Potret Historis Kumandang Adzan
HIDAYATUNA.COM – Dalam riwayat perjalanan agama Islam, barangkali kita telah akrab dengan nama Bilal bin Rabah. Budak berkulit hitam yang di masa itu menetapkan dirinya untuk masuk Islam. Kendati ia disiksa oleh majikannya sedemikian rupa, namun ia tidak bergeming pada pilihannya. Iman telah merangsek masuk dan mengakar kuat di dalam dirinya.
Ia dipilih oleh Kanjeng Nabi Muhammad untuk mengumandangkan adzan. Semacam penanda bagi umat muslim di masa silam sebagai masuknya waktu salat. Dalam banyak literatur keislaman, Bilal digambarkan cukup antusias dan bertanggungjawab menunaikan tugasnya sebagai muadzin. Meskipun Bilal sendiri juga diceritakan tidak kuat mengumandangkan adzan setelah wafatnya Kanjeng Nabi.
Hanya saja di masyarakat kita, barangkali baru sebagian kecil saja dari umat muslim yang tahu tentang asal muasal kumandang adzan. Sebagian besarnya, hanya tahu dari penunjukkan Kanjeng Nabi kepada Bilal, muadzin pertama umat muslim yang ditutur-tularkan dari satu literatur ke literatur lain, atau dari satu ceramah ke ceramah lain.
Padahal bila kita membuka kitab hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, di situ ada uraian sejarah ihwal adzan. Hadis tersebut bercerita tentang setelah berhijrahnya umat muslim dari Makah ke Madinah.
Pada masa itu, ketika umat muslim hendak menunaikan salat, mereka akan berkumpul dengan cara memperkirakan masuknya waktu salat. Bila bayangan matahari lebih panjang dari badan, maka sudah masuk waktunya salat asar dan seterusnya. Tetapi lamat-lamat para sahabat bersama Kanjeng Nabi mendiskusikan hal ini untuk mempermudah dalam beribadah salat.
Dari sahabat yang hadir saat itu, ada yang memberi pendapat untuk menggunakan lonceng sebagai tanda masuknya waktu salat. Tetapi pendapat ini ditolak lantaran menyerupai umat Nasrani.
Ada juga yang memberi saran dengan menggunakan terompet. Barangkali di masa itu, suara terompet dapat menjangkau wilayah yang lebih jauh dan luas. Saran ini pun ditolak karena dinilai sama dengan umat Yahudi.
Beberapa sahabat mengusulkan dengan menggunakan bendera. Mekanismenya, ketika masuk waktu salat, bendera ini dinaikkan. Mereka yang melihat bendera tersebut akan saling memberitahu bahwa, waktu salat telah masuk. Lagi-lagi usulan ini juga tidak diterima secara mufakat.
Rembug kala itu saya rasa belum rampung, sebab Kanjeng Nabi belum memutuskan penanda sebagai waktu masuknya salat.
Kemudian keesokan harinya, Abddullah bin Zaid bin Abdu Rabbihi bermimpi didatangi oleh seseorang. Orang tersebut mengajari Zaid kalimat-kalimat penyeru yang dikenal sebagai adzan. Setelah terjaga dari tidurnya, Zaid lantas menemui Kanjeng Nabi. Ia menceritakan mimpi yang dialaminya.
Kanjeng Nabi pun bersabda: “Wahai Bilal berdirilah dan perhatikan apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid kepadamu, lalu laksanakan”. Sabda ini mengindikasikan bahwa Kanjeng Nabi mengiyakan mimpi yang dialami Zaid.
Dari sini, barangkali kita akan mengajukan pertanyaan, kenapa bukan Zaid yang dipilih oleh Kanjeng Nabi untuk mengumandangkan adzan pertama kali? Kenapa mesti memilih Bilal yang tidak mengalami mimpi tersebut?
Beberapa pendapat mengatakan bahwa setelah menerima mimpi tersebut, Zaid mengalami sakit. Sehingga ia tidak dapat berteriak menyuarakan adzan dengan keras. Sementara pendapat yang lain, Bilal memang memiliki suara yang lebih nyaring dan lebih panjang ketimbang Zaid. Maka dari itu, Kanjeng Nabi memilih Bilal untuk mengumandangkan adzan ketimbang Zaid.
Peristiwa kumandang adzan ini tercatat di tahun 1 Hijriyah. Tahun-tahun awal ketika umat muslim banyak mengalami penolakan di Makah dan memulai membangun peradaban di Madinah. Sampai saat ini, kumandang adzan banyak kita dengar bersahut-sahutan di sekitar kita.
Wallahul’alam.