R20 dan Peran Agama di Masa Depan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam sambutan pertamanya pasca terpilih sebagai ketua umum tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada muktamar akhir tahun 2021 lalu di Lampung, KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan dua misi utama Nahdlatul Ulama (NU) memasuki abad kedua.
Pertama meningkatkan kemandirian warga NU. Kedua meningkatkan peran NU dalam konteks perdamaian dunia.
Mengawinkan dua misi yang cukup berjauhan spektrum perhatiannya tersebut tidaklah mudah. Pasalnya, yang pertama lebih banyak berurusan dengan internal.
Memandirikan warga NU di berbagai aspeknya seperti ekonomi, politik dan budaya memerlukan proses dan jangka waktu yang tidak sebentar.
Kerja pemberdayaan dan penguatan berarti menempatkan warga NU sebagai prioritas dari program-program organisasi.
Sedangkan yang kedua, yakni menaikkan level keberperanan NU dalam misi perdamaian, mengandaikan warga NU bukan lagi sebagai sasaran program, tetapi bahkan menjadi subyek misi organisasi itu sendiri yang kemudian implikasinya dapat terasa hingga ranah eksternal dan bersifat universal: perdamaian dunia.
Sekilas ini seperti dua sisi yang agak berjauhan dan terlalu ‘meloncat’. Akan tetapi, jika dilihat secara lebih seksama dan kronologis, sebetulnya aktivisme NU dalam upaya mewujudkan tatanan keberagamaan yang moderat, toleran dan damai sebetulnya sudah dimulai sejak lama.
Dimulai ketika Gus Dur memimpin NU, yang semua kalangan sudah tidak meragukan lagi kapasitasnya sebagai pejuang kemanusiaan.
Dilanjut pada era KH Hasyim Muzadi dengan ICIS-nya (International Conference of Islamic Scholars) yang menekankan pada nuansa Islam damai.
Kemudian KH Said Aqil Siradj dengan Islam Nusantara-nya, yang mencoba mencitrakan gambaran Islam yang tidak bisa lepas dari konteks budaya dan nasionalisme, sehingga berbagai bentuk tafsir Islam yang konfrontatif dengan semangat bernegara dapat dihindari.
Naiknya Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, ke tampuk pimpinan eksekutif NU mempertegas rentetan sejarah perjuangan NU dalam upaya mewujudkan sikap keberagamaan dunia yang damai.
Beliau mengajak dunia Islam dan agama-agama lain untuk duduk bersama dan melakukan refleksi atas problem internalnya masing-masing.
Ajakan tersebut menemukan momentumnya ketika Indonesia terpilih sebagai presidensi G-20 (The Group of Twenty) pada akhir tahun 2021 lalu di Roma Italia.
Hanya kurang dua bulan sebelum terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU.
Tantangan Presiden Jokowi dalam memangku jabatan presidensi G-20 untuk periode 2022 tidaklah mudah.
Mengingat di saat yang sama, dunia sedang dilanda berbagai krisis. Mulai dari krisis iklim, keamanan, kesehatan hingga ekonomi
Dalam konteks inilah, inisiatif Gus Yahya untuk mengadakan forum Religion of Twenty (R20) yang berlangsung 2-3 November 2022 di Bali dinilai merupakan langkah jitu.
Forum ini dapat menguatkan dan mengisi kekosongan yang belum banyak diperankan antar negara G-20 dalam menyediakan dialog secara (meminjam diksi yang kerap digunakannya) jujur dan lugas berkaitan dengan kondisi problematik internal masing-masing agama dan aliran.
Tampilnya tokoh NU bersama tokoh ormas dan aliran dari berbagai negara G-20 ditambah beberapa negara undangan pada rangkaian agenda G-20 menunjukkan sinyal positif bagi masa depan dua hal.
Pertama, hubungan antar agama. Kita punya daftar sejarah yang panjang mengenai pola yang bernuansa kompetitif dan konfliktual mengenai relasi antar dan intra agama.
Kenyataan historis tersebut perlu diakui bersama, sehingga yang diperlukan kemudian adalah refleksi bersama agar tidak terulang di masa depan.
R-20, karenanya, memberi harapan baru agar pola lama bisa direvisi dan mengedepankan harmoni yang saling membangun.
Karenanya pula, seperti yang diharapkan Gus Yahya Cholil Staquf, forum ini jangan hanya bersifat sermonial melainkan betul-betul menjadi titik pisah yang tegas antara masa-masa buruk kemarin dengan aspirasi ideal mengenai tatanan dunia di masa depan.
Kedua, hubungan negara dan agama. Peranan agama dan pola hubungannya dengan negara di berbagai belahan dunia bervariasi.
Ada yang saling menopang, saling mengisi, terpisah dan ada pula yang menyatu secara kuat.
Apa pun bentuknya, tujuan akhir dari bernegara dan agama haruslah berbentuk kemaslahatan.
Agama, dalam keyakinan Gus Yahya harus menjadi solusi (dan bukannya menjadi salah satu pihak) atas berbagai konflik yang terjadi dengan atau tidak membawa agama.
Oleh sabab itu, agama perlu diketengahkan ke ruang publik untuk diajak berbicara ihwal kemanusiaan.
Ini sekaligus meninjau ulang pandangan sementara kalangan yang menganggap agama perlu diprivatisasi total karena pengalaman traumatis yang pernah dialami seperti di Eropa.
Berlangsungnya R-20 berarti secara tidak langsung menempatkan negara-negara partisipan pada posisi yang (setidaknya) mengakui peran agama dalam upaya-upaya penyelesaian krisis global.
Pengakuan ini juga sekaligus mematahkan para teoritisi Barat yang cenderung skeptis terhadap peran agama dalam membangun peradaban manusia ke depan. []