Rasionalitas Muhammad Abduh

 Rasionalitas Muhammad Abduh

Kecerdasaan dan Keistimewaan Imam Syafi’i Saat Kecil (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Saya Pergi ke negeri Barat melihat Islam tapi tidak melihat muslim, saya pergi ke Negeri Timur melihat muslim tapi tidak melihat Islam.”

ذَهَبْتُ إِلَى بِلَادِ الغَرْبِ رَأَيْتُ الِإسلامَ وَلَمْ أَرَى الْمُسْلِمِيْنَ، وَذَهَبْتُ إِلَى بِلَادِ الْعَرَبِ رَأَيْتُ الْمُسْلِمِيْنَ وَلَمْ أَرَى الْإِسلامَ

Begitulah adagium kritik andalan atas Islam yang muncul dari sosok pemikir Pembaharu Islam dan Rasionalis Mesir, Muhammad Abduh. Sebagai orang yang pernah kecipratan dunia pemikiran Barat, tak ayal jika sedikit demi sedikit membuatnya gelisah.

Sebisa mungkin ia berupaya untuk memberikan pembaharuan dalam tubuh Islam dalam berbagai sektor yang harus diperbaharui. Hal itu lantaran ingin mengejar ketertinggalan dari Barat.

Terpenting, dari segala bentuk pembaharuan yang ingin digemakan adalah unsur rasionalitas dalam semua persoalan.

Hal ini tampak dari ragam pemikiran yang tertuang dalam aneka karyanya. Termasuk cara menafsirkannya pun mengedepankan unsur rasional serta sangat tidak menyenangi unsur-unsur taklid. Bisa dibilang anti-taklid apalagi sampai fanatik.

Semangat Membaharui

Betapapun Abduh gandrung dan getol ingin menjadikan umat Islam meniru Barat. Paling tidak sikap yang harus dipasang dalam menghadapi alam modernitas Barat Modern adalah harus selektif dan kritis.

Dalam artian, tidak mengampangkan segala urusan dengan mengambil begitu saja segala yang datang dari Barat. Jika  misal itu terjadi, tentu sama saja dan tidak ada bedanya dengan sikap kita sebelumnya. Hanya menggeser paradigma taklid yang lama dengan taklid yang baru atau dari Timur menuju ke Barat.

Lagi-lagi soal mengutamakan kritis dan selektif untuk dapat mencapai Islam yang berkemajuan, ambil sebutuhnya sesuai dosisnya. Sebab tidak semuanya sama dan sesuai.

Entah itu aspek sosio-kultural hingga struktur sosial di masing-masing daerah memiliki corak dan karakternya sendiri.

Sosok Abduh sangat takjub dan kagum atas keberhasilan Barat dalam kancah dunia intelektual dan semacamnya. Hingga ia ingin memberikan pembaharuan dalam segala hal.

Tafsir Muhammad Abduh

Paling mencolok ialah ia ingin membuka kembali pintu ijtihad, yang mana ia hidup di saat sedang semarak fenomena taklid dan fanatik. Dalam sektor pendidikan misalnya, Universitas Al-Azhar juga kecipratan proyek pembaharuannya ini.

Memang Abduh pernah menjabat sebagai rektor, memasukkan ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang dan ia juga memperjuangkan mata kuliah filsafat.

Hal itu ditujukan agar mata kuliah tersebut diajarkan di sana yang sebelumnya dianaktirikan sebagai biang pemicu kekafiran (mungkin). Tetapi bagi Abduh, dengan berfilsafat sebagai upaya mengompori semangat intelektualisme Islam yang meredup dapat kembali menyala.

Mari sejenak sedikit masuk menuju belantara tafsir Rasionalnya “Tafsir al-Manar” dalam menafsirkan tentang Burung Ababil. Berikut saya cuplik sebagiannya:

وَقَدْ بَيَّنَتْ لَنَا هذِهِ السُّوْرَة ُالكَرِيْمَةُ، أَنَّ ذلك الجدري أَو تِلك الْحَصَبَةَ نَشَأَتْ مِنْ حِجَارَةٍ يَابِسَةٍ سَقَطَتْ عَلَى أَفْرَادِ الْجَيْشِ بِوَاسِطَةِ فِرَقٍ عَظِيْمَةٍ مِنَ الطَّيْرِ مِمَّا يُرْسِلُهُ اللهُ مَعَ الرِّيْحُ، فَيَجُوْزُ لَكَ أَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ هذَا الطَّيْرَ مِنْ جِنْسِ الْبَعُوْضِ أَوِ الذُّبَابِ الَّذِى يَحْمِلُ جَرَاثِيْمَ بَعْضَ الأَمْرَاضِ. وَإِنَّ هذَا الْحَيَوَانَ الصَّغِيْرَ الَّذِى يَسُمُّوْنَهُ الْآنَ بِالْميكْرُوْبِ لَا يَخْرُجُ عَنْهَا. (تفسير جزء عم ص 158)

Paling tidak kira-kira begini arti kasarnya : “dan telah jelas bagi kita surah yang mulia ini (al-Fiil). Bahwa sesungguhnya (yang menyerang pasukan itu) adalah penyakit cacar. Yang muncul dari batu yang dijatuhkan pada masing-masing tentara (ashab al-fiil) yang Allah kirimkan dengan perantara sekelompok besar burung-burung yang bersamaan dengan angin. Maka kamu boleh meyakini burung ini sejenis nyamuk atau lalat yang membawa bakteri dari penyakit. Dan sesungguhnya hewan kecil inilah yang saat ini kita namakan mikroba.”

Pemikiran Abduh

Sebelum saya membaca tafsir Muhammad Abduh ini, hinggap pada diri ini cerita dari mulut ke mulut bahwa tentara atau pasukan gajah itu dijatuhi batu-batu yang dibawa dari neraka oleh Burung Ababil. Batu-batu itu membuat mereka kocar-kacir dan bolong-bolong.

Contoh penafsiran lainnya yang juga sarat nuansa rasionalitasnya dalam menafsirkan jin. Bagi Abduh sebenarnya kita yang salah dalam mendefiniskan Jin. Apa yang dipahami orang-orang kebanyakan sungguh sangat berbeda dengan lainnya.

Abduh memiliki penafsiran yang sangat berbeda. Berikut saya nukilkan sebagai bentuk penjernihan pemahaman terhadap rasionalisasi penafsirannya;

المُتَكَلِّمُوْنَ يَقُوْلُوْنَ: إِنَّ الجِنَّ أَجْسَامٌ حَيَّةٌ خَفِيَّةٌ لَا تُرَى، وَقَدْ قُلْنَا فِى الْمَنَارِ غَيْرَ مَرَّةٍ: إِنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يُقَالَ إِنَّ الأَجْسَامَ الْحَيَّةَ الْخَفِيَّةَ الَّتِى عُرِفَتْ فِى هذَا الْعَصْرِ بِوَاسِطَةِ النَّظَارَاتِ الْمُكَبِّرَةِ وَتُسَمَّى بِالْمِيكْرُوْبَاتِ، يَصِحُّ أَنْ تَكُوْنَ نَوْعًا مِنَ الْجِنِّ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهَا عِلَلٌ لِأَكْثَرِ الْأَمْرَاضِ (تفسير المنار: 96\3)

“Orang ahli kalam berkata: sesungguhnya jin adalah tubuh hidup yang tak kasat mata, dan telah disebutkan dalam Kitab Tafsir al-Manar beberapa kali, bahwasanya boleh saja suatu jasad atau tubuh fisik hidup yang tak kasat mata itu yang diketahui masa kita saat ini melalui perantara mikroskop dan disebut mikroba, boleh saja (mikroba) itu sebagai sejenis jin, dan telah tetap bahwa (mikroba) itu sebab dari banyak penyakit”

Dari sana tampak upaya rasionalisasi dari penafsiran yang dilakukan sedikit banyak dipengaruhi pemikiran yang gandrung akan tradisi rasional dan juga terkait kecanggihan teknologi.

Sehingga sebisa mungkin memberikan upaya rasionalisasi pada hal yang tak kasat mata sekalipun termasuk juga malaikat. Mungkin akan ditemukan penafsiran-penafsiran rasional lainnya dalam al-Manar.

Wallahu ‘Alam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *