Prawoto Mangkusasmito, Pemimpin Impian Bagi para Calon Pemimpin
HIDAYATUNA.COM – “Prawoto Mangkusasmito : Tipe Kepemimpinan yang Diimpikan untuk Masa Sekarang dan Akan Datang”. Kalimat itu adalah judul yang dipilih Mochtar Naim saat menulis Catatan Pembuka di buku berjudul Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito : Ketua Umum (Terakhir) Masyumi.
Prawoto Mangkusasmito lahir di Magelang pada 4 Januari 1910. Saat di pendidikan menengah, dia bersekolah di Algemenee Middlebare School afdeling B (AMS-B) di Yogyakarta. Sejak masa itu, Prawoto mulai aktif di dunia pergerakan. Aktivitasnya itu dimulai dengan menjadi anggota Jong Java (yang kemudian menjadi Indonesia Muda) dan anggota Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada 1932-1935, selamat dari AMS-B, Prawoto menjadi guru di MULO Kebumen. MULO-Meer Uitgebreid Lager Onderwijs– adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia.
Prawoto kemudian pergi ke Jakarta untuk belajar di Rechts Hoge School (RHS). Ia bersekolah di sana hanya sampai tingkat IV saja. Saat itu, di ajuga mengajar pada Sekolah Muhammadiyah. Ketika bersekolah di RHS,dia aktif di Studenten Islam Studie Club (SIS) dan menjadi ketuanya yang terkahir. Selain itu Prawoto menjadi redaktur majalah Muslemche Reveille, yang diterbitkan oleh SIS.
Prawoto juga aktif di bidang politik. Dia pernah menjadi anggota Pengurus Besar Partai Islam Indonesia. Saat itu yang memimpin partai besar tersebut adalah Dr. Sukiman Wiryosanjoyo.
Pada masa penjajahan Jepang, Prawoto bekerja sebagai pegawai di kantor Kadaster di Jakarta. Pada masa kemerdekaan, Prawoto Mangkusasmito menduduki berbagai jabatan penting seperti anggota BK-KNIP (1946-1949) dan menjadi ketuanya pada 1949-1950, Anggota Komisaris Pemerintah Pusat (PDRI) di Jawa, Penasihat Delegasi Indonesia yang Pertama di forum PBB (1950), anggota DPRS-RI sebagai ketua Fraksi Masyumi, memimpin Delegasi Parlementer ke Pakistan (1952), Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Wilopo (1952-1953), Wakil Ketua Panitia Pemilu I (1955), dan Wakil Ketua Pertama Konstintuante (1955-1959).
Selain itu, Prawoto juga aktif di dunia pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan posisinya sebagai sekretaris II Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Ia pernah pula menjadi Dewan Kurator di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Juga, ia pernah mendirikan Yayasan Pendidikan dan Pengetahuan Islam.
Prawoto termasuk tokoh politik yang teguh memegang prinsip, sesuatu yang berkemungkinan bisa bersebrangan dengan penguasa. Memang, terkait ini, Prawoto agak sering menjadi tahanan politik dari penguasa yang tak menyukainya. Risiko perjuangan memang telah dipahami dengan baik oleh Prawoto. “Tiap-tiap pembawa cita-cita yang besar tentu akan menghadapi perlawanan. Tidak bisa lain dari begitu. Dan perlawanan itulah yang menjadi pupuk untuk kesuburan cita-cita”. (Surat Prawoto mangkusasmito dari Penjara Madiun, 15 Oktober 1962).
Menurut fachry, salah satu tulisan Prawoto yang menarik adalah “Jiwa dan Semangat 1945 Masyumi Menolak Suatu Machsstaat” yang disampaikan sebagai sikap partai dalam pandangan umum Konstituante pada 4 mei 1959. Tulisannya ini merupakan tanggapan balik dari “Konsepsi Presiden” yang dicetuskan pada 21 Februari 1957 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945.
Dalam tulisannya, Prawoto mengungkapkan bahwa Demokrasi Terpimpin akan memunculkan seorang “mahapemimpin” dan “pemimpin dari suatu kekuasaan yang menempatkan dirinya di atas hukum, permulaan dari pertumbuhan ke arah suatu negara kekuasaan (machts-staat) tidak dapat diterima.” Menurut Fachry, ketika Prawoto menyebut dan mengungkapkan penolakkannya terhadap sistem politik yang mengakomodasi terciptanya “mahapemimpin” telah sekaligus mengungkapkan sikap dan kesadaran genuine-nya tentang demokrasi.
“Status seorang ‘mahapemimpin’ sangat berbahaya karena punya kecenderungan bertindak di luar sistem, dan di atas itu, berpotensi mengangkangi hukum itu sendiri,” kata Fachry.
Harry Tjan, menjelaskan bahwa machtsstaat tidak menerjemahkan “roh keadilan” dengan baik, bahkan jauh membelakangi, sedangkan recthstaat (negara berdasarkan hukum) menjelma sebagai “roh keadilan.” Itulah konsepsi Prawoto tentang hukum dan keadilan.
Prawoto sangat teguh dalam pendirian dan sangat hangat dalam pergaulan pribadi dan keluarga. Harry Tjan Silalahi, ketua Partai Katolik Indonesia pada 1971, pernah bertanya kepada IJ Kasimo, mengapa Partai Katolik Indonesia dekat dengan Masyumi? “Tokoh-tokoh Masyumi dan Prawoto memiliki integritas,” kata Kasimo.
Gambaran lain mengenai sosok Ketua Umum Masyumi terakhir ini dilukiskan dengan peristiwa pertemuan menjelang pembubaran Masyumi di Istana Merdeka pada 28 Juni 1960. Busana yang Prawoto kenakan sangat kontras dengan tamu lainnya yakni M. Yunan (Masyumi), Sjahrir dan Soebadio (PSI) yang mengenakan setelan jas lengkap, sedangkan Prawoto hanya mengenakan sarung, peci, baju koko dan bersandal kulit.
Fatwa menambahkan, kebesaran jiwa tokoh Masyumi bukan hanya pada Prawoto, melainkan juga Mohammad Natsir yang akrab dengan J. Leimena (Partai Kristen Indonesia) dan Arnold Mononutu (Partai Nasional Indonesia). Kasman Singodimedjo yang dipenjara pada masa Orde Lama, mengantar jenazah Sukarno ke Blitar, bahkan Buya Hamka yang bernasib sama dengan Kasman, mengimami salat jenazah Sukarno. Sedangkan, Sjafruddin Prawiranegara terkenal dengan ucapannya: “Jangan pernah kehilangan objektivitas meskipun terhadap mereka yang tidak kita sukai.”
Hidup Prawoto bisa dibilang identik dengan Masyumi, ia termasuk orang-orang pertama yang aktif di partai tersebut. Di Masyumi, dia pernah menjadi Sekretaris Umum hasil Muktamar VII di Surabaya pada 1954. Lalu, Wakil Ketua I hasil Muktamar VIII di Bandung pada 1956. Dan akhirnya pada tahun 1959, ia menjadi Ketua Umum Masyumi dari hasil Muktamar di Yogyakarta di tahun tersebut.
Namun, baru sekitar satu tahun memimpin Masyumi, partai itu membubarkan diri karena tekanan dari rezim Orde Lama pada 17 Agustus 1960. Sebagai ketua Masyumi, Prawoto telah berusaha keras untuk merehabilitasi partai yang memerjuangkan tegaknya Islam itu dengan berbagai cara. Namun, sebelum berhasil ia telah lebih dulu wafat pada 1970.
Berbagai usaha merehabilitasi Partai Masyumi menemui jalan buntu, Prawoto kemudian kembali ke masyarakat. Ia bersama para sahabat seperjuangannya di Masyumi, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dia juga menjadi penasihat Serikat Tani Islam Indonesia.
Akhir Hidupnya
Prawoto Mangkusasmito telah memegang banyak jabatan termasuk sebagai Wakil Perdana Menteri, namun dia tetap sederhana. Prawoto adalah pemimpin yang tiada lelah memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan ajaran Islam. lalu, meninggal dunia di kala melakukan kunjungan dakwah ke sebuah desa di dekat Banyuwangi, Jawa Timur.
Ketika hendak pergi ke Banyuwangi menemui masyarakat yang dicintainya, dia sebenarnya merasa kurang enak badan. Waktu itu tekanan darahnya mencapai 170 dan dokter menyarankannya untuk membatalkan perjalannanya. Namun karena dia sudah berjanji kepada masyarakat petani di sebuah desa di dekat Kota Banyuwangi. Kalau harus memilih memenuhi janji kepada rakyat atau mendahulukan kepentingannya sendiri, maka dia akan memilih kepentingan rakyat.
Dengan berbekal obat dari dokter, Prawoto tetap berangkat ke Banyuwangi untuk menemui para petani di Desa Temuguruh, Banyuwangi, Jawa Timur. Dan ditengah kunjungannya inilah beliau wafat pada dini hari pukul 01.00.