Rahasia di balik Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad sebagai Awal Tahun Hijriyah
HIDAYATUNA.COM – Selain tahun Masehi, ada tahun Hijriyah yang umum kita kenal. Perbedaan tahun ini pada cara digunakannya dalam objek hitungan, tahun Masehi menggunakan objek matahari (syamsiyah) sebagai alat perhitungan, sementara tahun Hijriyah menjadikan putaran bulan (qomariyah) sebagai alat perhitungannya.
Tahun Masehi sudah terlebih dulu ada, sementara tahun Hijriyah menyusul kemudian.
Dalam konteks ini, penulis berbicara tentang tahun Hijriyah yang juga biasa disebut sebagai tahunnya komunitas muslim. Saat ini di tahun 2022 M, dalam penanggalan Hijriyah sudah mencapai empat belas abad lebih dalam perhitungan tahun Hijriyah.
Sebagai umat Islam tentu kita perlu untuk mengetahui asal usul atau sejarah awal dicetuskannya tahun Hijriyah, sejak kapan dimulai, siapa aktor di balik itu, serta dalam momen apa awal tahun Hijriyah dimulai. Hal ini menarik untuk diteliti dan dipelajari lebih dalam.
Perlu diketahui bahwa pencetus ide awal tahun Hijriyah adalah sahabat sekaligus khalifah kedua yaitu Sayyidina Umar bin Khatab. Beliau mengusulkan pada beberapa sahabat yang lain untuk segera mengadakan perhitungan hari atau penanggalan secara independent dalam komunitas muslim.
Usul tersebut disetujui dan mulailah dirancang penghitungan tanggal dan bulan dalam tahun Hijriyah. Sayyidina Umar memilih moment hijrahnya Nabi Muhammad saw sebagi penanda awal dimulainya tahun Hijriyah.
Sesuai dengan namanya, ‘Hijriyah’ berasal dari kata ‘Hijrah’ yang berarti pindah dari situasi satu ke situasi yang lain. Hijrah tidak hanya diartikan dengan melakukan perpindahan secara fisik dari tempat yang satu ke tempat yang lain, melainkan juga dengan situasi kondisi.
Hijrah dari kondisi buruk ke arah yang lebih baik, dari amoral menuju yang bermoral dan seterusnya. Dari akar kata itulah kemudian dikenal dengan tahun Hijriyah.
Mengapa peristiwa hijrah tersebut dijadikan sebagai acuan? Ternyata terdapat nilai-nilai yang dapat dipetik oleh komunitas Muslim semuanya. Oleh karena itu perlu untuk dirujuk kembali kisah perjalanan hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
Dalam hal ini Sayyidah Aisyah pernah menceritakan bahwa setiap hari Nabi Saw selalu berkunjung ke rumah Abu Bakar sebanyak dua kali, pagi dan sore. Akan tetapi pada suatu hari, Nabi saw berkunjung pada siang hari.
Tentunya melihat hal ini, Sayyidah Aisyah merasa ada hal penting yang sangat penting untuk disampaikan pada sahabat Abu Bakar. Dari situlah kemudian tercium bahwa Nabi saw diperintahkan untuk berhijrah.
Dalam hal itulah kemudian sahabat Abu Bakar disuruh untuk mempersiapkan segala peralatan yang hendak dibawa hijrah.
Pertama, tatkala sahabat Abu Bakar menyodorkan dua onta yang beliau senangi, dengan maksud untuk menghadiahkan pada Nabi saw. Justru Nabi Muhammad menolak pemberian itu dan bersikeras untuk membelinya.
Dalam hal ini Nabi saw memberikan pelajaran bahwa jika hendak berjuang janganlah setengah-setengah. Berjuang harus secara totalitas dengan harta benda bahkan jika dituntut dengan nyawa. Dalam konteks ini, Nabi saw ingin berjuang pada agamanya sehingga harus dicurahkan semuanya.
Kedua, dalam persiapan hijrah tersebut ada beberapa orang yang terlibat diantaranya Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar, Siti Aisyah, Asma’, dan Abdullah bin Uraiqit.Mereka semua memiliki peran masing-masing.
Sebagaimana kita ketahui bahwa saat itu Ali bin Abu Thalib yang saat itu masih berusia muda, bertugas menggantikan posisi tidur Nabi saw di rumahnya. Abu Bakar menemani Nabi saw beserta Abdullah bin Uraiqit sebagai pemandu jalannya.
Perlu diketahui bahwa Abdullah bin Uraiqit saat itu masih mussyrik. Sementara kedua perempuan itu (Aisyah dan Asma) bertugas mengantarkan perbekalan.
Dari situlah dapat diambil pelajaran bahwa ketika ingin membangun suatu peradaban harus dilibatkan semuanya. Ada orangtua (Abu Bakar), pemuda (Ali bin Abu Thalib), perempuan (Aisyah dan Asma), bahkan yang non-muslim sekalian (Abdullah bin Uraiqit).
Sebagaimana Nabi saw membangun negara Madinah yang menjadi rahmat bagi seluruh warganya, tidak memandang komunitas Muslim maupun Non-Muslim.
Ketiga, mencintai tanah air. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa pada saat diperbatasan kota Makkah, Nabi saw menoleh kebelakang dan berucap bahwa sesungguhnya beliau sangat mencintai tanah lahirnya.
Beliau tidak hijrah jika penduduknya tidak mengusirnya dan dalam konteks ingin membangun peradaban yang lebih baik. Artinya setiap kali ingin menggapai peradaban yang gemilang diharuskan untuk mencintai tanah airnya, akan terasa mustahil dalam membangun peradaban jika tidak didahului rasa tersebut pada setiap diri Muslim.
Itulah ketiga nilai-nilai yang dapat diambil dari peristiwa hijrah Nabi saw. Hal ini penting untuk diketahui bagi setiap Muslim. Apalagi pada momen-momen pergantian tahun.
Dengan mengetahui nilai-nilai tersebut, menjadi suatu keharusan bagi kita untuk meresapi, mencermati, dan mengamalkan nilai-nilai yang berada didalamnya. Akhirnya, tahun baru merupakan momen dimana setiap Muslim harus intropeksi diri dan berhijrah kepada hal yang lebih baik.
*Diolah dari ceramah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA di Metro TV tahun 2004