Produk Belum Bersertifikat Halal, Bolehkah Dikonsumsi?

 Produk Belum Bersertifikat Halal, Bolehkah Dikonsumsi?

Masih Banyak Dijumpai Makanan Tidak Halal di Sekitar Kita (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita perlu bersyukur dengan lahirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Melalui undang undang tersebut, hak asasi dalam pelaksanaan beribadah sesuai dengan agama Islam bisa diimplementasikan.

Umat Islam menjadi tidak perlu khawatir atas berbagai bahan tambahan dalam suatu produk yang diambil dari bahan haram seperti babi.

Negara dalam hal ini telah berupaya untuk menjamin kehalalan suatu produk yang beredar di masyarakat.

Undang-undang Jaminan Produk Halal sifatnya wajib (mandatory), hanya saja dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang panjang.

Pelaksanaan undang-undang tersebut dilakukan secara bertahap. Prosesnya berlangsung dari tahun 2019 sampai pada tahun 2024 untuk produk makanan dan minuman.

Selain itu, selama waktu tersebut, pemerintah melakukan edukasi kepada para pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikat halal dan prosedur permohonan sertifikat halal (kominfo.go.id).

Artinya disini masih ada kemungkinan besar, produk makanan dan minuman yang beredar di masyarakat belum mempunyai sertifikat halal.

Kemungkinan peredaran produk yang belum bersertifikat halal setelah berlakunya Undang-undang Jaminan Produk Halal menimbulkan diskursus di kalangan masyarakat.

Apakah seorang muslim boleh mengonsumsi produk yang belum bersertifikat halal atau tidak?

Dalam menanggapi persoalan ini, ada yang berada pada sisi ekstrem dimana seorang muslim tidak boleh mengonsumsi produk yang belum bersertifikat halal.

Alasannya, selain karena tuntunan syariat yang mewajibkan mengonsumsi produk halal, juga karena adanya kemajuan teknologi yang bisa mengubah bahan haram seperti babi menjadi bahan pelengkap suatu produk yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.

Di sisi lain, ada yang bersikap secara serampangan bahkan cenderung tidak setuju dengan adanya sertifikat halal.

Alasannya karena yang terpenting adalah masyarakat tidak mengonsumsi produk yang secara jelas memang haram, seperti babi, anjing atau bangkai.

Sementara untuk produk yang secara jelas terlihat halal, meski belum bersertifikat halal tidak perlu khawatir dalam mengonsumsinya.

Dari kedua sikap tersebut, ada beberapa kelemahan yang bisa dikritisi dan diberikan solusinya.

Pertama, bagi sikap masyarakat yang sangat ekstrem dan menganggap haram produk yang belum bersertifikat halal, akan menimbulkan kesulitan di masyarakat.

Tidak semua tahu produk mana yang sudah bersertifikat, jika memang ia perlu mencari produk yang sudah bersertifikat halal, hal itu juga bisa menyulitkan masyarakat.

Karena bisa saja produk yang telah bersertifikat halal sulit ditemukan atau harganya mahal jika dibandingkan dengan produk yang belum bersertifikat.

Sementara alokasi keuangannya tidak cukup jika harus membeli produk yang telah bersertifikat halal.

Selain akan menimbulkan kesulitan dimasyarakat, sikap yang ekstrem dengan menganggap haram produk yang belum bersertifikat halal, bisa menimbulkan perselisihan.

Pasalnya, mereka yang bersikap demikian menganjurkan untuk para konsumen agar bertanya terlebih dahulu kepada pelaku usaha tentang produk yang dijualnya.

Misalnya, apakah ayam yang digunakan dalam produk makanan disembelih sesuai ketentuan Islam?

Bahan tambahan apa saja yang digunakan dalam produk yang dijual oleh pelaku usaha?

Pertanyaan semacam ini tentu untuk sebagian pelaku usaha dipandang tidak pantas dan bisa menyinggung perasaan pelaku usaha, hal ini bisa menjadikan terjadinya perselisihan.

Imam Al Ghazali menjelaskan mengenai hal demikian, menanyakan perkara halal dan haram terhadap suatu produk yang secara dzohir halal tidak diperkenankan.

Karena dikhawatirkan akan menyinggung perasaan penjual makanan tersebut (islam.nu.or.id).

Jika diibaratkan, seseorang yang hendak membeli ayam goreng, kemudian secara dzohir ia tidak melihat ayam tersebut disembelih tidak sesuai syariat Islam, maka ia tidak perlu menanyakannya.

Sikap yang kedua mengenai mengonsumsi produk yang belum bersertifikat halal cenderung serampangan.

Padahal kemajuan teknologi menciptakan berbagai bahan tambahan dari bahan yang diharamkan oleh Allah Swt, seperti babi, darah, bangkai, alkohol dan hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariat Islam dan digunakan pada produk makanan atau minuman yang beredar di masyarakat.

Misalnya saja kulit babi yang dibuat menjadi kerupuk kulit. Tentu jika melihat secara dzohir saja, produk tersebut adalah kerupuk.

Hanya saja dengan kemajuan teknologi, tidak menutup kemungkinan jika bahan baku kerupuk itu bisa saja berasal dari babi.

Contoh lainnya, kuas yang biasa digunakan oleh pelaku usaha saat mengolah makanan, tidak menutup kemungkinan berasal dari bulu babi.

Begitu juga produk turununan lainnya seperti gelatin, lard, yang bisa digunakan dalam pembuatan es krim, mentega, puding, jeli dan lain lain.

Melihat dua kutub yang saling bersebrangan dalam menyikapi konsumsi terhadap produk yang belum bersertifikat halal, ada solusi yang moderat bagi masyarakat agar dalam mengonsumsi produk tersebut tidak menimbulkan kesulitan.

Namun juga tetap memegang teguh perintah Allah Swt dalam rangka mengonsumsi makanan atau minuman yang halal dan thoyyib.

Pertama, memilih produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal. Hal ini dilakukan ketika memang produk yang bersertifikat halal tersedia dan mudah didapatkan serta tidak menyulitkan dari sisi finansial.

Adanya jaminan produk halal yang ditandai dengan label halal dalam setiap kemasan menandakan bahwa bahan, proses, serta hal-hal yang menyangkut produk tersebut sudah dikaji oleh lembaga yang berwenang (LPH dan MUI) sehingga terjamin halal dan thoyyib-nya.

Memilih produk bersertifikat halal perlu dilakukan, sebab seorang muslim wajib mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik, juga bermanfaat untuk kesehatan konsumen itu sendiri.

Sehingga jika ketersediannya banyak, mudah untuk didapatkan dan tidak menimbulkan kesulitan, maka pilihlah yang sudah terjamin kehalalannya.

Kedua, mengonsumsi langsung produk yang belum bersertifikat halal. Keadaan seperti ini bisa dilakukan jika memang tidak ditemukannya produk yang bersertifikat halal atau sulit untuk mendapatkannya.

Sehingga masyarakat boleh mengonsumsinya dengan mengambil pendapat Imam Al-Ghazali yang membolehkan menerima atau membeli barang yang secara dzohir halal.

Misalnya ketika seseorang hendak membeli mie ayam yang belum bersertifikat halal, maka tidak perlu menanyakan ayam yang digunakan diperoleh darimana, apakah dari rumah potong hewan yang sudah bersertifikat halal atau bukan.

Ketiga, bersikap wara’ dalam mengonsumsi produk yang belum bersertifikat halal.

Meskipun kita boleh mengonsumsi langsung produk yang belum bersertifikat halal sebagaimana alasan di atas, namun karena kemajuan teknologi yang menciptakan berbagai produk turunan dari bahan haram seperti babi yang digunakan untuk bahan tambahan produk makanan atau minuman, kita perlu waspada agar apa yang dikonsumsi oleh kita halal.

Nabi Muhammad saw berpesan kepada Sa’ad:

Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, niscaya do’amu terkabul. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan haram kedalam perutnya, maka tidak diterima amalannya 40 hari.” (H.R. Thabrani).

Ikhtiar dalam bersikap wara’ ini bisa dilakukan dengan membaca literasi halal modern, seperti produk mana yang sudah bersertifikat halal, apa saja perbedaan kerupuk kulit babi dan sapi, bagaimana membedakan ayam tiren dengan ayam segar, produk apa saja yang terindikasi mengandung bahan yang haram, dan sebagainya.

Wallahua’alam bisshowab. []

Iwan Setiawan, M.H

Dosen Hukum Ekonomi Syariah STAI Sabili Instagram: ibnu_syamsudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *