindak keras atas nama agama.

Mereka merasa telah menemukan wadah dalam mengekspresikan aspirasi dan penderitaan yang dialami. Parahnya orang-orang ini terkadang lemah dalam pemahaman agama sehingga doktrin yang diterima dianggap satu-satunya kebenaran yang harus diperjuangkan. Meskipun nyawa sebagai taruhan.

Klaim kebenaran yang orientasinya pada objek diluar dirinya akan sangat berbahaya. Sebab, klaim yang berasal dari abstraksi ajaran garis keras dalam otak akan bertransformasi pada aksi dan tindakan destruktif-anarkis yang diatasnamakan agama.

***

Lebih dalam lagi, Azyumardi Azra menyatakan tentang timbulnya radikalisasi disebabkan oleh beberapa poin yakni, pemahaman keagaman yang literal dan tekstual. (Nurul Faiqah dan Toni Pransiska, Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai, 2018).

Pemahaman demikian membawa pada ketidakobjektifan berpikir terhadap ajaran agama yang akhirnya menjadi sangat dangkal. Menutup pintu akomodasi pada muslim lain yang memiliki pemikiran moderat.

Kedua, kesalahan membaca sejarah Islam dan dicampuradukkan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada kurun waktu tertentu. Padahal kita tahu, bahwa agama Islam adalah agama yang mengapresiasi perdamaian, sehingga di Fath Makkah (Pembebasan Mekkah) tidak ada pertumpahan darah.

Ketiga, deprivasi politik, sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Tidak berbeda dari Afdhal, bahwa konstelasi politik maupun strata sosial dan ekonomi menjadi jalan terbuka bagi berkembangnya radikalisme dan terorisme. Bagaimanapun, tiga hal itu sangat berperan dalam menentukan karakter dan sepak terjang masyarakat.

Gerakan radikalisme yang mengusung pemurnian agama dengan menebarkan label bid’ah di mana-mana, sebenarnya merupakan tindakan sentimentil. Sentimen pada pemahaman tertentu yang memparsialkan pemikiran dan menutup pintu dari pemahaman lain yang berbeda dari mereka.

***

Anggapan tentang kebenaran final tentang sebuah pemahan yang telah didapatkan sehingga melupakan eksisitensi tauhid. Di mana syahadat sebagai pintu masuk ber-Islam harus direalisasikan dalam dakwah Islam sehingga kalimat tauhid menempati posisinya sebagai persaksian keimanan kepada tuhan. Bukan lantas menjadi legitimasi dakwah garis keras.

Menjadi sangat urgen untuk mengingat bahwa radikalisme bukan hanya pemandangan yang tampak di mata sebagai tindakan radikal saja, tapi harus lebih jauh dan mendalam. Di mana radikalisme juga ditafsir sebagai paham yang telah mencuci pemikiran menuju aktifitas radikal.

Oleh karena itu, Islam yang rahmatan lil alamin harus dimunculkan ke permukaan dengan pemahaman yang purna. Dengan begitu tidak ada pemahaman yang bisa merusak citra Islam sebagai agama yang damai dan mengapresiasi kedamaian.

Teriakan-teriakan jihad juga harus dikaji ulang, agar tidak terjadi kebablasan esensi dari jihad sebagai suatu ibadah dan cara menyebarkan Islam. Tetapi malah berputar seratus depalan puluh derajat sebagai hal yang bisa menjauhkan Islam dari manusia.

***

Dalam hal itu, Zain al-Din ibn abdu al-Aziz al-Malibari (Fath al-Muin, t.t) menyatakan contoh jihad. Pertama, menegakkan hujjah keagamaan tentang Allah sebagai pencipta. Kedua, menegakkan ilmu syariat seperti tafsir dan fikih. Ketiga, menjauhkan manusia (muslim kafir dzimmi dll) dari bahaya. Keempat, amar ma’ruf.

Maka dari itu, jihad tidak hanya diartikan sebagai perang yang erat kaitannya dengan pertumpahan darah, tapi juga hal-hal lain yang orentasinya tetap dalam bingkai penghambaan pada Tuhan. Dengan demikian, sikap moderat, toleran serta progressif dalam mengaktualkan ajaran Islam sangat diperlukan.

Mengapresiasi perkembangan zaman dengan membuka cakrawala berpikir bahwa perkembangan zaman adalah lokus. Untuk mengembangkan ajaran Islam dan tidak mengesampingkan dimensi dialogis dengan tradisi dan pemikiran orang lain.

Dengan demikian, tradisi bisa dihargai dan Islam kontekstual yang bisa menyesuaikan dengan zaman bisa muncul kepermukaan. Pemikiran parsial dan radikalisme akan ternegasi dengan sendirinya bila dimensi rahmatan lil alamin bisa dipahami.

Irvan Solihin Haqiqi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *