Qais dan Laila, Makna Cinta Ilahiyah
HIDAYATUNA.COM – Dalam literatur dunia sastra, kisah cinta Qais & Laila menjadi kisah cinta platonik yang sangat masyhur. Qais dan Laila, dua insan yang sama-sama saling mencintai namun berakhir kandas karena tak mendapat restu orangtua.
Qais, lelaki tampan yang sangat mencintai wanita anggun bernama Laila, rela dijuluki majnun karena kegilaannya dalam pengembaraan cinta sejatinya. Inilah yang kemudian menjadikannya populer karena saking dramatisnya kisah cinta mereka.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut, tentunya pengarang tidak hanya ingin memanjakan para pembaca untuk menikmati sekilas saja. Lebih dari itu yang diharapkan adalah suatu pelajaran berharga yang dapat diambil dan menjadi manfaat di kehidupan nyata.
Realitanya, kisah tersebut telah banyak mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya. Tak terikat dengan standar ‘perkara cinta adalah hubungan yang timbal balik’. Sebagai seorang muslim, sudah menjadi keharusan bagi tiap individu untuk mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
Sebagaimana pepatah mengatakan, “Ambillah hikmah walaupun dari mulut seekor binatang”. Banyak sekali kearifan dalam kehidupan ini jika kita hendak menelisik lebih dalam.
Hal tersebut tentunya menjadi penting agar kehidupan dapat dijalani dengan penuh ketenangan tanpa rasa was was dan ketakutan yang berlebihan. Terutama kisah Qais dan Laila.
Fokus di Jalan Cinta
Dikisahkan suatu ketika Qais sedang mengejar anjing milik Laila. Sebagaimana seorang pecinta, suatu tanda yang dapat mengantarkan dirinya ke hadapan yang dicintainya, sudah pasti dikejar dan diikuti.
Di perjalanan, dengan tidak sadar tenyata Qais berlari melewati sekelompok orang kampung yang sedang salat berjemaah. Setelah Qais pulang, orang-orang yang salat tadi marah kepada Qais.
“Hai Qais, tadi engkau melewati kami saat kami sedang salat, mengapa engkau tidak ikut salat bersama kami? Apakah kau tak sadar bahwa kami sedang salat?”
Qais merasa heran, lalu menjawab “Demi Allah, saat kalian sedang salat aku sama sekali tidak melihat apa pun kecuali anjing milik Laila yang sedang kukejar.
Bagaimana bisa kau menghadap Tuhan, sementara masih bisa memperhatikan aku? Kalau kalian benar-benar cinta kepada Allah sebagaimana aku mencintai Laila, pasti kalian tidak melihat aku!”
Sindiran Qais tersebut mengajarkan kita bahwa jika kita memang benar-benar cinta, tentu tidak akan sempat untuk memikirkan hal lain. Seorang pecinta yang semestinya bersungguh-sungguh dalam menggapai cintanya sebagaimana seorang hamba yang benar-benar khusyu dalam kecintaan pada Tuhannya. Tidak akan terpengaruh oleh hal-hal yang sama sekali tak ada kemanfaatan baginya.
Sebagaimana dikutip dalam sebuah buku yang berjudul The Art of Loving, Erich Fromm mengatakan, “Semua upaya akan gagal jika seseorang tidak berusaha mengembangkan seluruh kepribadiannya dengan sedemikian aktif sehingga mencapai sebuah orientasi yang produktif. Bahwa pemenuhan cinta seseorang tidak dapat dicapai tanpa kemauan mencintai orang lain, tanpa kerendahan dan keteguhan hati, serta keyakinan dan kedisiplinan”.
Menerima Kenyataan dari Sang Pencinta
Dalam kisah yang lain diceritakan bahwa ketika itu di rumah Laila sedang diadakan pesta. Semua warga diundang dan Qais datang menghadiri pesta tersebut.
Saat itu Laila membagikan makanan kepada tamu-tamunya, namun ketika sampai pada bagian Qais ia tidak memberi makanan kepadanya. Malah menjatuhkan piring bagiannya hingga pecah.
Keluarga Laila & para tamu yang menyaksikan sontak merasa senang karena akhirnya Laila tersadar. Tapi mereka heran kepada Qais, mengapa dia terlihat senang dan gembira.
Hingga seseorang bertanya, “Hai Qais mengapa kau tersenyum, padahal Laila sudah mempermalukan dirimu!?”
“Loh kapan aku dipermalukan?” jawab Qais heran.
“Tadi saat Laila memecahkan piring bagianmu.”
”Oh kalian tidak mengerti, perlakuan Laila itu bukan ingin mempermalukan diriku. Justru ia ingin agar aku kembali ke antrian lagi sehingga kami dapat berlama-lama saling memandang.”
Dalam kisah ini Qais ingin mengajarkan bahwa jiwa pecinta adalah jiwa yang dapat menerima penuh apa yang diberikan oleh yang dicintainya. Dalam islam, dikenal dengan istilah ridho dan sabar.
Ketika Allah SWT memberi cobaan apa pun, hendaknya kita sambut dengan penuh penerimaan & kesabaran. Barangkali dengan adanya cobaan tersebut, Allah memberi “sinyal” agar kita kembali kepadanya dan lebih lama bersimpuh dihadapan-Nya seraya mengharap ampunan serta ridho-Nya.
Hal tersebut senada dengan Firman Allah SWT yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah SWT) dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah : 153)