Potret Ekspresi Eco-Sufisme dalam Islam
HIDAYATUNA.COM – Selama ini ajaran sufi dikenal melulu menyerukan umat muslim untuk senantiasa berdekatan dan bermunajah kepada-Nya. Sekian laku tirakat, wirid, berpuasa, salat dan dzikir menjadi tindakan yang mesti ditunaikan untuk mencapai level tertentu dalam berislam.
Pun di luar tirakat seperti makan, minum, berpakaian, bersosial serta berbudaya, umat muslim mesti bisa memaknainya dalam konteks keilahian. Di titik ini kita membayangkan sufi jadi ajaran yang melangit.
Pasalnya sufi ini banyak berkiblat pada ajaran para sahabat Kanjeng Nabi Muhammad yang tinggal menetap di sekitar masjid, ahl al-suffah, saat perjalanan hijrah dari Makah ke Madinah ditunaikan. Sahabat yang tergolong ahl al-suffah ini mempunyai karakter sosial yang khas.
Sederhana, taat, dan bersama jadi karakter yang melekat pada golongan ahl al-suffah. Maka di banyak cerita tentang sufi dan muridnya, pola yang ditemukan secara garis besar mirip dengan golongan ahl al-suffah. Meskipun polanya mirip, tetapi produknya bisa berbeda.
Padahal bila dicermati, sufi atau tasawuf menjadi salah satu bagian dari agama Islam. Di banyak ayat-ayat di kitab suci, tauladan Kanjeng Nabi Muhammad dan literatur terdahulu, agama Islam kerap identik dengan kalimat rahmatan lil ‘alamin.
Agama Islam jadi rahmat bagi semuanya. Untuk itu, ajaran yang termuat di dalamnya juga mesti membumi. Dalam arti, ajarannya dapat dijadikan pedoman dalam konteks kekinian.
Berangkat dari dilema sufi yang seperti ini, akhirnya mencuat ragam kesufian dalam bentuk baru. Salah satunya dikenal dengan eco-sufisme. Eco-sufisme ini berangkat dari konsep penyatuan antara kesadaran berlingkungan dan berketuhanan.
Di artikel Pola Konsumsi Dalam Islam dan Konsep Eco-Sufisme Muhammad Zuhri (2011), kesadaran berlingkungan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan kesadaran spiritual.
Suwito NS melalui artikelnya tersebut mewartakan bahwa, lingkungan dengan berbagai bentuknya selain jadi produk ciptaan-Nya juga menjadi bukti bahwa Dia itu memang ada dan berkuasa atas segalanya.
Maka merawat, mencintai, dan berelasi baik dengan lingkungan merupakan bagian dari ibadah berpahala yang dapat mendekatkan manusia pada pencipta-Nya.
Di poin ini sufi jadi alat kritik bagi sekian kegiatan kapitalisme yang memberangus lingkungan secara pelan-pelan. Seperti misal penebangan pohon, mengeruk sumber daya alam tanpa ada upaya berkelanjutan, memproduksi plastik yang sulit terurai, sampai membuang sampah dengan serampangan.
Eco-sufisme menyerukan untuk mulai meninggalkan, atau menguranginya secara bertahap. Karena bagaimana pun, keasrian lingkungan menjadi tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi ciptaan-Nya.
Kemudian untuk kesadaran spiritual, Suwito NS mengaitkan antara transformasi kesadaran ketuhanan manusia secara konseptual yang lantas diimplementasikan pada ruang di sekitarnya.
Ladang hikmah sejak masa silam tidak hanya berhenti pada tataran wacana semata, tetapi juga dikonkretkan. Kendati hal yang dikonkretkan itu masih dalam tataran yang sederhana.
Hanya saja lelaku ini masih jarang kita temu apalagi tunaikan. Kebanyakan lingkungan dan seabrek variabel problemnya kerap menjadi wilayah gerak komunitas pecinta alam.
Berlingkungan belum jadi orientasi bagi umat muslim kebanyakan. Mereka luput tidak sadar bahwa kelestarian lingkungan juga berdampak pada kenyamanan beribadah secara formal dan normatif.
Kita boleh membayangkan jika sekian juta umat muslim di negeri ini memiliki rasa peka, sensitif, dan sedikit etika terhadap hubungannya dengan lingkungan, dampaknya barangkali bisa menaikkan perolehan ketahanan dari sisi material dan kecukupan dari sisi rohaninya.
Eco-sufisme ini memang perlu pengejawantahan yang lebih masif lagi. Karena selain sebagai gerakan berlingkungan sekaligus berketuhanan, eco-sufisme juga jadi konsep dan gerak baru yang bisa ditawarkan, selain sekian konsepsi dan cara penyelamatan lingkungan lainnya.