Pusat Kajian Alquran di Zaman Umar bin al-Khatthab

 Pusat Kajian Alquran di Zaman Umar bin al-Khatthab

Membincang Sosok Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Disebutkan dalam kitab Fashl al-Khithab fi Sirati Amir al-Mukminin Umar bin Khatthab karya Ali Muhammad al-Shalabi bahwa perhatian Umar terhadap dunia pendidikan sangat besar. Sepeninggal Rasulullah, Umar meresmikan Madinah sebagai ibu kota negara Islam.

Madinah juga menjadi pusat pembentukan hukum-hukum Islam, terutama setelah berhasil melakukan ekspansi besar-besaran ke negara-negara koloni. Selama 10 tahun menjadi kepala negara, agenda Umar difokuskan di antaranya adalah menjadikan Madinah sebagai pusat kajian Alquran dan Fikih.

Terbilang ada 130 pakar fikih dari kalangan sahabat yang aktif memberi fatwa. Tujuh di antaranya yang paling sering adalah Umar sendiri, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, sayyidah Aisyah, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar.  

Sementara yang sedang-sedang adalah Abu Bakar, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Usman bin Affan, Abdullah bin Zubair, Abu Musa Al-Asy’ari. Lalu Sa’ad bin Abi Waqash, Jabir bin Abdillah, Mu’adz bin Jabal (imam al-fuqaha’), Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Imran bin Hushain, dan Ubadah bin Shamit. 

Madinah 

Umar kemudian mengirim mereka ke beberapa daerah untuk mengajarkan Alquran kepada masyarakat setempat serta memahamkan mereka tentang agama. Kecuali Zaid bin Tsabit yang tetap ditugaskan di Madinah karena kemapanan ilmunya tentang Faraidh dan Alquran. 

Mekkah 

Ibnu Abbas yang bergelar Tarjuman Al-Qur’an (juru bicara Alquran) adalah salah satu ulama yang fenomenal karena dikenal memiliki pemahaman yang baik tentang Alquran dan tafsirnya. Rasulullah pernah berdoa kepada Allah agar menjadikan Ibnu Abbas memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama dan ilmu ta’wil.

Doa Rasulullah benar-benar terkabul, memasuki usia 13 tahun Ibnu Abbas telah mampu menghafal 1660 hadis yang ia terima dari Rasulullah. Ibnu Abbas tidak hanya ahli dalam ilmu ta’wil (tafsir), tetapi ia juga pakar Fikih. Kesempurnaan ilmunya menjadikannya sebagai maha guru dalam bidang Alquran.

Rumahnya penuh sesak dengan orang-orang yang ingin belajar dengannya. Ia membagi hari dalam seminggu untuk mengajar tafsir, sejarah, fikih, dan ilmu-ilmu lainnya. Umar pernah berkomentar mengenai Ibnu Abbas, “Ibnu Abbas adalah pemuda yang fasih dan jenius.” 

Bashrah 

Tokohnya adalah Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ulama’ senior, pakar fikih, seorang mufti, dan hakim agung (qadhi Al-qudhat). Abu Musa Al-Asy’ari memanfaatkan masjid Bashrah sebagai sentral kajian ilmiah. Ia luangkan waktu banyak untuk mengajari orang-orang tentang agama Islam. Abu Musa dikenal sebagai sahabat yang memiliki suara dan bacaan yang bagus.  

Jumlah santri Abu Musa yang hafal Alquran dan menjadi pakarnya di Bashrah kurang lebih ada 300 orang. Umar lalu menyuruh gubernur-gubernurnya, termasuk gubernur Bashrah agar mencatat nama-nama penghafal Alquran tersebut untuk diberikan dana kesejahteraan. Abu Musa membuat daftar nama penghafal Alquran di Bashrah yang jumlahnya sampai 300 orang lebih. 

Kufah 

Di Kufah, Umar menugaskan Abdullah bin Mas’ud dan berpesan agar ia mengajar Alquran dengan dialek Quraisy, bukan dengan dialek Hudzail (bahasa kabilah Ibnu Mas’ud). Umar lebih menekankan masyarakat agar mempelajari Alquran, bukan hadis.

Ia pernah berpesan kepada sekelompok sahabat yang akan pergi ke Kufah supaya mereka mengajarkan Alquran dan meminimkan periwayatan hadis dari Rasulullah. Ketika bermaksud menulis hadis, ia berunding dulu dengan sahabat-sahabat yang lain, dan disetujui bahwa hadis akan tetap ditulis.  

Satu bulan ia melakukan istikharah, sampai pada suatu hari Allah menetapkan keputusan baginya. Lalu ia berkata, “Sungguh aku ingin menulis sunah-sunah itu.

Namun kemudian aku teringat suatu kaum sebelum kalian menulis sebuah kitab sehingga mereka lebih menaruh perhatiannya kepada kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, aku tidak akan mencampur kitab Allah dengan apa pun selamanya.” 

Pusat kajian yang didirikan Umar di Kufah memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di kota itu. Bahkan pusat kajian tersebut memiliki banyak murid, bahkan setelah Ibnu Mas’ud wafat sekalipun. Pengaruhnya di Kufah sangat terasa meskipun sudah bertahun-tahun lamanya ditinggal Ibnu Mas’ud. 

Syam 

Di Syam, Umar menugaskan Mu’adz bin Jabal, Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Pesan pertama yang disampaikan Umar kepada mereka adalah agar mereka pergi ke Homs untuk pertama kalinya. Sebab penduduk di sana sangat heterogen. Di antara mereka ada yang belajarnya singkat.  

Ketika mereka telah sampai di Homs, tiga orang berembuk dan akhirnya disepakati bahwa Ubadah bin Shamit yang menjadi staf pengajar di Homs. Sementara Abu Darda’ pergi ke Damaskus dan Mu’adz bin Jabal pergi ke Palestina. 

Ubadah bin Shamit memiliki kontribusi yang besar dalam merealisasikan agenda Umar bin Khatthab, baik dalam dunia pemerintahan, pendidikan, dan militer. Abu Darda’ sukses memiliki banyak halaqah (kelompok kajian) di masjid Damaskus yang jumlahnya mencapai kurang lebih seribu enam ratus orang.

Mereka membentuk kelompok yang terdiri dari sepuluh orang untuk belajar membaca Alquran, dan Abu Darda’ yang membetulkan bacaannya. Tidak hanya ahli dalam kajian Alquran, Abu Darda’ juga pakar faraidh, aritmatika, hadis, puisi, dan lain-lain.  

Adapun keilmuan Mu’ad bin Jabal tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh penduduk Yaman, tetapi juga dirasakan oleh penduduk Syam, khususnya di Palestina. Semasa Rasulullah masih hidup, Mu’adz bin Jabal sudah dikenal sebagai Imam al-Ulama atau Imam al-Fuqaha’.

Imam al-Ulama adalah sebuah gelar yang cukup pantas disematkan kepadanya karena intelektualnya yang tinggi dan wawasannya yang luas mengenai ilmu fikih. Rasulullah pun pernah bersabda “Orang yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal”.  

Dari ketiga sahabat yang dikirim Umar ke Syam inilah, muncul beberapa nama ulama. Paling populer adalah Aidzullah bin Abdullah Abu Idris Al-Khaulani dan Makhul Abu Abdillah Al-Dimasyqi.   

Mesir 

Di antara para tentara militer yang dikirim bersama Amru bin Ash ketika melakukan ekspansi militer ke Mesir adalah Uqbah bin Amir. Ia memiliki pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan di kota itu. Banyak dari penduduk Mesir yang simpati dengan Uqbah karena ilmunya, di antaranya adalah Abu Al-Khair Mursyid bin Abdillah Al-Yazni. 

Umar menugasi Uqbah untuk mengajari para tentara mengenai hukum, kaidah-kaidah fikih, dan Alquran. Ketika ekspansi semakin meluas, Umar berinovasi mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dibangun di beberapa kota seperti di Kufah, Bashrah, Fustat, dan lain-lain.

Umar mengalokasikan dana dari khas negara untuk menggaji para pengajar (guru ngaji) dan mufti, termasuk mereka yang mengajar anak-anak. Setiap orang dari mereka mendapatkan gaji sebesar 15 dirham setiap bulannya (41,5 juta rupiah). 

Untuk anak-anak, Umar membuat kelas tambahan dengan mendirikan maktab (sekolah khusus anak-anak) dan menyuruh beberapa orang untuk mengajar  dan mendidik mereka.  Tidak hanya Alquran, Umar juga punya perhatian besar terhadap ilmu-ilmu sekunder seperti ilmu syntax (nahwu), sebagai ilmu dasar memahami Alquran dan hadis.

Ia pernah mengatakan, “Pelajari bahasa Arab, karena sesungguhnya bahasa Arab akan menstabilkan akal dan menambah kehormatan”. Dalam riwayat lain, ia mengatakan, “Belajarlah ilmu nahwu sebagaimana kalian mempelajari hadits dan ilmu faraidh.” 

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *