Potret Perkembangan Islam di Masa Kerajaan Mataram
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam yang amat kompatibel dengan lokalitas di Indonesia. Berdiri sejak sekitar tahun 1586 M di wilayah Hutan Mentaok yang sekarang adalah wilayah Kotagede, oleh Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Keluarga Kerajaan Mataram atau Kesultanan Mataram memang tergolong cukup agamis dan telah melahirkan para raja yang memiliki dedikasi tinggi terhadap Islam.
Salah satunya adalah Sultan Agung. Melalui pemerintahan Sultan Agung, pendidikan Islam mengalami perkambangan yang cukup signifikan.
Sultan Agung membersamai rakyatnya setiap Hari Jumat untuk menunaikan salat Jumat.
Dengan begitu, secara tidak langsung, Sultan Agung telah membudayakan rajin berbidah kepada rakyatnya serta telah membuka akses kebersamaan terhadap rakyat muslim.
Pada tahun 1633 ia membuat tarikh (kalender baru) yaitu kalender Jawa-Islam. Hal ini merupakan sumbangsih yang amat bermanfaat bagi umat muslim khususnya.
Hingga saat ini kalender ini masih sering dipakai oleh masyarakat Jawa khususnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama yang ada di Kerajaan Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian.
Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai alat birokrasi, ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi.
Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka mempunyai moral dan ilmu pengetahuan tinggi.
Sultan Agung selalu meminta nasihat dan pertimbangan kepada para ulama ketika hendak menetapkan suatu kebijakan.
Pada masa itu para ulama tengah fokus kepada isu Islamisasi budaya-budaya yang masih melekat di masyarakat Mataram.
Sunan Kalijaga misalnya, beliau adalah ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan terhadap ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam.
Ia telah menempuh berbagai cara termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat demi mengambil hati masyarakat.
Perpindahan pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman yang merupakan daerah agraris merupakan aksi yang turut dipengaruhi oleh budaya pra-Islam.
Sehingga dari hal ini menimbulkan warna baru bagi Islam yang kemudian disebut dengan Islam sinkretisme.
Seperti itulah keadaan Islam semenjak berpusat di Mataram. Pencampuran antara keislaman dengan budaya setempat menjadi apa yang di kemudian hari disebut dengan ‘Islam Kejawen.’
Senopati yang menggunakan gelar Sayidin Panatagama menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam.
Di mana dalam hal ini berarti raja berkedudukan sebagai pemimipin sekaligus pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua.
Sunan Kalijaga yang merupakan seorang penghulu terkenal masjid suci di Demak memiliki pengaruh besar di Mataram.
Pengaruhnya tidak hanya sebagai pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pembimbing di bidang politik. Hubungan-hubungan erat antara Cirebon dan Mataram memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Mataram.
Sifat mistik Islam dari Keraton Cirebon merupakan unsur yang menyebabkan mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram.
Islam tersebut tentu adalah Islam Sinkretis yang menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha.
Semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I, peran para ulama mengalami sebuah pergeseran. Pada saat itu terjadilah de-islamisasi.
Kehidupan keagamaan merosot karena banyak ulama dibunuh, sementara dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram akibat dari campur tangan budaya asing.
Pada masa awal berdirinya Mataram, kebudayaan kurang berkembang karena dua alasan. Pertama, para pendiri Mataram belum fokus dalam memikirkan hal-hal spiritual.
Perhatian para pendiri ini lebih tercurah pada hal-hal pembukaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kemajuan ekonomi dan strategi pertahanan.
Pengolahan tanah dan penggarapan daerah-daerah tandus lebih banyak menyita waktu.
Kedua, kekuasaan politik yang hanya bisa didapatkan melalui adu kekuatan senjata. Itulah mengapa hampir di setiap masa pemerintahan raja-raja pertama Mataram hanya dihabiskan dalam peperangan.
Ki Gede Pemanahan Senapati dan Mas Jolang belum sempat untuk mengembangkan kebudayaan yang lebih bersifat rohaniah.
Akhirnya pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung mencetuskan sebuah gagasan untuk mulai mengembangkan kebudayaan.
Dari situ kemudian diambillah unsur-unsur peradaban dari daerah-daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat meningkatkan martabat Kerajaan Mataram khususnya di bidang kebudayaan.
Hal tersebut sesuai dengan kedudukannya sebagai istana raja penguasa tertinggi diseluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama Islam, menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan Islam sinkretis.
Pada periode pemerintahanSenopati hingga Susuhunan Amangkurat I, sistem politik mengalami fase turun-naik secara drastis.
Periode pemerintahan Raden Mas Jolang dilanjutkan oleh anaknya yaitu Raden Mas Rangsang.
Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.
Kita tahu bahwa sistem politik sifatnya amat internal, terutama ketika menyangkut konsolidasi tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka hampir tidak mengalami perbedaan.
Namun dalam persoalan penguasaaan wilayah, terkadang memang mengalami naik-turun.
Seperti pada masa Panembahan Senopati. Ia sebagai raja mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri.
Karena pada mulanya, Mataram merupakan daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang.
Ketika kendali pimpinan beralih ke tangan Susuhunan Amangkurat 1, martabat Mataram menjadi merosot kembali.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram mulai menciut. Hal tersebut dikarenakan hubungannya dengan kolonial Belanda. Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan.
Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat pada masa kejayaan Sultan Agung. Termasuk di dalamnya adalah kesusastraan Jawa yang mengalami perkembangan.
Sultan Agung sendiri merupakan pengarang kitab berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.
Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Mengenai sistem politik eksternalnya, di antara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat.
Ada yang merespon dengan sikap kompromistis dan ada pula yang sangat beranti pati. Pada masa Panembahan Senopati, usaha tersebut memang belum dapat dilihat hasilnya.
Karena pada saat itu walaupun orang-orang Eropa telah kembali ke Nusantara namun konsentrasi politik sedang dititikberatkan pada konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Berbeda pada masa kekuasaan penguasa Mataram berikutnya yakni Sultan Agung.
Ia merupakan sosok penguasa yang antipatis pada kompeni. Ia telah mengerahkan seluruh usahanya guna mengusir dan membendung penetrasi penjajah di Bumi Nusantara.
Dua kali sesudah ekspansinya, pasukan militer yang kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC, masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan. Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M.
Meski masyarakat Islam pada waktu itu tengah berada pada masa-masa pertahanan dan gempuran baik yang kasat mata ataupun tidak, tetapi masyarakat Islam pada masa itu tetap gigih berjuang dan mengembangkan Islam.