PPKM Darurat: Mempertimbangkan Penutupan-Pembukaan Tempat Ibadah

 PPKM Darurat: Mempertimbangkan Penutupan-Pembukaan Tempat Ibadah

Perusahaan Travel yang Telantarkan Jemaah Terancam Dibekukan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM — Tepat terhitung pada hari ini, 3 Juli sampai dengan 20 Juli 2021, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat telah resmi berlaku. Pemberlakuan kebijakan ini diumumkan Presiden Joko Widodo melalui siaran langsung dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden, 1 Juli 2021.

Saya adalah salah satu di antara yang mendukung ada PPKM Darurat ini—meskipun di tempat lain juga banyak yang tidak setuju karena alasan yang berbelit. Sikap ini bukan tanpa alasan, terlepas dari benar atau tidaknya, namun saya telah menyaksikan dan merasakan secara langsung akan hadirnya wabah ini.

Pertama, saudara saya, suami-istri dinyatakan positif Covid-19 setelah dalam beberapa hari mengalami gejala demam. Gejala ini terjadi beberapa saat setelah keduanya, beserta rombongan, mendatangi resepsi pernikahan.

Kedua, dua hari yang lalu, saat saya sedang berada di sebuah kedai kopi—yang kebetulan tepat berada di pinggir jalan raya—di siang hari, saya melihat secara langsung lalu lalang mobil ambulance. Lengkap dengan alat pelindung diri (APD) yang digunakan oleh para tenaga kesehatan dan para relawan. Jika dihitung, dalam kurun waktu satu jam, hampir 4 mobil yang lewat.

Ketiga, melihat fakta di Indonesia, dan secara khusus di Yogykarta, telah menunjukkan peningkatan yang signifikan angka pasien yang dinyatakan positif Covid 19. Belum lagi perjuangan para tenaga kesehatan dan relawan yang rela meninggalkan keluarga melawan Covid 19 yang mulai kelelahan; serta keterbatasan alat kesehatan, terutama oksigen.

Kebijakan Menutup Tempat Ibadah

Salah satu poin kebijakan PPKM Darurat kali ini, yang berbeda dengan PPKM Mikro sebelumnya, adalah adanya kebijakan untuk menutup tempat ibadah sementara. Jika pada kebijakan sebelumnya, kegiatan di tempat ibadah (masjid, musala, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya) diberlakukan ketentuan.

“Untuk zona merah ditiadakan sementara sampai dengan dinyatakan aman sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag); dan zona lainnya, sesuai dengan pengaturan dari Kementerian Agama dengan penerapan protokol kesehatan lebih ketat.”

Maka, pada PPKM Darurat ini, pemerintahan mengeluarkan kebijakan baru. Tempat ibadah seperti masjid, musala, gereja, pura, vihara, dan klenteng, serta tempat ibadah lainnya difungsikan sebagai tempat ibadah ditutup sementara.

Tak pelak, poin ini mendapatkan respon yang cukup tajam dari berbagai kalangan. Anwar Abbas, misalnya, menyebutkan bahwa: “Kalau kantor ditutup, ya akan menimbulkan masalah, dan kalau masjid ditutup, bangsa ini bisa dimarahi Tuhan”, Tribunnews, Kamis (1/7/21).

Lebih lanjut, Abdul Somad juga turut merespon: “Melarang orang pergi ke masjid, tapi mal, pasar malah di buka, di mana letak hati nuranimu?” ujar Abdul Somad, dikutip dari Wartaekonomi, Jumat (2/7/21).

Haruskah Tempat Ibadah Ditutup?

Saya rasa respon yang paling arif, bijaksana, dan tentunya masuk akal datang dari Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam kanal youtube Gelora TV, Jumat (2/7/21) ia mengatakan:

Penting disarankan keagamaan kita, ketika PPKM Darurat tempat ibadah jangan ditutup total. Tapi bisa jadi sentra edukasi, komunikasi penyadaran kepada masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan”, ujar Cholil Nafis.

Begini, fakta bahwa tidak semua masyarakat memiliki smartphone yang super canggih yang dapat mengirimkan informasi dengan cepat, harus kita akui adanya. Belum lagi kadar pemahaman terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang masih minim Inilah persoalan utamanya.

Mengikuti argumen Iqbal Aji Darmono, yakni yang menyebabkan adanya jurang pemisah komunikasi antara pemerintah pusat hingga masyarakat di tingkat bawah. Lantas, apakah tempat ibadah harus ditutup?

Saya rasa, dengan mengikuti Cholil Nafis, sebaiknya tidak ditutup dengan beberapa pertimbangan. Pertama, hal yang perlu dan wajib untuk dilakukan di tempat ibadah adalah menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Seperti hanya mempersolehkan yang menggunakan masker, menyediakan tempat cuci tangan, dan menerapkan jaga jarak.

Kedua, tempat ibadah dapat digunakan sebagai sarana edukasi yang sangat potensial bagi masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan dan bahaya akan wabah ini. Tentunya dengan penyampaian yang sesuai dengan kadar pemahaman masyarakat, yakni sederhana.

Ketiga, tempat ibadah dapat digunakan sebagai sarana atau sentral yang juga potensial dalam ekonomi masyarakat. Misalnya melalui infaq dan sedekah yang diberikan untuk membantu yang membutuhkan.

Singkatnya, dalam menghadapi wabah ini, kita harus memberikan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakkal. Semoga kita, keluarga kita, para tenaga kesehatan, relawan, pemerintah, dan semua pihak senantiasa diberikan kekuatan dalam melewati wabah Covid 19 yang mengancam kita. Aamiin.

Muhammad Arman Al Jufri

https://hidayatuna.com

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *