Proses Perdamaian di Afghanistan, PBB: ‘Kesempatan yang Tak Boleh Dilewatkan’
Proses Perdamaian di Afghanistan, Menurut Persatuan Bangsa Bangsa Atau PBB Merupakan ‘Kesempatan yang Tak Boleh Dilewatkan’
HIDAYATUNA.COM – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, telah memberikan pernyataannya terhadap proses perdamaian yang bertujuan mengakhiri peperangan yang telah berlangsung hampir 20 tahun dan telah menghancurkan Afghanistan, dengan menyebutnya sebagai sebuah kesempatan yang ‘tidak boleh’ dilewatkan.
Pada hari Senin (17/2/2020), Guterres mengungkapkan pernyataannya itu di konferensi tingkat tinggi internasional di ibukota Pakistan, Islamabad, yang diadakan untuk menandai 40 tahun sudah tetangga dari Afghanistan tersebut terus menampung jutaan orang pengungsi dari daerah-daerah konflik bersenjata.
Dalam pidatonya, Sekjend PBB itu mendesak masyarakat internasional untuk ikut andil membantu para pengungsi Afghanistan yang tinggal di Pakistan dan Iran, dan juga ikut membantu ‘melakukan segala cara yang memungkinkan’ untuk tercapainya perdamaian di Afghanistan, dimana puluhan ribu warga sipil telah tewas sejak invasi Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001.
Kita tidak memiliki hak untuk melewatkan kesempatan ini. Tidak ada warga Afghanistan yang akan memaafkan kit ajika kesempatan ini dilewatkan,” kata Guterres.
Pernyataan dari Guterres itu keluar ketika AS dan Taliban tampaknya hampir memulai status ‘gencatan senjatanya’ yang akan berlangsung selama tujuh hari di Afghanistan, sebagai permulaan dari proses terbentuknya kesepakatan damai atas perang terpanjang AS. Kedua belah pihak telah berselisih mengenai permintaan Washington (Ibukota AS) untuk adanya status gencatan senjata sebelum penandatanganan kesepakatan perdamaian mereka final, yang diperkirakan akan berisi tentang penarikan pasukan militer AS, dan jaminan bahwa Afghanistan tidak akan digunakan sebagai landasan untuk melakukan serangan di luar negeri.
Kesepakatan itu juga mengusulkan pembicaraan antara Taliban dengan pemerintahan di Kabul. Taliban, kelompok bersenjata yang telah memerangi pasukan NATO yang dipimpin oleh AS sejak digulingkan dari kekuasaannya di Afghanistan pada tahun 2001, sejauh ini menolak untuk berbicara dengan pemerintahan Afghanistan di Kabul yang didukung oleh negara Barat dengan menyebutnya sebagai ‘rezim boneka’.
Pada bulan Oktober, UN Assistance Mission to Afghanistan (UNAMA), mengatakan bahwa pihaknya telah mencatat jumlah korban dari warga sipil tertinggi dari perang antara AS-Taliban di Afghanistan. Menurut data PBB, secara total setidaknya 2.563 warga sipil telah tewas dan lebih dari 5.600 orang terluka dalam sembilan bulan pertama di tahun 2019. Dengan mengumpulkan data menggunakkan metodologi standar, UNAMA mencatat setidaknya sudah ada 27.390 korban dari warga sipil sejak tahun 2009 yang telah dikonfirmasi sebagai akibat peperangan itu. (Aljazeera.com)