Penyelidikan Terbaru atas Kejahatan Kemanusiaan pada Etnis Rohingya
HIDAYATUNA.COM – Pasukan militer Myanmar mengatakan saat ini proses mahkamah militer yang langka sedang berlangsung menyusul penyelidikan atas kekejaman yang terjadi di negara bagian Rakhine. Dua tahun setelah tindakan keras dari militer yang brutal dan memaksa lebih dari 700.000 etnis Rohingya lari ke Bangladesh.
Pada hari Sabtu dalam sebuah pernyataan yang diberikan oleh kantor Panglima Min Aung Hlaing, mengatakan bahwa mahkamah militer yang mengunjungi negara bagian barat laut itu menemukan para prajurit telah menunjukkan ‘kelemahan dalam mengikuti instruksi yang diberikan dalam beberapa insiden’ di sebuah desa yang dikatakan sebagai tempat pembantaian etnis Rohingya yang mayoritas Muslim, dan sebagai minoritas yang telah lama diperlakukan tidak selayaknya di Myanmar.
Tidak ada detail tambahan yang diberikan oleh mereka.
Pada tahun 2018, kantor berita The Associated Press melaporkan keberadaan setidaknya lima kuburan dari etnis Rohingya di desa Gu Dar Pyin, kota Buthidaung.
Laporan itu menggambarkan kekerasan mengerikan yang dilakukan para prajurit dan warga Buddhis. Mereka diduga menyerang penduduk desa dengan senjata, pisau, peluncur roket dan granat sebelum membuang mayat ke lubang-lubang dan menyiramnya dengan asam.
Menurut perkiraan dari orang-orang yang selamat dan sampai di Bangladesh jumlah korban jiwa mencapai ratusan, lanjut laporan tersebut.
Tetapi pejabat pemerintah saat itu mengatakan hanya 19 ‘teroris’ yang meninggal dan tubuh mereka pun telah ‘dikuburkan dengan layak’.
Pada hari Minggu, juru bicara dari pihak militer Tun Tun Nyi mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa temuan dari hasil penyelidikan itu sifatnya rahasia.
“Kami tidak punya hak untuk mengetahuinya, mereka akan merilis pernyataan yang lain tentang hal itu ketika prosedur telah selesai,” kata Tun Tun Nyi ketika dihubungi melalui telepon.
Mahkamah militer yang terdiri dari seorang mayor jenderal dan dua kolonel dibentuk pada bulan Maret untuk menanggapi pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran oleh pasukan keamanan yang dituduhkan oleh PBB dan kelompok-kelompok Hak Asasi Amnesty Internasional dan Lembaga Hak Asasi Manusia.
Mereka telah mengunjungi negara bagian Rakhine sebanyak dua kali pada Juli dan Agustus tahun ini.
Pasukan Myanmar melancarkan serangan mereka di negara bagian Rakhine pada bulan Agustus 2017 menyusul serangkaian serangan yang dilakukan oleh pejuang Rohingya di pos-pos keamanan di dekat perbatasan Bangladesh.
Tahun lalu, sebuah misi pencarian fakta yang dilakukan oleh PBB menyatakan kampanye militer itu diatur dengan ‘niat genosida’, dan merekomendasikan untuk menuntut Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya dengan ‘kejahatan paling parah di bawah hukum internasional’.
Myanmar membantah atas tuduhan itu. Investigasi militer sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2017 membebaskan pasukan keamanan dari setiap kejahatan yang ditujukan pada mereka. Tetapi pada bulan Januari 2018, Ming Aung Hlaing mengatakan tentara dan penduduk desa Inn Din mengaku telah membunuh 10 orang Rohingya di sana.
Empat perwira dan tiga tentara dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan kerja paksa atas insiden itu. Tetapi pada bulan Mei seorang pegawai di penjara tempat mereka ditahan mengatakan bahwa mereka ‘tidak lagi dalam tahanan’.
Para prajurit itu menghabiskan waktu yang lebih sedikit di balik jeruji besi dibandingkan dua wartawan Reuters yang mengungkap pembantaian tersebut dan dihukum karena melanggar aturan rahasia negara.
Mereka dibebaskan awal tahun ini dalam pengampunan setelah lebih dari 500 hari mendekam di penjara.
Myanmar menghadapi tuntutan internasional yang semakin besar untuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang terjadi di Rakhine.
Mahkamah Pidana Internasional telah membuka pemeriksaan awal atas kekerasan yang terjadi tersebut, sementara panel yang dibentuk oleh Myanmar yang mencakup diplomat dari Filipina Rosario Manalo dan mantan utusan PBB dari Jepang Kenzo Oshima, akan mempublikasikan temuan-temuannya.
(Sumber: Aljazera)