Membincang Situasi Politik, Sosial-Budaya dan Keagamaan Jazirah Arab Pra-Islam
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jazirah Arab sebagai tempat lahirnya Islam tentunya memiliki berbagai aspek yang menarik untuk dibahas.
Di antaranya adalah mengenai situasi politik, ekonomi, sosial-budaya, serta keagamaannya sebelum Islam datang.
Secara umum, masyarakat Arab dapat dibagi ke dalam dua golongan yakni golongan yang pertama adalah golongan Arab ‘aribah dan golongan yang kedua adalah golongan Arab musta’ribah.
Golongan masyarakat Arab yang pertama ini juga disebut dengan istilah Arabian Arabs yang merupakan keturunan Qahtan yang keluar dari Lembah Furat kemudian memilih tinggal di Yaman lalu menyebar ke Jazirah Arab.
Kabilah yang terkenal dari golongan ini antara lain adalah Himyar dan Jurhum. Golongan yang kedua adalah golongan Arab musta’ribah atau yang disebut juga Arabicized Arabs, mereka secara natural menjadi bangsa Arab dan menjadi masyarakat Arab mayoritas baik di kota maupun desa.
Julukan lain bagi golongan ini adalah Arab adnaniyah. Kabilah yang terkenal dari golongan mereka adalah Kabilah Quraish yang notabene merupakan kabilah asal dari Rasul Muhammad SAW.
Kehidupan Sosial-Budaya dan Keagamaan Bangsa Arab Pra-Islam
Sebelum Islam datang, secara sosial terdapat lapisan-lapisan tertentu dalam masyarakat Arab.
Di kalangan bangsawan misalnya, pernikahan antara laki-laki dan wanita menggunakan sistem resmi, di mana laki-laki meminang baik-baik mempelai wanita kemudian dilanjutkan dengan prosesi akad nikah.
Sementara di kalangan lapisan masyarakat Arab lainnya, terdapat jenis percampuran antara lelaki dengan wanita.
Dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Sayyidatina ‘Aisyah rodliyallahu’anha bahwa ada beberapa jenis pernikahan pada masa Jahiliyah.
Jenis yang pertama adalah pernikahan yang sistemnya sama dengan pernikahan pada zaman sekarang.
Mempelai laki-laki meminang mempelai wanita secara baik-baik kepada walinya dan melangsungkan prosesi akad nikah.
Jenis pernikahan yang kedua adalah pernikahan al-Istibdha’, yaitu ketika seorang suami berkata kepada istrinya sesudah sang istri selesai masa haidnya agar sang istri bersenggama dengan si fulan.
Kemudian sang istri tidak disentuhnya sama sekali hingga terlihat tanda-tanda kehamilan dari hasil hubungannya dengan fulan tersebut. Pernikahan jenis ini dilakukan lantaran untuk mendapatkan anak yang pintar.
Jenis pernikahan yang ketiga adalah sejumlah laki-laki yang kurang dari sepuluh orang mendatangi seorang wanita lalu menggaulinya.
Apabila sang wanita hamil maka ia berhak memilih diantara lelaki yang pernah berhubungan dengannya, mana yang akan menjadi ayah dari anak yang dikandungnya, dan sang lelaki tidak boleh menyangkalnya.
Jenis pernikahan yang keempat adalah sekelompok lelaki yang mendatangi seorang wanita kemudian menancapkan bendera-bendera di pintu-pintu rumah sebagai simbol.
Jika sang wanita hamil dan melahirkan, maka laki-laki yang pernah mencampurinya berkumpul dan mengundang ahli pelacak jejak (al-Qafah).
Kemudian mereka menentukan nasab sang anak tersebut. Sang lelaki pun tidak boleh menyangkal hal tersebut.
Setelah syariat Islam yang dibawa oleh Rasul Muhammad Saw datang, jenis-jenis pernikahan tersebut dihapus dan digantikan dengan pernikahan seperti pada zaman sekarang.
Kaum Jahiliyah juga senang memiliki isteri lebih dari satu atau yang lebih sering disebut sebagai poligami. Kemudian budaya poligami ini dihapus setelah Islam datang.
Sebelum Islam datang, mayoritas masyarakat Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail yang membawa ajaran hanif dari Nabi Ibrahim.
Hingga muncullah Amr bin Luhay yang membawa berhala Hubal dari Syam. Ia meletakkan berhala itu di dalam Ka’bah dan mengajak masyarakat Arab untuk menyembahnya. Masyarakat Arab juga sangat percaya terhadap takhayul, ramalan, dan pengundian nasib seperti al-Azlam.
Al-Azlam adalah pengundian nasib menggunakan anak panah yang tidak ada bulunya. Di samping itu, mereka memiliki suatu kepercayaan yang disebut dengan ath-Thiyarah, yaitu merasa pesimis terhadap segala sesuatu.
Keyakinan ini berasal dari kebiasaan mereka dulu yang mendatangi burung atau kijang lalu membuatnya kabur, jika burung/kijang tersebut mengambil arah ke kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal ini dianggap sebagai pertanda baik.
Sebaliknya, jika burung/kijang tersebut pergi ke arah kiri, maka mereka tidak berani untuk bepergian, karena hal tersebut dianggap sebagai pertanda yang buruk.
Mereka juga percaya bahwa arwah orang yang sudah meninggal karena terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya tidak dilampiaskan.
Situasi Politik dan Ekonomi Bangsa Arab Pra-Islam
Sedikit gambaran kondisi politik masyaraksat Arab pada masa itu bahwa terdapat pembagian kekuasaan politik.
Jazirah Arab dibagi menjadi dua kelompok kekuasaan politik, kelompok yang pertama yakni Raja-raja bermahkota.
Tetapi tidak memiliki independensi, antara lain raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Yaman, dan Keluarga Besar Ghassan dan raja-raja Hirah.
Kelompok kekuasaan politik yang kedua adalah Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa sama seperti kekuasaan seorang raja dan mayoritas dari mereka memiliki independensi penuh. Penguasa-penguasa ini tidak memiliki mahkota.
Kondisi sosial Bangsa Arab yang telah diuraikan pada uraian diatas berimbas kepada kondisi ekonomi masyarakat Bangsa Arab. Hal ini terlihat dari gaya hidup mereka.
Roda penggerak utama perekonomian masyarakat Arab pra-Islam adalah bidang perniagaan.
Bangsa Arab pada masa itu dikenal sebagai para pedagang yang hebat, dan terdapat para saudagar di antara mereka.
Pada bulan-bulan tertentu, atau yang biasa mereka sebut sebagai al-Asyhurul Hurum, di mana pasar-pasar Arab yang terkenal seperti Pasar Ukaz, Dzil Majaz, Majinnah serta pasar-pasar lainnya beroperasi.
Sedangkan dalam bidang industri, Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang jauh dari kemajuan tekonologi industrinya pada masa itu.
Mayoritas hasil perindustrian masyarakat Arab pada masa itu hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang, dan lain-lain.
Kegiatan produksi industri ini terdapat di kawasan Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam.
Industri mereka meliputi industri cocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, onta, sapi.
Mayoritas perempuan menekuni seni pemintalan. Namun, semua komoditas ekonomi Bangsa Arab tersebut terancam dengan peperangan yang bisa terjadi sewaktu-waktu mengingat kondisi politik yang tidak stabil pada masa itu.
Demikian potret gambaran situasi politik, ekonomi, sosial-budaya dan situasi keagamaan Jazirah Arab pra-Islam. []