Prof Dr Jamhari Makruf Tangkal Radikal Melalui Kesadaran Masyarakat
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof Dr Jamhari Makruf mengatakan bahwa masalah terorisme sudah menjadi masalah bersama dan diperlukan kerjasama dalam pencegahannya, harus ada kesadaran masyarakat jika di lingkungan mereka ada paham radikal harus dicegah sedini mungkin, tapi pencegahan terorisme jika hanya ditugaskan kepada negara akan sangat berat.
“Bentuklah forum penting yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk tukar pengalaman khususnya mereka yang bergerak sebagai mantan teroris dan pendidik. Saya kira mereka sangat bagus jika saling tukar pengalaman. Forum ini juga untuk menghindari duplikasi, pekerjaan yang sama. Bahkan, saling tukar ilmu pengetahuan dan sebagainya, bisa mengambil manfaat lainnya,” katanya, di Jakarta, Kamis (26/9/2019), dikutip HIDAYATUNA.COM dari akuratnews.com.
Lebih jauh, Prof Dr Jamhari Makruf menjelaskan, orang dianggap radikal adalah benci kepada orang lain karena perbedaan agama. Saat seseorang melihat perbedaan agama dan menegaskan tidak akan bergaul, dirinya menilai hal tersebut merupakan bibit yang nantinya bisa menjadi benih terorisme dan membenarkan orang melakukan persekusi.
“Sikap dasar intoleransi terhadap perbedaan itu saya rasa perlu diwaspadai, dan dipantau terus. Menurut riset pengkajian masyarakat, sudah ada benih itu. Jadi, misalnya boleh beda agama diskriminasi, itu bahaya sekali apalagi muncul di kalangan sekolah. Mungkin langkah ini dapat mengurangi angka tindak pidana terorisme berkurang,” jelasnya.
Sebagai orang yang hidup di negara Indonesia tentunya sepakat Indonesia berbasis kepada Pancasila sebagai dasar negara. Jika ada yang ingin mendirikan negara dengan dasar negara selain Pancasila itu patut diwaspadai.
“Saya kira perbedaan itu alamiah, selama itu tidak melanggar konsesus bersama dan melanggar kekerasan itu yang perlu diwaspadai. Tugas yang cukup serius yang perlu dilakukan lembaga pendidikan untuk mengatasi radikalisme,” bebernya.
Selanjutnya, sepanjang tahun 2018-2019, di sisi lain, kasus tindak pidana terorisme melonjak tinggi dari 172 kasus (2017) menjadi 400 kasus. Pihak kepolisian menuturkan, pelaku teror didasarkan pada maraknya paham radikal di tengah tengah masyarakat Kasus tersebut tidak hanya terjadi di dalam negri, akan tetapi beberapa warga negara Indonesia yang di luar negeri juga terpapar radikalisme. Sehingga seluruh masyarakat harus tangkal radikalisme secara bersama-sama.
Berdasarkan penelitian Iptek 40 pekerja migran Indonesia di Hongkong, mayoritas perempuan sudah dimobilisasi oleh ISIS sejak 2017 dan hal itu lebih dari 500 warga Indonesia paham radikalisme, terorisme dan telah tergabung dengan kelompok ISIS.
Sementara yang kembali ke Indonesia dari jumlah ini sekitar 78 persen adalah perempuan dan anak-anak. Mirisnya, anak-anak adalah kelompok paling rentan menjadi korban karena mereka dirancang sebagai masa depan gerakan kelompok radikal.
Bagi undang-undang nomor 5 tahun 2018 bab 7 a, bahwa seharusnya pemerintah melakukan pencegahan tindak pidana terorisme melalui kesiapsiagaan nasional kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Saat ini Pemerintah sedang menggunakan Rancangan peraturan pemerintah tentang pencegahan tindak pidana terorisme dan perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, Hakim dan petugas Pemasyarakatan.