Polemik, Riwayat, dan Penggunaan Arif Toa Masjid dan Musala
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Belakangan polemik tentang toa masjid kembali muncul ke permukaan. Hal ini dilantari oleh Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE 05 Tahun 2022 mengenai Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Edaran ini lantas menuai respon pro dan kontra, utamanya dari kalangan umat muslim itu sendiri.
Bagi mereka yang pro berangkat dari konteks masyarakat di Indonesia yang menganut berbagai agama. Ada enam agama resmi dan ribuan kepercayaan lokal dengan catatan, umat muslim sebagai mayoritas yang menempati hampir menyeluruh di wilayah Indonesia.
Maka menjadi semacam kemestian bagi umat muslim untuk membina kerukunan antar umat beragama dengan mengedepankan rasa toleransi. Salah satunya diwujudkan melalui penggunaan pengeras suara masjid yang lebih arif.
Sementara itu, mereka yang kontra justru menilai surat edaran dari Menteri Agama sebagai bentuk kemunduran bagi umat muslim. Oleh karena pengeras suara merupakan salah satu simbol dan sarana dari syiar dakwah Islam.
Maka, ketika suaranya dipelankan, jangkauan orang untuk mendengar azan kumandang lantas bergegas menuju ke masjid menjadi berkurang. Terlepas dari surat edaran yang memicu pro dan kontra tersebut, jauh-jauh hari polemik mengenai pengeras suara masjid di masyarakat kita sudah muncul beberapa tahun yang lalu.
Polemiknya itu tidak selesai hanya dengan duduk bersila dengan mengemukakan pendapat untuk mencapai mufakat. Akan tetapi harus melalui jalur hukum dengan pihak yang memprotes pengeras suara lantas diganjar hukuman penjara, kasus Meliana misalnya di tahun 2016 silam.
Sejarah Pengeras Suara Azan
Pengeras suara sendiri dalam perjalanan Islam memiliki riwayat yang cukup panjang. Di masa-masa awal pengeras suara dilakukan dengan manual melalui suara yang keluar dari Bilal, seorang pria bertubuh hitam legam namun dipilih oleh Kanjeng Nabi untuk mengumandangkan azan setiap kali memasuki waktu salat. Ia hanya perlu naik ke tempat yang agak tinggi supaya suaranya bisa menjangkau area yang lebih luas.
Kemudian jauh setelah wafatnya Kanjeng Nabi, baru ada dua masjid yang membangun menara supaya suara azan yang berkumandang bisa didengar oleh umat muslim. Dua masjid tersebut menurut catatan Sidi Gazalba di bukunya Mesdjid; Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam (1964). Adalah Masjid Sidi โUkba di Kairawan yang dibangun oleh Hassan bin Nuโam (703 M) dan Masjid Umayyah di Damsyik, Basra.
Baru di masa Dinati Umayyah sesudahnya, tepatnya ketika dipimpin oleh Khalifah Al-Walid (705-715 M), menara masjid mulai dibangun. Bahkan Al-Walid juga membangun menara-menara bagi masjid yang sebelumnya sudah dibangun, termasuk masjid di wilayah Hijaz dan Suriah.
Catatan di buku Sidi Gazalba mengenai peran menara; โDahulu selain dari untuk imbauan azan, menara djuga diperuntukkan bagi hal-hal lain seperti utjapan pudji-pudjian (zikir) pada Tuhan dimalam hari (umpamanja sebelum salat tarawih dan waktu sahur dibulan Ramadan), untuk iโtikaf. Penggunaan-penggunaan tersebut. terutama terdjadi dalam Zaman Mas Islamโ.
Catatan tersebut menempatkan peran menara sebagai pengeras suara, disesuaikan dengan konteks pada masa kejayaan Islam. Maka wajar ketika menara di masa itu, juga difungsikan di waktu malam. Siapa saja yang mendengarnya, yang mukim di sekitar masjid, dan kapan pun dibunyi-suarakan menara tidak menjadi persoalan karena, masyarakatnya masih homogen.
Lantas ketika ajaran Islam mulai merangsek masuk ke wilayah nusantara, menara itu juga dibangun seturut pembangunan masjid dan musala. Hanya saja kondisi sosial-kultural di nusantara jauh berbeda dengan di masa Dinasti Umayyah. Maka sudah sewajarnya ketika peran menara peroleh penyesuaian, baik bentuk maupun penggunaannya.
Fungsi Toa di Masjid/Musala
Kini, menara di beberapa masjid hanya sebagai bangunan yang mendukung nilai estetika dari keberadaan masjid. Fungsinya telah diganti toa dengan pengoperasian yang lebih modern, daya jangkaunya lebih jauh, dan tentu saja terdengar lebih keras.
Baik masjid atau musala, masing-masing memiliki toa sebagai pengeras suara yang lazimnya digunakan untuk kumandang azan, pengabaran orang wafat, pengajian, khotbah jumah, tadarus di bulan Ramadhan, dan membangunkan orang sahur.
Lantas bagaimana dengan surat edaran di atas? Saya rasa itu bisa diterapkan dengan melihat konteks sosial-kultural masyarakatnya karena belum tentu mereka yang non-muslim merasa risih dengan kumandang azan.
Selama suara yang keluar memang bagus. Akan tetapi pengeras suara juga perlu diatur lebih arif, misalnya ketika ada masyarakat yang sedang sakit. Oleh karena perlu durasi istirahat yang lebih banyak dan panjang.
Pernyataan yang proporsional berkaitan dengan pengeras suara ini, saya kira adalah pernyataan Gus Dur bahwa, โIslam itu ramah, bukan marahโ. Kalau Islamnya ramah, terlebih masyarakat kita dikenal di luar memiliki nilai-nilai keguyub-rukunan.
Maka polemik pengeras suara itu bisa menemukan solusi ketika duduk bersama dengan saling bertukar pikiran. Bukan malah perundungan dan tudingan yang bukan-bukan. Saya rasa begitu.