Ramadhan Setahun Penuh
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِىَ الّله عَنْهُماَ أَنَّهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ الّله صَلّى, السَّنَةَ كُلهَا رَمَضَانَ
Artinya:“dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “seandainya umatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadhan. Niscahya mereka menginginkan agar satu tahun penuh menjadi Ramadhan semua”
Hadis dengan teks seperti ini dinukil oleh Usman al-Khubbani dari kitab Durrah al-Nasihin, sebuah kitab yang berisi pertuah-petuah tentang peribadatan. Namun bagi kalangan ahli hadis, kitab Durrah al-Nasihin dikatakan banyak berisi hadis-hadis palsu dan kisah imajinatif. Hadis di atas cukup popular dimasyarakat karena kitab tersebut banyak di ajarkan dipesantren-pesantren tradisional dan sering dikutip diberbagai majelis taklim.
Redaksi lengkap dari hadis diatas terdapat dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, dengan redaksi yang Panjang dan cukup bombastis maknanya. Maka jika melihat teks aslinnya secara lengkap, para pakar-pakar hadis menduga bahwa hadis tersebut adalah palsu. Betapa tidak, seorang yang berpuasa satu hari saja dibulan Ramadhan, dalam keterangan lengkap hadis Ibnu Khuzaimah, mendapat ganjaran yang tidak main-main.
Artinya: “Nabi Saw. mengatakan, ”Tidak ada seorang hamba yang berpuasa satu pada bulan Ramadhan, kecuali ia akan beristri seorang bidadań dalam sebuah kemah yang terbuat dati mutiara, seperti yang dilukiskan oleh Allah ”Para bidadari yang dibatasi dalam kemah-kemah”. bidadari memakai tujuh puluh busana komplit yang warnanya berbeda-beda. Masing-masing juga diberi tujuh puluh macam parfum yang aromanya tidak sama. Masing-masing juga mempunyai tujuh puluh ribu pelayan wanita untuk memenuhi keperluannya, dan tujuh puluh ribu pelayan laki-laki. Setiap pelayan membawa satu piring emas yang berisi makanan, dan makanan yang ada di satu piring berbeda rasanya dengan rasa makanan yang di piring lain.Setiap bidadati mempunyai tujuh puluh tempat tidut yang tetbuat dari yaqut (ruby) metah. Di setiap tempat dclur terdapat tujuh puluh kasur yang isinya sutera. Di atas setiap kasur ada tujuh puluh kursi malas. Sementara suaminya juga diberi pahala seperti itu, di atas tempat tidur yang terbuat dari yaqut metah. Ia berselendang mutiara dan memakai dua gelang emas. Semua itu adalah pahala untuk setiap hari dimana ia berpuasa pada bulan Ramadhan. Pahala itu belum termasuk amal-amal kebajikannya yang lain”
Jika dibandingkan dengan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Siapa yang berpuasa bulan Ramadhan karena beriman kepada Allah dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya (dosa kecil) pada masa lalu akan diampuni”
Dari hadis ini pahala yang dijanjikan bagi orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan, dengan motivasi iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), hanyalah akan diampuni dosa-dosa kecilnya. Jika dilihat dari hadis ini maka hadis Ibnu Khuzaimah diatas memiliki keganjilan dan kejanggalannya. Kejanggalannya redaksi yang cukup panjang disertai dengan kejanggalan susunan kata dan maknanya, bagi ulama ahli hadis hal itu dapat mengindikasikan bahwa hadis tersebut palsu. Kejanggalan makna itu terdapat pada besaran pahala yang diterima dari amalan yang sangat ringan, sementara keterangan hadis-hadis shahih tidaklah sebombastis demikian.
Namun yang menjadikan hadis ini menjadi cacat dan dinilai palsu bukan karena keanehan maknanya melainkan adanya seorang periwayat yang bernama Jarir bin Ayyub al-Bajali, nama ini oleh para pakar kritik hadis dinilai sebagai seorang pemalsu hadis, karena hadis-hadis yang ia riwayatkan disebut hadis palsu atau setidak-tidaknya mungkar atau matruk, tiga kualifikasi hadis ini layak ditinggalkan dan ditolak sebagai suatu hujah keagamaan.
Hal ini yang membuat Ibnu Hajar al-Asqalani, menilai Ibnu Khuzaimah sebagai tasahul (mempermudah) dengan mencantumkan hadis palsu dalam kitab shahihnya, namun Ibnu Khuzaimah dalam menuturkan hadis yang membahas tentang Ramadhan satu tahun, diakhirnya penulisannya beliau menyatakan “apabila hadis ini shahih” dengan ini sebenarnya Ibnu Khuzaimah sendiri meragukan hadis tersebut, lebih-lebih dalam bab yang sama beliau menuturkan salah satu periwayat hadis itu adalah Jarir bin Ayyub al-Bajali, dan beliau tidak dapat mempertangung jawabkan kredibilitas perawi ini. Wallahu A’lam