Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Islam Non-formal yang Harus Terus Dirawat
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Meski pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam non-formal yang cukup dikenal di Indonesia, namun banyak juga yang kurang memahami bagaimana sebenarnya geliat pendidikan di dalamnya.
Belakangan ini seiring dengan semakin banyaknya terungkapnya kasus-kasus kejahatan serius yang terjadi di pesantren yang ironisnya dilakukan oleh pimpinan pesantren ataupun ustaz di lembaga tersebut, maka hal tersebut akan berdampak pula pada tingkat kepercayaan khalayak.
Oleh karenanya, yang perlu dilakukan bukanlah menutupi kasus-kasus kejahatan yang terjadi di pesantren tersebut, namun hal tersebut seharusnya menjadi momentum refleksi dan mawas diri bagi kalangan pesantren.
Publik tidak selalu memahami dengan baik bagaimana kehidupan berjalan di balik tembok pesantren. Tulisan ini menjadi salah satu wasilah informasi bagi publik agar dapat memahami bagaimana pesantren berjalan.
Meski tidak bisa menjelaskan secara menyeluruh, tetapi penulis berharap agar dapat menjadi salah satu referensi yang bermanfaat bagi khalayak yang ingin mengetahui tentang pesantren.
Kilas Historis Pondok Pesantren
Ditemukannya situs Barus di Sumatera Utara oleh Tim Arkeologi Indonesia-Prancis merupakan titik tolak dimulainya sejarah pesantren di Indonesia.
Penemuan situs Barus tersebut mengemukakan fakta bahwa Barus pada zaman dahulu menjadi bandar metropolitan.
Sehingga sudah sewajarnya apabila di Barus pada waktu itu menjadi tempat pertemuan berbagai ideologi dan agama di dunia.
Menurut Zamakhasyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan bahwa Situs Barus pada masa kini meninggalkan inkripsi yang tersebar di beberapa pekuburan-pekuburan yang kebanyakan berangka pada abad XIV dan abad XV.
Kebanyakan dari pekuburan-pekuburan itu adalah orang-orang yang telah bergelar ‘syekh.’
Mereka bermukim, mengajar tentang Islam dan mendirikan pusat-pusat pengajaran dan pendidikan Islam.
Pada masa kolonialisme, dari pondok pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustofa, dan lain sebagainya.
Maka dapat dikatakan bahwa pada masa itu pondok pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini.
Karel A. Steenbrink mengatakan dalam bukunya, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, bahwa apabila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat untuk melawan penjajah.
Jawabannya karena figur kiyai sebagai pimpinan pondok pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar pondok.
Mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki (Ilahiyah). Di pulau Jawa sendiri, pesantren pertama kali berdiri pada masa Walisongo.
Syekh Maulana Maghribi adalah tokoh wali yang dianggap sebagai pendiri pesantren pertama di pulau Jawa.
Islam mengadopsi sistem asrama yang telah ada lebih dahulu dalam system pendidikan agama Hindu-Budha.
Alhasil, agama yang diajarkan bukanlah ajaran Hindu-Budha, tetapi ajaran agama Islam, sementara nama tempat tinggal bagi peserta didik diubah menjadi pondok pesantren, bukan asrama lagi.
Peserta didik yang bermukim di pondok pesantren dan menimba ilmu di sana disebut sebagai santri.
Pondok pesantren berkembang sejalan dengan berkembangnya Islam di Indonesia.
Awalnya, pondok pesantren sangatlah sederhana. Namun, seiring dengan perkembangan Islam dan perkembangan zaman, pondok pesantren pun turut berkembang.
Jika dulu di pondok pesantren hanya diajarkan tentang ajaran agama Islam saja dan belum ada lembaga pendidikan formal di bawah naungan pondok pesantren, maka di zaman modern ini pondok pesantren tidak hanya mengajarkan kurikulum berbasis ilmu-ilmu agama saja namun juga ilmu-ilmu umum juga.
Bahkan kini sudah banyak pondok pesantren yang telah memiliki lembaga pendidikan formal sendiri seperti Raudhotul Athfal/TK, Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs, Madrasah Aliyah/MA, dan perguruan tinggi berbasis pondok pesantren.
Elemen-Elemen Pondok Pesantren
Pondok pesantren atau yang sering disebut juga pesantren memiliki elemen-elemen yang menjadi ciri khasnya sendiri.
Elemen yang pertama adalah kyai atau kiai. Kiai sebagai pimpinan utama sebuah pondok pesantren. Seorang kiai harus bisa menjadi panutan bagi santri dan juga masyarakat sekitar pondok pesantren.
Berkembang tidaknya suatu pondok pesantren pun juga tergantung pada kiainya.
Elemen yang kedua adalah santri, dimana elemen ini merupakan elemen yang tak kalah pentingnya dengan kiai.
Santri adalah sebutan untuk peserta didik yang bermukim dan menuntut ilmu di suatu pondok pesantren.
Tanpa adanya santri, kegiatan pembelajaran di pondok pesantren tentunya tidak akan berjalan maksimal.
Elemen yang ketiga adalah tempat ibadah, dalam hal ini tempat ibadah yang harus ada dalam suatu pondok pesantren bisa berupa musholla ataupun masjid.
Kegiatan keagamaan seperti sholat dan bahkan pengajian atau pembelajaran di pondok pesantren dapat dilaksanakan di musholla atau masjid ini.
Elemen yang keempat adalah tempat tinggal santri/pondok, merupakan tempat tinggal bagi santri.
Jadi, santri yang ingin menuntut ilmu agama di pesantren, santri yang ingin ngaji, mereka harus tinggal di pondok yang telah disediakan.
Adanya sistem seperti untuk mempermudah proses pembelajaran antara kiai, ustadz, dengan santri.
Elemen yang terakhir dari pondok pesantren adalah pengajaran kitab-kitab klasik, inilah yang menjadi ciri khas dari suatu pondok pesantren, yakni pengajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab klasik.
Kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren mecakup materi tentang fiqih, akhlak, tauhid, tasawuf, hadis, tafsir, dan masih banyak lagi.
Contoh kitab kuning yang dipelajari di pondok pesantren antara lain kitab Ta’limul Muta’allim yang membahas tentang etika yang seharusnya antara guru atau ustaz dengan santri atau peserta didik.
Ada juga kitab Jurumiyah yang berisi tentang materi gramatika bahasa Arab dasar, dan masih banyak lagi.
Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwasannya sistem pendidikan yang ada dalam pondok pesantren berbeda dengan sistem pendidikan yang ada dalam lembaga pendidikan lainnya.
Mukti Ali, dalam buku Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini telah mengidentifikasi beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional.
Pola umum pendidikan Islam tradisional tersebut yakni adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiai ataupun dengan ustadz-ustadzah nya, tradisi ketaatan dan ke-tawadhu’an santri kepada kiai, pola hidup sederhana yang ada dalam pesantren (zuhud), kemandirian, disiplin ketat, berani menderita demi mencapai tujuan, berkembangnya tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan, kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi.
Adapun beberapa ciri khusus yang sangat menonjol dalam sistem pendidikan dalam pondok pesantren antara lain adalah pengajaran kitab kuning yang berbahasa Arab, metode sorogan dan bandongan kitab, metode dan budaya mengahafal dalam pesantren, halaqoh, dan lain-lain.
Hal lain yang menjadikan ciri khas tersendiri dalam suatu pesantren adalah adanya sistem sanad keilmuan yang bersambung dari satu ustadz ke ustadz lainnya.
Jadi hal tersebut juga menjadikan jaminan bagi keilmuan seorang kiai, ustadz, maupun ustadzah dalam dunia pesantren.
Sistem sanad keilmuan yang khas inilah yang tidak kita temukan pada sistem pendidikan selain sistem pendidikan yang ada dalam pondok pesantren.
Sumbangsih Pondok pesantren terhadap Negara
Ada kelemahan yang ada dalam sistem pendidikan pondok pesantren yang perlu dikritik, tetapi ada juga kelebihan-kelebihan tertentu yang patut dijadikan panutan dari dalamnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa pondok pesantren telah memberikan kontribusi besar bagi negara.
Dari awal kemunculannya hingga dalam bentuknya yang kian berkembang saat ini.
Pesantren hadir sebagai wadah pengembangan keilmuan keagamaan yang secara tidak langsung juga turut menjadi kontrol karakter generasi muda.
Bahkan budaya pendidikan karakter dalam pondok pesantren pun telah dimasukkan dalam kurikulum nasional.
Dari dunia pesantren jugalah, telah lahir banyak tokoh-tokoh besar berkarakter yang turut andil dalam pembangunan negara.
Seperti KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, yang berasal dari kalangan pesantren, telah mencapai pencapaian yang luar biasa yakni menjadi Presiden RI walau hanya sebentar namun teladannya tetap abadi hingga kini.
Selama berpuluh-puluh tahun, pesantren telah terbukti menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam non-formal yang berhasil mencetak banyak santri yang mumpuni dalam ilmu agama maupun sosial.
Tentu, pesantren bukanlah institusi suci yang bebas dari kesalahan. Namun, hal tersebut juga tidak lantas menegasikan fakta kebaikan yang telah dipraktikkan di pesantren.
Di sisi lain, pesantren juga harus selalu introspeksi diri dan membenahi setiap kekurangan serta kesalahan yang ada.
Semuanya sebagai upaya mewujudkan masyarakat berkeadilan serta menciptakan tatanan masyarakat dalam baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofur. Wallahu a’lam. []