Prank Dalam Pandangan Fikih
Bercanda merupakan sebuah hal yang biasa dan bagus unutuk menghilangkan penat rutinitas keseharian, asal dilakukan dalam dengan cara baik dan tidak berlebihan atau dengan cara prank. Nabi Muhammad SAW juga diketahui suka bercanda.
Pernah suatu ketika ada seorang nenek dan kalangan Anshar datang kepadanya, seraya dia berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan bagiku. Kemudian beliau menjawab, “Apakah anda tidak tahu bahwa nenek-nenek itu tidak akan masuk surga?” Lalu nenek tersebut menjerit, dan Rasulullah SAW tersenyum, seraya beliau bersabda, “Apakah anda telah membaca firman Allah SWT:
إِنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاءً ﴿٣٥﴾
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al-Waqi’ah: 35-37).
Demikianlah Nabi mencontohkan, bahwa tidak ada candaan melampaui batas dan mengatakan selain kebenaran.
Seiring perkembangan teknologi dan perkembangan media sosial berkembang juga apa yang disebut prank yaitu perbuatan jahil mengerjai, mengolok-olok, menakut-nakutu atau bahkan membohongi yang dimaksudkan sebagai bahan candaan. Bagaimana fikih melihat dan menghukumi tindakan prank yang sedang disukai oleh banyak kalangan. Bahkan sampai ada acara khusus di televisi nasional yang memberi porsi untuk melakukan prank, imbasnya adalah kegaduhan ketika yang dikerjai atau penggemar dari publik figur tidak terima dengan perlakuan atau cara nge-prank.
Mari kita dudukkan persoalan dengan tepat dan melihat dari berbagai aspek. Merujuk apa yang dilakukan Nabi pada dasarnya bercanda itu diperbolehkan, namun harus tetap memperhatikan rambu-rambunya.
إِنِّي لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا حَقًّا
Artnya: “Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.” (HR. Thobroni).”
Tidak boleh berbohong menjadi salah satu syarat dalam bercanda ala Nabi. Apakah prank tidak melibatkan unsur kebohongan didalamnya. Tentu kita isa menilai secara bijak, bahwa btidak sedikit prank-prank yang dilakukan mengandung unsur kebohongan. Contohnya pura-pura menuduh orang mencuri, pura-pura berantem dan lain sebagainya. Hal demikian jelas dilarang.
Selain itu, kita tentu tidak asing dengan prank menakut-nakuti dengan menyamar menjadi hantu atau semacamnya. Hal demikian juga dilarang dalam bercada menurut Nabi sebagaimana hadits:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Artinya: “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud).
Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi dalam kita Al-Adzkar menjelaskan lebih rinci ketentuan bercanda termasuk prank sebagai berikut:
قال العلماءُ: المزاحُ المنهيُّ عنهُ، هُو الذي فيه إفراطٌ، ويُداوم عليه، فإنه يُورث الضحك وقسوةَ القلب، ويُشغل عن ذكر الله تعالى والفكر في مهمات الدين، ويؤولُ في كثيرٍ من الأوقات إلى الإِيذاء، ويُورثُ الأحقاد، ويُسقطُ المهابةَ والوقارَ. فأما ما سَلِمَ من هذه الأمور، فهو المباحُ الذي كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعلهُ، فإنه صلى الله عليه وسلم إنما كان يفعلهُ في نادرٍ من الأحوالِ لمصلحةٍ، وتطييب نفس المخاطب ومؤانستهِ، وهذا لا منعَ منهُ قطعاً، بل هو سنةٌ مستحبةٌ إذا كان بهذهِ الصفةِ، فاعتمدْ ما نقلناهُ عن العلماء وحققناهُ في هذه الأحاديث وبيان أحكامها، فإن مما يعظمُ الاحتياجُ إليه؛ وبالله التوفيق.
Artinya: “Para ulama berkata, ‘Kelakar terlarang adalah kelakar yang berlebihan dan dilakukan terus-menerus karena menyebabkan senda gurau dan keras hati’ serta dapat melalaikan zikir dan menyita perhatian yang semestinya diarahkan untuk memikirkan perihal penting dalam agama. Kecuali itu, kelakar sering kali menyakiti perasaan orang lain, memicu kebencian, dan menurunkan wibawa orang lain. Sementara kelakar yang jauh dari sifat-sifat itu dibolehkan seperti kelakar yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau melakukannya sesekali untuk kemaslahatan dan menghibur hati lawan bicara. Untuk ini tidak ada larangan sama sekali. Bahkan kelakar seperti ini sunah yang dianjurkan bila dilakukan sesuai sifat-sifat gurauan Rasulullah SAW. Pegang lah pendapat ulama yang kami rujuk, dan hadits berikut hukumnya yang kami teliti karena hampir semuanya dibutuhkan. Semoga Allah memberi taufiqnya.”
Rambu-rambu ini patut diperhatikan agar gurauan atau prank tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang termasuk menyinggung masalah SARA atau menghina fisik. Baiknya memang menghindari hal-hal yang mendekati madharat. Demikian penjelasan kami, semoga kita hanya mengikuti tren semata dan berlebihan dalam bercanda. Wallahu a’lam.
Sumber: Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Al-Adzkar, Darul Hadits, Kairo, halaman 305-306.