Radikalisme Cendrung Menghakimi, Gus Solah: Cari Sampai Akarnya

HIDAYATUNA.COM, Jombang — Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) saat mengisi Seminar ‘Nasional Silang Pendapat Makna Radikalisme’ di Gedung KH M Yusuf Hasyim, menyayangkan dalam pengertian Islam radikal, kata radikal seringkali menjadi negatif. Terdapat kesimpangsiuran makna kata radikal di Indonesia.
Selain itu, Gus Sholah mengutip pernyataan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur yang mengatakan definisi kata radikalisme yang digunakan pemerintah tidak jelas.
“Tanggal 19 Oktober 2019, saya diundang mengisi acara di Universitas Atmajaya Serpong. Panitia yang menyambut kami memakai kaos yang bertuliskan nasionalis yang radikalis. Saya tanya apa maksudnya, mereka menjawab nasionalisme yang sungguh-sungguh. Artinya dalam istilah itu mengandung makna positif. Kalau yang negatif ultra nasionalisme,” jelasnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/21/2019).
“Saya pernah bertanya pada guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) apakah benar radikalisme di ITB sangat mengkhawatirkan. Menurutnya kelompok radikal memang ada tapi tidak mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Dengan begitu, efeknya, seseorang yang taat beragama begitu saja dianggap pendukung radikalisme dalam arti negatif atau karena cara berpakaiannya berbeda dianggap radikal. Kemudian, ia mengajak masyarakat menelaah tulisan Direktur Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi di Kompas yang menyebutkan sebagai sebuah masalah karena radikalisme tidak dipahami sama oleh berbagai pihak apalagi disepakati.
Akhirnya radikalisme jadi konsep liar, multi tafsir dan cenderung jadi penghakiman bagi pihak lain sekaligus pembersih diri sendiri. Bahkan belakangan istilah ini semakin kontroversi, ada yang menggunakan kata radikalisme padahal yang dimaksud adalah terorisme.
Di sisi lain, pihak lain menggunakan istilah radikalisme untuk intoleransi, anarkisme, serta penolakan pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Di balik istilah radikalisme, ada kegagalan mendefinisikan beberapa inti persoalan dengan tepat, akurat dan disepakati bersama,” tegasnya.
Selama ini banyak yang mengatakan bahwa intoleransi bisa meningkat jadi radikalisme lalu terorisme. Padahal kenyataannya, tidak selamaya begitu. Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui radikalisme sebaliknya tidak selalu pengikut radikalisme itu terorisme.
Karena makna radikalisme yang rancu maka deradikalisasi juga memiliki masalah yang sama, sama-sama rancu. Bila berangkat dari UU pemberantasan tindak terorisme, di sana disebutkan bahwa obyek derakalisasi adalah mereka yang sudah terpapar terorisme. Untuk warga yang belum terpapar terorisme tidak disebut istilah deradikalisasi tapi kontra radikalisasi.
“Ketua Muhammadiyah Haidar Natsir menyebutkan menyelesaikan radikalisme dengan deradikalisme sama saja memilih jalan radikal. Sebaliknya diganti dengan istilah moderisasi Islam sebagai alternatif. Jokowi juga mengusulkan istilah manipulator agama, namun istilahnya kurang diminati ” pungkasnya.