Rahmah el-Yunusiah, Tokoh Pendidikan Perempuan yang Terlupakan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak dari kita yang akrab dengan tokoh emansipasi perempuan dan sekaligus pahlawan nasional seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien atau Rasuna Said namun kurang familiar dengan sosok Rahmah el-Yunusiah.
Rahmah el-Yunusiah merupakan tokoh perempuan di bidang pendidikan yang cukup berpengaruh di awal abad 20.
Rahmah el-Yunusiah lahir di Padang Panjang Sumatera barat pada 20 Desember 1900. Terlahir dari keluarga yang sangat menekankan pentingnya pendidikan, terutama pendidikan Islam.
Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Yunus, seorang ulama dan hakim di Pandai Sikat. Syaikh Yunus pernah belajar selama 4 tahun di tanah suci Mekkah.
Menurut Rohmatun Lukluk Isnaini, dalam tuilsannya yang berjudul “Ulama Perempuan dan Dedikasinya dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)” dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 4 Nomor 1 Mei 2016, Rahmah el-Yunusiah merupakan anak bungsu dari lima bersaudara.
Salah satu saudaranya yang cukup terkenal dan berpengaruh kuat terhadap sosok Rahmah adalah Zainuddin Labay.
Zainuddin Labay (1890-1924) merupakan salah seorang tokoh pembaharu di Sumatera Barat. Jasanya yang paling dikenal dalam dunia pendidikan berupa pendirian Diniyah School (1915).
Di sekolah inilah Rahmah muda ditempa dan kemudian melahirkan gagasan briliannya dengan mendirikan Diniyah School khusus putri atau Madrasah Diniyah lil-Banaat (1923).
Dilatarbelakangi oleh perasaan kurang puas Rahmah el-Yunusiah terhadap Diniyah School yang masih dominan dengan laki-laki baik murid maupun pengajarnya, atas ijin kakanya, akhirnya ia mendirikan Diniyah School Putri (DSP).
Jumlah murid pertamanya hingga 71 orang, terdiri dari ibu-ibu muda termasuk putri Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Sitem pendidikan DSP menggunakan konsep tritunggal, yaitu kerja sama yang erat antara lingkungan sekolah, asrama, dan rumah tangga atau masyarakat.
Hal ini berarti penerapan laku pendidikan tidak hanya sebatas di ruang kelas, melainkan hingga ranah yang lebih luas dalam keseharian murid-murid.
Kegigihan Rahmah el-Yunusiah dalam mendirikan dan mengembangkan DSP bukan tanpa hambatan. Dari segi sosial, jelas masih ada saja yang meragukan dengan gagasan yang diperjuangkannya.
Di sisi lain juga sempat DSP sempat dilanda musibah gempa yang melanda Sumatera Barat pada 28 januari 1926. Tak ayal bangunan asrama dan kelas pun luluh lantak.
Akan tetapi, semangat Rahmah el-Yunusiah untuk memajukan pendidikan tidak patah arang. Sempat ditawari bantuan oleh pemerintah Hindia Belanda namun ditolaknya demi kemadirian.
Jalan yang dipilih akhirnya adalah dengan bersama-sama majelis guru dan dibantu oleh murid-murid Thawalib School Padang Panjang membangun kembali secara gotong royong semampunya.
Semangat Rahmah el-Yunusiah untuk memajukan pendidikan kaumnya berangkat dari penghayatannya yang mendalam atas ajaran Islam.
Ia yakin bahwa ikhtiar memajukan pendidikan Islam di kalangan muslimah juga bagian dari ikhtiar menolong agama Allah (Surat Muhammad ayat 7).
Meski demikian, muatan kurikulum yang ditawarkan oleh DSP tidak hanya ilmu-ilmu agama, melainkan ilmu-ilmu praksis dan keterampilan yang menopang kemandirian perempuan dalam menjalani lakon hidupnya.
Rahmah sendiri pada masa mudanya banyak menguasai ilmu non agama, seperti kesehatan dan keterampilan seperti menjahit dan memasak.
Kiprah Rahmah el-Yunusiah terdengar ke berbagai wilayah di luar Sumatera Barat. Ia sendiri rajin berkunjung ke wilayah di Sumatera dan Jawa dalam rangka studi banding.
Atas jasa dan kiprahnya pula dikenal hingga negeri-negeri seberang seperti Singapura, Malaysia dan Mesir.
Bahkan pada tahun 1955, Rektor al-Azhar University, Syekh Abdur Rahman Taj datang mengunjungi Diniyyah Putri dan menyatakan kekagumannya.
Kemudian al-Azhar mengundang Rahmah El-Yunusiah untuk berkunjung ke perguruan tinggi tersebut pada tahun 1956.
Dalam kunjungan itu, Rahmah mendapat gelar kehormatan agama yang tertinggi yang diberikan dalam rapat senat guru besar al-Azhar dengan nama “Syaikhah.”
Tidak lama setelah kunjungan tersebut, al-Azhar membuka pendidikan khusus perempuan yang bernama Kulliyyat al-Banaat. []