Proses Awal Masuknya Islam dan Terbentuknya Komunitas Muslim di Indonesia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ada berbagai teori yang membicarakan tentang masuknya Islam di Indonesia. Tulisan ini akan mengulas sedikit tentang proses awal masuknya Islam serta proses terbentuknya komunitas muslim di Indonesia.
Berikut ini beberapa teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, teori masuknya Islam ke Indonesia dari Gujarat, India.
Teori ini mengatakan bahwa Islam mulai masuk sejak abad ke 8 Masehi, yangmana teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel.
Masuknya Islam ke Indonesia tersebut melalui wilayah di anak benua India, seperti Gujarat dan Malabar.
Indonesia pada masa itu memang sudah menjalin hubungan dagang yang dengan melalui Cambay.
Teori ini didasari oleh adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik as-Saleh pada tahun 831 H yang memiliki kesamaan dengan batu nisan di Cambay, Gujarat.
Kedua, Teori Makkah sebagai sanggahan atas teori Gujarat sebelumnya. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad 7 M yang dibawa oleh para pedagang arab, khususnya kaum Alawiyyin dari Hadramaut.
Teori ini dianut oleh Buya Hamka, Van Leur, Crawfurd, Niemann dan lain-lain. Salah satu bukti yang dikemukakan adalah tulisan dalam berita Dinasti Tang yang berisi tentang adanya wirausahawan yang telah mendiami pantai barat Sumatera pada abad 7.
Ketiga, teori Persia yang mengemukakan bahwa masuknya Islam di nusantara pada abad 13. Teori ini didukung oleh Umar Amir Husen dan Hosein Djajadiningrat.
Teori ini berdasarkan pada adanya peringatan Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husen yang berasal dari Iran dan diadaptasi dengan Upacara Tabut di Sumatera Barat, adanya kesamaan ajaran sufi wahdat al-wujud yang dianut al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim pada 1419 M, dan sebagainya.
Teori Persia ini tidak cukup kuat jika dibandingkan teori Makkah. Keempat, teori Tiongkok yangmana Islam berarti dibawa oleh perantau Tionghoa.
Teori ini dikembangkan oleh Hamka dan Kong Yuanzhi. Bukti-bukti yang mendasari teori iniantara lain seperti telah adanya perpindahan orang Islam dari Canton ke Asia Tenggara sekitar 879, adanya Hikayat Hasanuddin yang didalamnya terdapat gelar raja yang ditulis dengan istilah Tiongkok, arsitektur masjid-masjid tua yang bercorak Tiongkok, dan lain-lain.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki jalur perdagangan laut yang dilintasi para pedagang Cina, Arab maupun India.
Para pedagang muslim yang berasal dari daerah tersebut sampai ke Indonesia sejak abad 7 M, ketika Islam baru berkembang di Timur Tengah.
Hal ini didukung oleh beberapa catatan seperti Berita Cina zaman Tang pada abad tersebut, catatan tiongkok yang membuktikan masuknya Islam pda tahun 674 M serta ditemukannya makam Islam di Barus.
Masuknya Islam ke seluruh wilayah di Indonesia tidaklah secara bersamaan. Keadaan pada awal masuknya Islam di Indonesia tidaklah mudah karena kerajaan Hindu-Budha sedang mengalami kejayaannya pada masa tersebut.
Walaupun sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang menjadi pemeluk Islam hingga menjelang abad 13, Islam telah menyebar yang dapat dibuktikan dengan adanya kerajaan Samudera Pasai, Perlak, Palembang dan makam-makam Islam yang ditemukan di Tanah Jawa.
Masa masuknya Islam ke Indonesia hingga berdirinya kerajaan Islam dapat dibagi menjadi 3 fase, sebagai berikut.
Pertama, fase singgahnya pedagang Islam di pelabuhan Indonesia. Kedua, adanya komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan di Indonesia. Ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Islam mudah berkembang di Indonesia. Hal ini dapat kita ketahui dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di Indonesia.
Kerajaan Islam di Sumatera misalnya terdapat Kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam, sedangkan di Pulau Jawa seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang sebagai penerus dari Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati dan Kerajaan Banten.
Islam tidak hanya berkembang di Indonesia bagian barat, melainkan juga di bagian timur, seperti Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Gowa-Tallo di Sulawesi dan Kerajaan Maluku.
Penyebaran Islam di Nusantara melalui berbagai cara. Pertama, jalur perdagangan yang mana Indonesia termasuk Jalur perdagangan yang disinggahi oleh pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, India, Cina dan Melayu yang pada akhirnya membuat masyarakat sekitar menjadi Muslim.
Interaksi penduduk pribumi tersebut dengan para pedagang menjadikan munculnya pemukiman-pemukiman muslim di pesisir-pesisir pantai di Indonesia.
Kedua, melalui politik seperti sebuah masyarakat di Sulawsi dan Maluku yang memeluk Agama Islam setelah Raja mereka menjadi Islam.
Ketiga, pernikahan yang terjadi antara muslim dengan penduduk pribumi. Keempat, jalur pendidikan yang dilakukan baik pesantren maupun pondok.
Ketika menimba ilmu, mereka dibekali ilmu keagamaan agar bisa berdakwah ke tempat asal masing-masing setelah keluar nanti.
Pesantren atau pondok tersebut seperti Pesantren Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Pesantren Sunan Giri di Giri.
Kelima, jalur seni budaya yang dimasuki dengan unsur islam tanpa menghilangkan budaya asalnya, karena hal itulah Islam mudah diterima oleh masyarakat.
Kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukkan wayang yang dibawa oleh Sunan Kalijaga.
Cerita didalamnya mengisahkan Mahabharata yang telah ditambah dengan nilai-nilai keislaman.
Keenam, jalur tasawuf yang mengajarkan teosofi yang bercampur dengan kepercayaan yang telah dikenal masyarakat.
Para sufi tersebut seperti Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa.
Proses Islamisasi di Jawa selalu menghadapi benturan dengan tradisi Jawa yang lebih dahulu dipengaruhi oleh tradisi Hindu.
Hal tersebut mengakibatkan ketegangan dan dialog panjang. Kerajaan Hindu-Kejawen runtuh dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang selanjutnya berakulturasi dengan Budaya Jawa.
Masuknya Islam ke Nusantara tersebut memberi banyak pengaruh bagi berbagai sektor dalam masyarakat yang sebelumnya terdapat corak kehidupan Hindu Budha atau agama lainnya, lambat laun berakulturasi dengan tradisi-tradisi dengan corak keislaman tanpa menghilangkan budaya dari pribumi itu sendiri.
Kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang sebelumnya berjaya, ketika Islam datang mulai meredup dan berganti menjadi kerajaan-kerajaan Islam yang rajanya bergelar ‘Sultan’ ataupun ‘Sunan’.
Kasta-kasta dalam kerajaan Hindu-Budha yang sebelumnya membuat sengsara masyarakat ditiadakan, hal ini karena dalam ajaran agama Islam semua orang memiliki derajat yang sama di hadapan Allah.
Nama-nama yang digunakan bagi para bayi juga berubah menjadi nama Arab maupun saduran dari Bahasa Arab.
Sistem penanggalan Saka pun juga diubah oleh Sultan Agung dari Mataram menjadi sistem penanggalan jawa berdasarkan sistem kalender Hijriyah.
Pesantren-pesantren yang sebelumnya menjadi tempat belajar agama Hindu juga diserap oleh Islam dan mengganti kurikulum di dalamnya menjadi pelajaran Agama Islam dengan seorang Kyai sebagai guru yang mengasuhnya.
Di pesantren, para santri menimba berbagai ilmu, seperti ilmu kalam, fiqh, tafsir maupun hadis.
Mereka dididik menjadi seorang guru atau kyai untuk meneruskan syi’ar Islam maupun menjadi qadi.
Akulturasi budaya yang dapat dilihat secara nyata adalah dalam bangunan istana dan masjid yang tidak mengikuti tradisi Islam di Timur Tengah, akan tetapi masih mempertahankan tradisi Hindu dengan tidak membuat atap masjid menjadi kubah, melainkan atap bersusun dengan jumlah ganjil.