Presidensi G20 Peluang Indonesia Tunjukkan Pentingnya Pendidikan Pluralisme

 Presidensi G20 Peluang Indonesia Tunjukkan Pentingnya Pendidikan Pluralisme

Mengenalkan Toleransi dan Rambu-rambunya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Presidensi Indonesia dalam G20 merupakan peluang luar biasa untuk menunjukkan pentingnya pendidikan pluralisme atau lintas agama. Hal tersebut sebagai pendorong dunia keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19.

Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) pluralistis. Diungkapkan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, para siswa Kristen di lembaga itu bisa mendapatkan pelajaran agama Kristen.

Ia melanjutkan, PAI pluralistis bukan sinkretisme (pencampuran ajaran agama), tapi mendorong pengamalan ajaran agama dan menumbuhkan toleransi. “Itulah sebabnya beberapa murid kami menjadi seorang Kristen Muhammadiyah. Pemeluk agama Kristen atau Katolik, tapi pada saat bersamaan menjadi simpatisan dari organisasi Muhammadiyah, bahkan aktif di beberapa gerakan,” kata Prof Mu’ti.

Senior Fellow Institut Leimena, Prof Alwi Shihab, memberi contoh. Ia menyebutkan hubungan tidak bersahabat selama berabad-abad antara agama Abrahamik yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.

“Perasaan getir dan permusuhan, diperkuat oleh literatur berupa opini dan fatwa yang diproduksi dalam situasi permusuhan. Oleh sebagian pemuka agama masing-masing,” ujar Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

“Adalah tanggung jawab kolektif para pendidik dan pemuka agama masing-masing untuk introspeksi diri dan berusaha kembali ke sikap dan pandangan yang lebih bersahabat. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kecuali melalui pendidikan untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan sumber konflik dan permusuhan,” kata menteri luar negeri tahun 1999-2001 itu.

Pluralisme di Afrika

Selain Muhammadiyah, Afrika, menurut Direktur Eksekutif The Sanneh Institute, Dr. John Azumah juga merupakan negara yang sangat plural. Lantaran negara tersebut memiliki banyak keragaman agama. Di Afrika, lazim ditemui 3-4 agama dalam suatu keluarga.

The Sanneh Institute adalah lembaga berbasis di Ghana, Afrika Barat. Lembaga ini berisi komunitas ilmiah yang didedikasikan untuk memperlengkapi dan menyediakan sumber daya. Bagi pemimpin agama, cendekiawan, lembaga akademik, dan masyarakat Afrika lewat penyelidikan lebih lanjut.

Keberadaan The Sanneh Institute terkait erat dengan kondisi di Afrika. Meskipun mayoritas warga benua itu adalah orang beragama, hanya sedikit penganut bahkan pemuka agama yang mengenal agamanya secara dalam. Hal itu kerap memunculkan prasangka dan stereotip karena sikap picik atau sekadar ketidaktahuan.

“Kita mendapatkan situasi dimana stereotip, prasangka, justru semakin dipupuk dan ini bisa menjadi situasi sangat matang bagi intoleransi. Khususnya ekstrimisme dengan kekerasan seperti kita lihat di Afrika,” katanya. (IL/Rel)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *