Pondok Pesantren Jamsaren Salah Satu Pesantren Tertua di Pulau Jawa
HIDAYATUNA.COM – Pondok Pesantren Jamsaren merupakan salah satu pesantren tertua di Pulau Jawa. Pasalnya menurut catatan sejarah Pesantren ini berdiri sejak tahun 1750 Masehi pada masa kerajaan Paku Buwono IV dan memang ada benarnya dengan sebutan Pesantren tertua di Pulau Jawa.
Pada awal berdirinya pondok pesantren ini merupakan sebuah surau kecil yang sering digunakan pada jamuan masa pemerintahan Paku Buana IV.
Pada waktu itu beliau telah mendatangkan beberapa ulama tersohor pada masanya seperti Kiai Jamsari berasal dari Banyumas, Kiai Hasan Gabudan dan bersama Kiai besar lainnya.
Nama Jamsaren di ambil dari tempat tinggalnya Kiai Jamsari pada masanya dan namanya selalu dipakai hingga sekarang. Karena nama tersebut di biarkan melekat oleh masyarakat agar nama pondok ini berdiri tetap terjaga dan bersejarah.
Sejarah mencatat bahwa pendirian pondok ini tidak bisa lepas dari peran Sinuhun Paku Buana IV yang ingin memasukkan nilai-nilai islam dalam kebudayaan masyarakat Solo yang pada waktu itu masih kental akan nilai Hindu-Budha serta animisme dan dinamisme.
Untuk memasukkan nilai-nilai agama islam pada masyarakat Solo maka dipanggilah Kyai Jamsari dari Banyumas untuk menyebarkan agama islam di wilayah Solo.
Untuk menjalankan amanat dari sang raja lalu Ki ai Jamsari mendirikan sebuah surau dan mengajarkan agama islam kepada seluruh lapisan masyarakat. baik itu masyarakat umum, kalangan pejabat, bahkan hingga kalangan bangsawan istana.
Dalam perjalanannya dari awal berdiri hingga sekitar tahun 1800 pondok ini berjalan sebagaimana mestinya. Pada awalnya lokasi pondok hanyalah berupa surau kecil yang berada di dekat rumah kyai Jamsari.
Namun karena banyak santri yang merasa cocok dengan ajaran yang dibawa oleh sang kyai lalu banyak pendatang yang mendirikan rumah disekitar surau tersebut.
Sehingga pada akhirya terbentuklah sebuah perkampungan. Perkampungan tersebut lalu dinamai dengan nama “Jamsaren” yang memiliki arti tempat tinggal Kyai Jamsari.
Namun sayangnya, meskipun pernah disinggahi banyak ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), Pondok Jamsaren hampir tak terlihat lagi kultur ke-Aswajaannya.
Hal ini menurut penghulu kraton disebabkan karena pada perkembangannya jarang ada ulama, khususnya dari golongan ulama Aswaja, yang mau mendekat ke kraton, seperti yang dilakukan wali songo atau ulama kraton zaman dulu.
“Ada semacam terputusnya rantai mata sejarah pada pondok ini,” kata Tafsir Anom, KRT Muh. Muhtarom kepada NU Online, Sabtu (9/2) lalu.
Pondok Jamsaren juga pernah mengalami masa vakum. Vakumnya pondok pada 1830 disebabkan terjadinya operasi tentara Belanda. Operasi itu dimulai lantaran Belanda kalah perang dengan Pangeran Diponegoro pada 1825 di Yogyakarta.
Karena kalah, Belanda melancarkan serangkaian tipu muslihat dan selanjutnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro. Karena itu pada 1830, para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro di Surakarta dan PB VI bersembunyi dan keluar dari Surakarta ke daerah lain, termasuk Kiai Jamsari II (putra Kiai Jamsari) dan santrinya.
Pesantren Jamsaren dan Perang Diponegoro
Setelah Kyai Jamsari wafat, tampuk kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Kyai Jamsari II, anak kandungnya. Pada masa pengasuhan Kyai Jamsari II ini bersamaan dengan pergolakan besar di tanah Jawa yang disebabkan pemberontakan Diponegoro terhadap bangsa Belanda.
Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo merupakan seorang putra dari Sultan Hamengkubuwono III yang berasal dari keraton Yogyakarta.
Perang yang digelorakan oleh Pangeran Diponegoro dsebut-sebut merupakan salah satu perang yang terbesar yang pernah terjadi diatas tanah jawa maka tak heran apabila ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa perang yang digelorakan oleh Pangeran Diponegoro ini juga disebut sebagai Perang Jawa.
Meskipun tidak ada dukungan secara resmi dari pihak keraton, namun sejumlah kerabat sang pangeran dari Keraton Yogyakarta turut membantu perjuangan Diponegoro. Sedangkan Keraton Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwono VI secara resmi memberikan dukungan dana dan pasukan.
Sedangkan kekuatan paling menentukan pada perjuangan Diponegoro adalah dukungan massif para Kyai dari berbagai daerah. Mereka yang memberikan perlindungan dan bantuan bala pasukan di berbagai daerah medan pertempuran.
Salah satu pendukung utama Diponegoro dari kalangan ulama adalah Kyai Jamsari II dari Solo, selain nama-nama ulama terkenal lain seperti Kyai Mojo (Solo), Kyai Yahudo (Magelang), Kyai Imam Rozi (Klaten) dan lain-lainnya.
Setelah perang Diponegoro berhasil dipadamkan, Belanda melakukan penangkapan dan pengasingan terhadap para tokoh pemberontakan. Diponegoro diasingkan ke Sulawesi Selatan, Paku Buwono VI diasingkan ke Ambon, Sentot Prawirodirjo diasingkan ke Sumatera Selatan, Kyai Mojo dan sejumlah Kyai lainnya yang tertangkap diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Ketika perang yang digelorakan oleh Pangeran Diponegoro berhasil dipadamkan oleh pihak Belanda. Banyak Kyai yang diburu dan ditangkapi selain itu banyak pula pesantren yang di bumi hanguskan karena tuduhan menyembunyikan ekstrimis, sebutan untuk para pendukung Diponegoro.
Dalam kondisi itulah Kyai Jamsari II beserta keluarga dan seluruh santrinya memutuskan untuk meninggalkan pesantren, tanpa diketahui secara pasti dimana tempat mereka bermukim setelahnya. Bahkan hingga saat ini tidak diketahui pasti dimana makam Kyai Jamsari II.
“Tidak ada informasi mamadai kemana larinya. Namun beberapa tahun terakhir kami mendapatkan kunjungan dari Kediri yang memberi tahu bahwa Kyai Jamsari II lari diri ke Kediri lalu tinggal dan wafat disana. Di Kecamatan Pesantren, Kediri ada desa bernama Jamsaren,” ujar Mufti Addin, lurah Ponpes Jamsaren.
Kosong Hampir 50 Tahun
Kompleks dan bangunan pesantren itu kemudian kosong dan terbengkalai hampir selama 50 tahun, hingga akhirnya seorang ulama dari Klaten yang mengurusnya. Ulama itu adalah Kyai Idris, salah seorang keturunan dari Kyai Imam Rozi yang merupakan sahabat akrab Kyai Jamsari II.
Setelah mengalami kekosongan hampir selama 50 tahun atau tepatnya sejak tahun 1878, Kyai Idris kembali membangun dan mengembangkan Pesantren Jamsaren. Saat ditemukan konddisi pondok dalam keadaan kosong. Melihat hal tersebut lalu beliau berusaha membangun kembali Pondok Pesantren serta mengembangkan ajaran islam di daerah Surakarta.
Hal pertama yang dilakukan beliau adalah mendirikan mushola dilingkari rumah pondok dari bambu. Kyai menyelenggarakan pengajian dengan mengajarkan kitab-kitab Al-islam yang berahasa Arab dan telah di terjemahkan dalam bahasa Jawa pegon. Kitab-kitab yang diajarkan oleh sang kyai mulai kitab jurumiyah, sampai alfiyah dan sarah ibnu aqil.
Dalam ilmu sorof mula kitab Bina’ sampai maraqul arawah dan kitab syafiyah. Adapun cara mengajarnya dilakukan dengan menggunakan sistem sorogan dan juga blandhongan.
Di bawah kepemimpinan Kyai Idris inilah Pondok Jamsaren mulai memasuki era keemasan. Hal ini dikarenakan pada masa kepemimpinannyalah pondok ini menjadi sebuah tempat yang menjadi rujukan pesantren di tanah air.
Bukan itu saja ribuan santri dari luar negeri dan dari berbagai penjuru Asia Tenggara berguru untuk menimba ilmu di pesantren yang dipimpin oleh Kyai yang terkenal sangat alim dan juga merupakan seorang mursyid Thariqah Sadziliyah tersebut.
Nama-nama Kyai besar yang ada ditanah jawa pun tercatat pernah menimba ilmu di pesantren Di antara nama-nama besar yang pernah nyantri di Pesantren Jamsaren. Para Kyai tersebut adalah Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kyai Arwani Amin (Kudus), Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban)
Sekitar tahun 1908 mushola pondok pesantren diganti dengan bangunan masjid dimana hal ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan pada tahun 1913 sistem sorogan diganti menjadi sistim kelas dimana masing-masing kelas dibimbing oleh oleh seorang Qori’/Mualim. Bersamaan itu pula Sunan Paku Buana X mendirikan Madrasah Mamba’ul Ulum. Madrasah ini didirikan di samping masjid agung Surakarta.
Tahun 1923 M, Kyai H.Idris wafat dan dimakamkan di pajang Makam Haji.dan diganti oleh KH. Abu Amar beliau diberi gelar Kyai Jamsari (Kyai Ngabei projowijoto). Ketika dibawah kepimpinan sang kyai baik di Surakarta maupun Indoesia mengalami banyak peristiwa pergolakan. Akan tetapi baik Madrasah Mamb’ul Ulum dan Pondok Jamsaren tetap teguh mencetak kader-kader yang cakap dalam menghadapi tantangan jaman.
Baik itu pula saat terjadi penjajahan Jepang. Dua lembaga yang berada di kota Solo ini berperan penting dalam menggembleng angkatan Hisbullah dan Sabilillah yang merupakan barisan depan dalam mempertahankan kedaulatan tanah air dan Republik Indonesia. Para santri pondok pesantren dalam perjuangannya menempuh jalan geriliya dan cara ini dilakukan hingga berakhirnya masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Masa kepemimpinan KH. Abu Amar berlangsung hingga tahun 1965, setelah sang kyai wafat lalu kepemimpinan pondok diteruskan oleh putranya yakni KH. Ali Darokah. KH Ali Darokah memimpin pondok dari tahu 1965 hingga tahun 1997.
Dalam memimpin pondok pada kisaran tahun ini KH Ali Darokah dibantu oleh beberapa pengurus pondok. Dimana para pengurus pondok tersebut terdiri atas Lurah Pondok, Sekeraris, Wali Santri Pondok, Staf Pengajar, Staf Keamanan dan Taf’adah.
Pada awal juli tahun 1997 mendung kelabu kembali memayungi Pondok jamsaren. Pasalnya pada tanggal 8 Juli 1997 sang kyai telah berpulang kerahmatullah. Sang Kyai lalu dimakamkan di Pajang. Sepeninggal sang kyai kepengurusan pondok diserahkan kepada pengurus harian pondok dan pengurus pelaksana harian pondok.
Pesantren Jamsaren Saat ini
Pada periode ini selain pengajian sistem kela dengan materi pelajaran agama juga diberi materi pelajaran umum untuk menunjang prestai santri.Tahun pertama santri diwajibkan untuk menghapal juz Amma sebagai salah satu bekal santri dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Tahun berikutnya santri diwajibkan menghapal Al-qur’an juz 29,28 dan begitu seterunya hingga khatam 30 juz.
Sedang pengajian umum pada pagi hari diteruskan oleh Drs.Mohctar Salimi, M . Ag. Sebagai salah satu institusi pendidikan yang telah ditempa oleh perubahan zaman selama berpuluh-puluh tahun, maka dalam mensikapi dunia pendidikan pada dekade ini.
Pondok Pesantren Jamsaren menaarkan suatu alternatif sistem pendidikan dimana disatu sisi santri digembleng dengan pengetahuanpendidikan agama islam di pesantren, disisi lain santri menuntut ilmu pengetahuan umum di sekolah formal dengan harapan agar kelak menjadi profesional muda yang berjiwa Ulama, Mubaligh, Mujahid dan pemimpin yang berguna bagi bangsa, agama dan negara.
Sumber
- Sekilas Tentang K.H Idris Jamsaren, http://ma-alislamjamsaren.sch.id/home/readmore/32/sekilas-tentang-kh-idris-jamsaren